Sebelumnya aku minta maaf bila judul di atas menyinggung perasaan etnis Tionghoa. Soalnya istilah "Cino" saat ini dianjurkan untuk diganti "Tionghoa", tapi bila istilah tersebut diganti Tionghoa, maka sangat tidak enak dilafalkan oleh Tionghoa Lasem.
Lasem sendiri begitu kental dengan kata Cino, bahkan dari mulut orang Tionghoa Lasem-pun jarang menyebut dirinya orang Tionghoa, malah lebih nikmat dan terbiasa dengan sebutan "Wong Cino".
Sedang kata Tembaru adalah pengucapan cepat "Tahun Baru" bagi orang-orang Lasem. Dulu ketika aku masih kecil, kira-kira SD kelas 2, atau sekitar 35 tahun lalu, di Lasem masih sangat ramai bila ada tembaru.
Kakakku sendiri (sudah almarhum) sewaktu masih kecil sering ikut memeriahkan tembaru cino, bahkan menjadi anggota grup leang-leong, istilah baru lagi bagi para pemain singa barongsai. Aku masih ingat, dia melompat-lompat sambil mengangkat barongsai untuk mencaplok angpao yang ditempel di teras rumah pecinan atau diayun-ayunkan oleh orang-orang Tionghoa dari atas teras rumah yang rata-rata dibuat tinggi/duwur, makanya sering ada istilah bancik duwur.
Kebetulan sekali ayahku juga kerja di Bah Kim Jong jadi buruh petani garam. Jadi saat tahun baru aku mendapat tempat untuk menonton barongsai dari teras rumahnya.
Jalanan sepanjang desa Babagan ramai oleh orang-orang desa yang ingin menyaksikan tembaru cino tadi. Ada berbagai macam pertunjukkan diantaranya yang terjadi di Klenteng Cu An Kiong. Tentu saja aku tahu nama Cu An Kiong ya saat sekarang ini. Dulu hanya tahu namanya klenteng nDasun, karena terletak di Desa Dasun.
Salah satu adegan yang terngiang dimemoriku hingga kini adalah berjalan di atas bara api yang dilakukan oleh para biksu (kalau tidak salah). Mereka begitu tenang berjalan tanpa alas kaki di atas bara api. Adegan ini sangat membuat miris seolah olah kakiku ikut merasa melepuh. Acara yang digelar di depan Klenteng Cu An Kiong berlangsung sore hari saat matahari sudah mencapai sholat ashar.
Pengunjungnya cukup padat, berdesak-desakan dan membaur antara Tionghoa dan Jawa.
Pertunjukan lain yang aku ingat adalah wayang potehi di Klenteng Gie Yong Bio. Nama itupun kuketahui baru-baru ini, sebelumnya ya Klenteng mBagan.
Sampai sekarang aku masih ingat nama salah satu tokoh wayang potehi, yaitu Sin Jin Kwi (mudah-mudahan tidak salah menulis nama) tapi aku lupa apakah ini tokoh baik atau buruk. Adegan yang kuingat adalah pertarungan yang seru banget karena salah satu tokohnya memegang tombak, tapi tokoh lain selalu bisa menghindar dari terkaman tombak yang mengarah ke kepala. Tombak ke kanan, kepala ke kiri, begitu sebaliknya dan berlangsung sangat cepat.
Yang menjadi keherananku adalah satu wayang ini dimainkan dengan tiga jari. (Kalau tidak salah lagi) Jari telunjuk sebagai kepala, jari tengah dan jempol sebagai pemain kedua tangan. Lihai sekali dalang memainkan jari-jari tangannya untuk menggerakkan boneka itu..
Bahkan setelah menonton wayang potehi, kadang aku mempraktekkannya dengan menggunakan sarung untuk mblebet jari-jariku dan bermain sendiri, seolah-olah aku sudah lincah seperti dalang ahli. Tentu saja aku senyam-senyum dengan kelakuan yang sok lucu ini.
Sekarang pertunjukan itu menjadi hal langka di Lasem. Apalagi ketika itu ada larangan tentang budaya Tionghoa untuk tampil vulgar, sejak saat itu aku tidak pernah mengenyam lagi hiburan semacam itu. Doktrin Budaya Cino saat itu benar-benar seperti hilang, aku sendiri merasa seperti ada doktrin untuk membenci budaya Cino tersebut. Namun karena kehidupan keseharianku selalu bersama dengan orang Tionghoa, maka doktrin itu seperti hilang begitu saja.
Akhirnya keseharianku juga terbiasa tanpa tradisi Tionghoa hingga waktu mengijinkannya kembali.
Lasem, 20 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H