Keseharian kita tidak pernah luput dari interaksi dengan orang lain. Seorang anak dengan orang tuanya, pekerja dengan atasannya, pengusaha dengan konsumennya, sesama rekan sejawat, dan lain sebagainya.Â
Setiap interaksi yang terjadi tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat, salah persepsi, miskomunikasi, atau ketidakpuasan terhadap suatu kondisi dari satu pihak ke pihak lainnya.Â
Hal ini seringkali menjadi pemicu naiknya emosi dari masing-masing pribadi terkait rasa tidak puas dan juga kecewa. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan kemarahan dari satu pihak ke pihak lain.Â
Orang tua memarahi anaknya, atasan memarahi bawahannya, dan seterusnya. Kemarahan merupakan wujud dari ego pribadi yang memiliki suatu keinginan tapi keinginan tersebut mengalami kendala dalam proses pencapaiannya.Â
Seperti halnya seorang atasan yang marah karena instruksi yang dia berikan kepada anggota tim ternyata tidak berjalan sebagaimana seharusnya, atau orang tua yang memarahi anaknya karena sang anak melakukan sedikit "pembangkangan". Dalam buku Emotional Intellegent, Daniel Goleman menyebutkan bahwa kemarahan adalah bentuk pembajakan emosi.Â
Dengan kata lain kita kehilangan kendali terhadap emosi kita. Ada sebuah sistem diotak kita yang mengambil alih kendali dalam waktu sangat cepat sehingga sejenak kita seperti "kehilangan" diri kita sendiri.Â
Kita baru menyadari beberapa waktu setelahnya dan biasanya ada sedikit rasa sesal ketika kemarahan itu diluapkan kepada orang lain.
Namun apakah kita pernah mempertanyakan lebih jauh perihal efek yang ditimbulkan dari kemarahan yang kita luapkan kepada orang lain itu? Beberapa kali saya mendengar sebuah pernyataan dari orang-orang sekitar bahwa seorang pemimpin itu harus bisa marah.Â
Benarkah demikian? Apakah benar bahwa kita harus marah untuk memberikan efek jera terhadap kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, oleh rekan kita, oleh kerabat kita, oleh anggota tim kita?