Gagasan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno pada 1950-an hingga 1960-an menjadi simbol usaha menyatukan berbagai ideologi demi kepentingan bangsa. Konsep ini, meskipun kontroversial di Indonesia, ternyata secara tidak langsung dapat menjadi inspirasi dalam konteks konflik Israel-Palestina yang tak kunjung usai. Palestina menghadapi tantangan besar dalam menyatukan kekuatan lintas ideologi untuk memperkuat perjuangan melawan pendudukan Israel dan mencari solusi damai. Dengan meninjau relevansi Nasakom, kita dapat memahami potensi dan rintangan dalam membangun persatuan di Palestina.
Palestina: Dinamika Konflik dan Perpecahan Internal
Sejak 1948, konflik Palestina-Israel telah menjadi isu global.
Pendudukan wilayah oleh Israel, pembangunan permukiman ilegal, dan pengusiran warga Palestina memicu penderitaan besar. Data menunjukkan bahwa pada 2023, kekerasan di wilayah Palestina meningkat tajam, dengan lebih dari 460 warga Palestina tewas akibat operasi militer Israel, termasuk serangan terhadap warga sipil. Di sisi lain, serangan balasan oleh kelompok bersenjata Palestina juga menewaskan puluhan warga Israel, menunjukkan siklus kekerasan yang terus berlanjut.
Namun, tantangan di Palestina tidak hanya berasal dari luar. Perpecahan internal antara faksi politik seperti Hamas dan Fatah menjadi salah satu hambatan utama. Hamas, dengan ideologi Islamisnya, dan Fatah, yang berlandaskan nasionalisme sekuler, bahkan PFLP (Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina) yang berhaluan Kiri sering kali memiliki pandangan berbeda dalam mengelola konflik dan membangun strategi politik. Ketegangan ini membuat perjuangan Palestina menjadi terpecah, memperlemah posisi mereka di hadapan Israel dan komunitas internasional.
Dalam konteks ini, pendekatan yang menyerupai Nasakom dapat menjadi model untuk menjembatani perbedaan tersebut. Prinsip kolaborasi lintas ideologi memungkinkan semua pihak di Palestina bersatu demi tujuan bersama, yaitu mencapai kemerdekaan penuh dan menghentikan penderitaan rakyat Palestina.
Nasakom: Inspirasi dari Sejarah Indonesia
Nasakom muncul sebagai solusi Soekarno dalam menghadapi ketegangan ideologis di Indonesia pasca-kemerdekaan. Konsep ini dirancang untuk menyatukan kelompok nasionalis, agama, dan komunis yang sering kali bersitegang, sehingga menciptakan harmoni politik demi kepentingan bangsa. Meski akhirnya gagal diterapkan secara menyeluruh di Indonesia akibat peristiwa G30S/PKI, gagasan ini menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana ideologi yang berbeda dapat diarahkan pada kerja sama.
Di Palestina, prinsip serupa dapat digunakan untuk mengatasi ketegangan antara faksi nasionalis seperti Fatah, kelompok Islamis seperti Hamas, dan elemen kiri seperti PFLP maupun DFLP (Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina) yang juga mendukung perjuangan Palestina. Persatuan ini menjadi lebih penting mengingat Palestina menghadapi tekanan besar dari Israel, yang terus membangun permukiman di wilayah pendudukan. Data dari OCHA menunjukkan bahwa pada 2024, lebih dari 1.200 warga Palestina telah kehilangan tempat tinggal akibat kebijakan ini, yang sering kali dilakukan dengan kekerasan.
Tantangan dalam Menerapkan Pendekatan Nasakom
Meskipun Nasakom menawarkan model inspiratif, tantangan implementasinya di Palestina sangat kompleks. Salah satu hambatan terbesar adalah ketegangan ideologis yang sudah mendarah daging di antara faksi-faksi Palestina. Hamas, misalnya, memiliki basis ideologis yang sangat berbeda dari Fatah, begitu juga PFLP yang berusaha menempatkan diri berbeda dengan Hamas maupun Fatah, sehingga kerja sama sering kali sulit dijalankan. Selain itu, tekanan internasional dan pengaruh negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat dan Israel, sering kali memperkeruh situasi, memperparah perpecahan di antara kelompok Palestina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H