Pengantar
Berawal dari ambisi yang berapi-api, lalu lenyap menjadi abu tanpa arti. Sebuah angan catatan satu tahun pertama, mengolah kata menjadi biasa, mengolah memori menjadi memoar, ratusan tulisan cacat tak berkaki, lalu sisa tulisan yang sekarat mencoba untuk diselamatkan dengan berbagai macam revisi. Berikut senandika dari tahun pertama.
Bagian pertama, yang selamat ditujukkan sebagai dopamin kuat yang kembali setelah ratusan hari mati. Beberapa diksi serta tata penulisan dibiarkan asli ketika pertama ditulis.Â
Bagian kedua, yang selamat dinarasikan sebagai roket yang melesat lalu meledak, menyayat setiap potongan, membengkak setiap pukulan. Dan, layaknya tokoh paling nyeri, aku tidak membawa sudut pandang mu, dia, kami, atau mereka.
Terima kasih, yang terkasih, mari mengasih, selamat bersedih.
Bagian Pertama
Memantik Arti
Aku harap kau tengah berbahagia di sana, atau setidaknya kau sedang mencoba untuk mencapainya. Karena begitu pun dengan aku di sini, tidak ada yang jauh lebih baik setelah menarik langkah mundur darimu.
Walau belum sempat terbalas setidaknya aku tahu, jika semua hal tak harus terkoneksi, kadang hal yang mungkin sekalipun, masih ada kemungkinan untuk tak terhubung.
Selain itu, aku tengah mencoba memulai menatap sebuah objek bernama cermin, melihat potret yang selama ini selalu menemani setiap derai perjalanan, sosok yang tak pernah pergi satu senti pun, tak pernah bolos sedetik pun, tak pernah hilang sekejap pun, ia selalu berdiri menemani. Tapi ironisnya aku selalu lupa padanya.
Hingga saatnya hari ini, aku memulai memahami arti klise dari mencintai diri sendiri, hal yang sudah kuno ini ternyata anomali bagiku, aku belum dapat memahaminya hingga sejauh itu, walau definisinya sudah kudengar berulang kali dari berbagai macam referensi, tapi tetap saja aku belum mendapat jawaban yang membuatku mengerti, bahkan aku tak tahu bagaimana cara untuk mencapainya, entah harus dicari atau dibentuk, entah harus kendalikan atau cukup diakui kehadirannya. Dan mungkin sekarang saatnya, merakit bangunan tanpa bahan, bagai mendaki gunung di lautan, entah aku yang terlalu bodoh, atau arti ini yang memang tak perlu kecerdasan untuk merasakannya.
Januari 2022