Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sikap Positif #1 : Ketika Pekerjaan Tak Kunjung Datang

9 Oktober 2015   05:47 Diperbarui: 9 Oktober 2015   06:05 1832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Para Pencari Kerja"][/caption]

Ada masa ketika diantara kita baru menyelesaikan sebuah pendidikan perguruan tinggi dan kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa kita harus mendapatkan pekerjaan sebagai kompensasi dari pendidikan yang selama ini kita jalani. Rasanya seperti sia-sia saja setelah kita menghabiskan hidup bertahun-tahun untuk sekolah mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi jika pada akhirnya tidak memiliki sumber penghasilan sendiri. Sebagai lulusan pendidikan tinggi dengan gelar sarjana mungkin masih banyak diantara kita yang memilih jalan hidup untuk menjadi seorang karyawan di suatu perusahaan atau instansi tertentu, sehingga tidaklah mengherankan ketika ada event bursa karir maka disana senantiasa dipenuhi oleh ratusan bahkan mungkin mencapai ribuan para pencari kerja. Saya kira tidak hanya bursa karir saja yang menjadi incaran kita ketika dihadapkan pada situasi ingin segera memperoleh pekerjaan. Media cetak ataupun media elektronik adalah santapan sehari-hari untuk dipelototi demi mendapatkan kesempatan mendapatkan pekerjaan terbaik yang kita impikan. Menyiapkan berkas-berkas pendaftaran, memilih bidang profesi sesuai latar belakang pendidikan, dan mengirimkan aplikasi atau lamaran kerja sudah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh para pencari kerja. Bersaing dengan ratusan bahkan ribuan aplikan lain untuk memperebutkan posisi yang kapasitasnya terbatas untuk beberapa orang saja. Sebuah realita yang seringkali menjadi pil pahit adalah ketika kegagalan demi kegagalan terus menghampiri dalam setiap rangkaian seleksi kerja yang kita jalani.

Terkadang ada rasa iri melihat beberapa teman semasa kuliah atau bahkan adik kelas kita yang sudah lebih dulu mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang mapan dan memberikan fasilitas cukup baik. Sedangkan kita harus menerima kenyataan bahwa keberuntungan belum berpihak pada kita. Masih harus merelakan diri mengemban status sebagai orang yang tidak berpenghasilan, atau bahasa kasarnya adalah pengangguran. Menjalani hari-hari dengan menunggu kesempatan dan mengambil semua peluang kerja yang ada tidak selalu menjadi sesuatu yang menarik untuk dilakukan. Jika pada saat pertama kali mengikuti seleksi kerja mungkin hal itu bisa dibilang sebagai pengalaman baru yang menyenangkan, akan tetapi ketika harus menghadapi kenyataan gagal terus-menerus dalam rangkaian tes-tes kerja tentu ini memberikan tekanan mental tersendiri. Hal ini akan sangat terasa ketika kita menjadi tumpuan utama dari keluarga atau orang-orang dekat kita untuk bisa mengangkat derajat perekonomian keluarga. Kita diberikan pendidikan terbaik agar suatu saat bisa memiliki sumber penghasilan yang layak serta mampu memberikan sumbangsih untuk meningkatkan kemapanan perekonomian keluarga. Dengan menghadapi kenyataan bahwa hingga saat ini setelah beberapa bulan berlalu dari masa kelulusan dan masih belum memperoleh pekerjaan yang diharapkan tentu hal itu menjadi sebuah “siksaan”. Ketika pulang kampung dan diberikan pertanyaan oleh saudara perihal saat ini sedang bekerja dimana maka seolah itu adalah sebuah tusukan yang mengarah tepat di jantung kita. Terasa sangat sakit, sedangkan kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu. Pada saat berkumpul dengan teman-teman seperjuangan dulu dimana sebagian besar diataranya sudah memiliki pekerjaan tetap padahal kita sendiri belum diterima bekerja dimanapun, tentunya ada rasa minder, malu, dan akhirnya mengisolasi diri dengan menjauh dari pergaulan. Memang kondisi yang kita hadapai ketika masih belum memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri tidak akan jauh berbeda dari beberapa hal tersebut. Ada rasa tidak nyaman dan mungkin juga frustasi tatkala pekerjaan yang kita harapkan tidak kunjung datang. Standar pekerjaan yang pada awal mula setelah periode kelulusan begitu tinggi kita pasang dengan berharap bisa bekerja di sebuah perusahaan berskala internasional perlahan-lahan semakin diturunkan menjadi perusahaan skala nasional, dan yang lebih ironis lagi ketika standar itu semakin turun lagi menjadi level lokal saja. Mungkin diantara kita ada yang masih berkuat hati untuk mengejar harapan bisa bekerja di sebuah perusahaan skala besar meskipun sering mengalami kegagalan demi kegagalan. Kunci utama agar bisa terus bertahan dalam situasi penuh tekanan ini adalah sikap positif dalam merespon kegagalan demi kegagalan yang terjadi. Beberapa kali kegagalan bukanlah penyurut tekad untuk mendapatkan keberhasilan yang diimpikan. Terus menjaga optimisme dan terus mengasah diri menjadi pribadi dengan kemampuan yang lebih baik.

Sikap positif yang kita miliki memegang peranan penting dalam hidup kita supaya mampu bertahan menghadapi setiap kenyataan yang tidak sesuai harapan. Apabila kita dihadapkan pada suatu kegagalan dan kita tidak memiliki sikap positif untuk itu maka apa yang menjadi impian kita bukannya mendekat malah justru semakin jauh. Ketika pekerjaan yang kita harapkan dan nantikan tidak kunjung diperoleh sedangkan sikap kita cenderung negatif akan realitas ini, maka motivasi kita seiring waktu akan luntur. Gairah untuk terus berusaha menjadi sirna dan akhirnya kita tidak mendapatkan apapun dari sikap kita tersebut. Sebaliknya, ketika kita terus menjaga sikap kita untuk selalu positif, terus bekerja keras, dan tentunya diiringi doa maka yang menjadi harapan kita pasti bisa segera terwujud.

Sikap positif mungkin sangat mudah untuk disampaikan. Namun tidak semua orang mampu mengimplementasikannya dalam jangka waktu yang berkepanjangan. Sekali atau dua kali mengalami kegagalan mungkin masih menjadi hal biasa. Ketika kegagalan itu semakin bertambah sering frekuensinya maka hanya sedikit sekali yang mampu bertahan dalam kondisi demikian. Siapapun yang mampu terus “menegakkan” badannya dan bersikap positif terhadap semua kegagalan yang dialami niscaya di akhir cerita ia akan menjadi orang yang tersenyum paling lebar diantara yang lainnya. Karena sikap positif tidak semua orang mampu menjalankannya dalam jangka waktu lama ketika menghadapi permasalahan tertentu seperti halnya menanti pekerjaan yang tidak kunjung diperoleh, maka peranan orang-orang dekat baik itu keluarga, sahabat, pasangan, atau guru pembimbing memegang peranan penting dalam hal ini. Mereka adalah “penyulut” sikap positif yang cukup ampuh untuk terus menjaga diri kita agar senantiasa berada dalam dalam zona kepercayaan diri yang tinggi.

Beberapa tahun yang lalu saya juga sempat mengalami kondisi yang serupa dengan hal ini. Menjadi lulusan perguruan tinggi yang terkatung-katung menunggu untuk diterima bekerja di sebuah perusahaan ternama. Hidup dalam kondisi perekonomian yang tidak bisa dibilang berkecukupan dan dalam situasi belum mendapatkan pekerjaan tentu memberikan tekanan tersendiri. Ada tuntutan dari dalam diri untuk bisa sesegera mungkin mendapatkan pekerjaan dan bisa membantu ekonomi keluarga. Tapi apadaya, beberapa kali mengikuti seleksi penerimaan karyawan baru di perusahaan-perusahaan hanya berujung pada kegagalan. Di satu seleksi gagal pada tahap interview HRD, di kesempatan lain gagal lolos dari interview dari pihak user, dan bahkan pada kesemptan yang lain harus gagal pada tahap administrasi. Sebuah kenyataan pahit yang harus saya telan dan menjadi realitas yang mau tidak mau harus dihadapi dengan hati gundah. Saya berusaha untuk terus menjaga sikap positif dalam diri dalam menyikapi setiap kegagalan yang menerpa. Sekali kegagalan masih bisa, kedua kali masih bertahan, ketiga kali mulai goyah, hingga ada rasa takut yang semakin menguasai diri bahwa tidak ada perusahaan yang akan menerima saya bekerja. Namun saat itu saya sangat bersyukur memiliki keluarga yang pengertian dan mendukung penuh diri saya dalam setiap keadaan yang saya alami. Pengertian yang mereka berikan, semangat yang mereka suntikkan, dan sulutan sikap positif menjadikan saya kembali dalam kepercayaan diri semula. Keyakinan yang ditanamkan oleh keluarga saya adalah sesuatu yang sangat berharga hingga akhirnya saya mampu mendapatkan apa yang saya inginkan.

Saya kira banyak diantara rekan-rekan sekalian yang pernah atau bahkan sedang merasakan situasi serupa dengan apa yang pernah saya rasakan. Itu adalah hal yang lumrah dan wajar mengingat kita memiliki sisi kerapuhan sebagai seorang manusia. Dengan mengalami kondisi ini kita belajar dan bisa mengambil sikap untuk masa depan yang lebih baik. Jaga hati kita untuk selalu memiliki sikap positif. Bantulah saudara kita yang mungkin sedang terjebak dalam lembah kegalauan. Bangkitkan dan sulut sikap positif mereka karena impian yang kita harapkan sedang menunggu. Jangan biarkan impian itu menunggu terlalu lama.

Good Luck!!   

 

Ditulis oleh : Agil S Habib

Sumber gambar : http://www.viceland.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun