Isu terkait penundaan pemilu ataupun penambahan masa jabatan 3 periode presiden santer menjadi perbincangan yang hangat akhir-akhir ini. Beberapa klaim dari elit politik pun muncul, salah satunya dari Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim  bahwa ia mendengar banyak aspirasi dari masyarakat terkait penundaan pemilu 2024.
Jika pandemi dijadikan alasan untuk melakukan penundaan pemilu penulis rasa tidak relevan. Mengingat pada tahun 2020 pilkada yang tetap dilaksanakan, sekaligus mengubur pandemi sebagai alasan untuk menunda pemilu. Apalagi situasi pandemi pada saat itu lebih parah daripada situasi dan kondisi hari ini yang mulai membaik.
Konstitusi pun telah membatasi jabatan presiden. Dalam pasal 7 UUD 1945 Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan setelahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya penundaan pemilu atau penambahan masa jabatan presiden adalah sebuah pengkhianatan terhadap konstitusi, karena tidak sesuai dengan aturan yang telah diberlakukan.
 Apa jadinya jika konstitusinya dirubah?. Menanggapi hal ini praktisi hukum Bintang Hidayanto berpandangan bahwa bila konstitusi negara bisa dengan mudahnya dirubah untuk tujuan politis berupa pemusatan kekuasaan belaka, hal ini bisa menjadi sinyal pemerintahan yang tidak menjunjung tinggi supremasi hukum.
Penambahan masa jabatan presiden adalah sebuah kemunduran.
 Kekuasaan yang terlalu lama dan tidak dibatasi akan beresiko menciptakan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi negara kita memiliki pengalaman pada orde lama dan juga orde baru sebagai dampak buruk dari kekuasaan yang terlalu lama.
 Pada masa orde lama juga tak dapat dipungkiri terdapat beberapa penyimpangan yang terjadi, seperti pembubaran DPR hasil pemilu 1955 oleh presiden soekarno yang digantikan dengan DPRGR yang ditunjuk oleh presiden soekarno. Padahal kedudukan DPR dan presiden seharusnya sejajar, presiden tidak dapat mebubarkan DPR, pun sebaliknya. Lalu dibentuknya sendiri MPRS oleh presiden soekarno, padahal seharusnya MPRS dipilih langsung melalui pemilu sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
 Puncaknya pada orde baru presiden soeharto banyak juga penyimpangan yang terjadi dari praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) hingga pembungkaman terhadap orang orang yang tidak sejalan dengan pemerintah yang merupakan bentuk pelanggaran HAM. praktik otoritarianisme pada jaman orde baru menjadi dasar pembatasan masa jabatan presiden. Pembatasan masa jabatan presiden muncul setelah dilakukan amandemen untuk pertama kalinya UUD 1945 pada tahun 1999.
 Maka dari itu menurut pengamatan penulis, tidak ada satu alasan pun untuk melakukan penundaan atau perpanjangan masa jabatan presiden. Yang ada hanya dalih dari para elit politik yang tidak berdasar, dan juga tidak dapat dibuktikan secara nyata.
 Apabila pada akhirnya dilakukan perubahan konstitusi hanya untuk melanggengkan karpet merah kekuasaan, saya rasa negara kita tak layak disebut negara hukum, lebih tepat menjadi negara oligarki dimana hukum bisa dirubah semena-mena untuk kepentingan oligarki. Selain itu jika benar-benar terjadi, ini merupakan sebuah bentuk kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H