Kompasiana - Bermalam di Temanggung awalnya saya kira menjadi sesuatu yang akan mengasyikkan, udara dingin dan obrolan hangat dengan orang-orang tak dikenal adalah suasana yang saya harapkan. Setidaknya itu menjadi bahan bakar bagi saya bisa sampai ke Temanggung sendirian.
Bulan Ramdhan tahun 2022 situasi covid sudah tidak terlalu mencekam seperti tahun sebelumnya, orang-orang mulai berani bepergian dan tempat-tempat wisata sudah mulai beroperasi meski menerapkan aturan-aturan untuk mencegah penyebaran virus merepotkan itu.
Sama seperti bulan-bulan Ramadhan sebelumnya, kegiatan sehari-hari saya masih seputar berangkat kampus dan malamnya ikut ngaji posonan di Ndalem Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan bersama para santri.
Suatu hari di pertengahan Ramadhan, jiwa random saya tiba-tiba muncul, tersirat dalam pikiran "buka puasa di Temanggung kayanya asyik". Dan benar saja, tanpa mengabari siapa pun saya langsung memutuskan berangkat ke Temanggung sendirian hari itu juga.
Sebelumnya saya sudah beberapa kali lewat dan sekedar singgah istirahat di Temanggung, entah itu saat perjalanan ke Jogja atau biasanya saat akan atau setelah mendaki gunung, di sana kan terkenal ada gunung yang berdekatan itu ya, Gunung Sindoro, Sumbing, dan Kembang. Saat itu kesan saya pada Temanggung selalu menyenangkan.
Sekitar jam 2 siang saya berangkat dari Pekalongan, berharap bisa sampai di Temanggung sore hari, sekalian cari takjil dan buka puasa di Kota Tembakau tersebut. Sesampainya di Temanggung, rencana membeli takjil pun saya urungkan, pasalnya di sini banyak yang berbagi takjil, saya saja sampai mendapat 3 bungkus plastik kecil, Heuheu. Lumayan pengiritan.
Bingung mau ke mana, tak ada tujuan, yang penting sampai Temanggung, itu yang saya pikirkan. Karena di Pekalongan Alun-alun menjadi pusatnya keramaian, dan saya memang sedang mencari keramaian, terbesitlah pikiran untuk menuju Alun-alun Temanggung, berharap ada keramaian seperti di Alun-alun Pekalongan.
Setelah berbuka dan shalat maghrib di Masjid dekat alun-alun, saya memutuskan untuk berjalan kaki saja menuju tempat tujuan itu, motor saya tinggal di masjid. Sampai di alun-alun kagetlah saya, "Lah orang-orang Temanggung pada ke mana?" begitu pikirku. Sepi sekali, hampir tak ada kehidupan di alun-alun megah ini.
Saya sebagai orang Pekalongan merasa heran, pasalnya di kota kami alun-alun itu ya buat nongkrong, bahkan buat jualan juga. Jika kamu berkunjung ke Kota Pekalongan, mampir saja ke alun-alunnya, mustahil antara jam 7 sampai 12 malam tempat itu sepi. Saya saja heran, hampir setiap hari ada saja yang nongkrong di sana.
Saking ramainya itu alun-alun, tak jarang masyarakat Pekalongan mengeluh, banyak yang mengatakan Alun-alun Kota Pekalongan adalah alun-alun paling semrawut dari segi penataan tempat. Entah jera atau sadar, pemkot sepertinya mulai menanggapi keluhan tersebut, saat ini Alun-alun Pekalongan sudah mulai tertata, minimal nggak se-semrawut dulu.
Jika mau dibandingkan, padahal secara fasilitas saya rasa saat itu Alun-alun Temanggung lebih bagus daripada Alun-alun Pekalongan. Tempatnya lebih luas, serta ada beberapa gazebo dan tempat duduk. Sayangnya di sana tidak ramah tongkrongan, kalau malam tempatnya gelap, minim penerangan, dan tak ada penjual makanan atau minuman. Apa orang Temanggung kalau nongkrong cuma bawa rokok saja? Enggak kan ya?.