Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian…
Oleh : Kahlil Gibran
Ibu adalah sebuah simbol tentang cinta yang sebenarnya. Bahkan cintanya mengalahkan kisah cinta Romeo-Juliet, bunga mawar merah penanda cinta, gembok cinta di Kota Paris, tanjakan cinta di Mahameru, ataupun simbol-simbol cinta yang lain. Cinta ibu ibarat lautan yang sangat luas, yang jauh lebih besar dari pada cinta kita kepada kekasih kita, cinta kita kepada istri atau anak kita. Jika kita sering mendengar tentang cinta buta, maka cinta seorang ibu kepada anak-anaknya mewakili itu semua. Betapa banyak para ibu yang rela tidak memakan sesuap nasi pun untuk dirinya sendiri demi anak-anaknya bisa memakannya, seorang ibu rela membagikan kenikmatan yang dimilikinya agar sang anak lebih bahagia, dan bahkan seorang ibu rela mati untuk melindungi anak-anaknya.
Sebuah pengalaman penuh hikmah pernah saya alami perihal luar biasanya cinta ibu ini. Beberapa tahun lalu tepatnya saat masih menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga ke Perguruan Tinggi ibu mengalami gangguan kesehatan. Lama saya tidak mengetahui perihal sakit apa yang diderita oleh ibu saat itu, karena memang beliau seperti tidak pernah menganggap diriya sakit. Beliau masih berupaya untuk beraktivitas sebagaimana biasanya dan tidak mengeluh akan kondisi yang dialaminya.
Sekian waktu berlalu saya melihat bahwa kondisi ibu terlihat semakin lesu dan dari wajahnya tampak jelas bahwa beliau tengah sakit, sakit yang berat. Dalam kondisi ekonomi keluarga yang saat itu sedang dalam masalah, membawa ibu ke dokter hanya bisa kami lakukan sebatas puskesmas atau dokter praktek saja. Sedangkan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit bisa dbilang adalah sesuatu yang berat bagi kami. Akhirnya hanya pengobatan seadanya saja yang bisa kami lakukan.
Ketika masa saya lulus SMA dan hendak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, saya sepenuhnya menyadari bahwa ekonomi keluarga kami sulit dan terlebih ibu saya juga kesehatannya tidak seratus persen baik. Pada beberapa kesempatan, sakit yang beliau alami kambuh sehingga membuat diri beliau sangat lemah. Saya merasa bahwa biaya untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi yang cukup besar sulit kiranya untuk dipenuhi, apalagi dengan adanya kebutuhan untuk mengobati ibu.
Namun secara luar biasa ibu ataupun abah saya saat itu samasekali tidak pernah menyinggung tentang niatan untuk “menggagalkan” keinginan saya melanjutkan pendidikan. Ibu tidak mengeluhkan bahwa beliau tengah sakit dan menjadikannya sebagai dalih untuk menggunakan segala sumber dana yang ada untuk pengobatan beliau. Ibu saya justru ikut bekerja keras untuk mencari dana tambahan guna membantu saya supaya tetap bisa melanjutkan pendidikan. Padahal saya tahu benar saat itu kondisi ibu tidaklah benar-benar sehat.
Ibu merelakan kondisinya yang sakit dan lebih memilih pengobatan seadanya seperti membuat jamu-jamu tradisional daripada merawat dirinya dengan datang ke dokter. Beliau lebih mengutamakan agar bagaimana kiranya anak-anaknya bisa tetap menikmati makanan setiap hari daripada mengeluarkan sejumlah uang untuk berobat ke dokter. Sungguh sebuah pengorbanan dan rasa sayang yang besar menurut saya. Bagaimana mungkin beliau mampu menahan dirinya dalam kesakitan hanya demi melihat anaknya tetap bisa mengenyam pendidikan terbaik dan menikmati makanan setiap harinya? Saya kira jika bukan karena cinta yang begitu besar dari beliau mungkin kehidupan yang saya jalani tidak akan seperti sekarang ini.
Lautan cinta seorang ibu tidak pernah mengering. Ia terus saja memberikan ketulusan cinta kepada setiap buah hatinya. Bahkan meskipun kita sudah tumbuh besar, berkeluarga, atau bahkan mungkin sudah memiliki anak tetap saja belaian cinta ibu mengalahkan apapun juga. Tidak ada seorangpun yang memiliki cinta kasih lebih besar daripada yang diberikan oleh seorang ibu kepada anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H