Mungkin sudah teralu telat atau sudah banyak yang memebicarakan politik terutama di tahun 2014 yang dikatakan sebagai tahun politik, karena pada tahun ini tepatnya pada 09 April 2014 dan 27 Juni 2014 diselenggarakan PEMILU.
Pada saat-saat seperti ini mulai banyak hal yang bersinggungan dengan politik, mulai dari naiknya IHSG setelah pendeklarasian seorang Capres, bahkan pada tahun 2013 mulai banyak kasus yang menjerat partai dan para anggotanya muali dari korupsi sampai suap menyuap. Hampir merata semua partai terkena kasus, mulai dari partai penguasa (berwarna biru) yang mulai dari bendahara, ketua partai dan semua mereka yang terlibat dalam partai biru penguasa itu terkena terjerat kasus korupsi.
Partai yang “katanya” bersih dan berideologi sebuah agama (berwarna hitam-kuning) bahkan sampai terkena kasus korupsi impor daging sapi, itu sangat melegaka bukan? Melihat bagaimana Negara kita mulai hancur perlahan tapi pasti. Tapi tidak perlu membahas hal itu, karena kita sedang ada di tahun politik, benar?.
Kasus yang hampir sama terjadi pada partai besar, bahkan kasus kecelakan yang mrenggut nyawa banyak orang pun terjadi dan menghebohkan dan pelakunya adalah tidak lain dan tidak bukan adalah seorang anak dari ketua umum partai matahari putih (ketua umumnya adalah Menteri Perekonomian kita). Selalu menarik melihat banyak hal terjadi menjelang terjadinya pemilu di Negara kita tercinta ini, hal-hal yang kadang menurut akal sehat kita( baca:beberapa orang) terlalu aneh, mencolok atau unik karena begitu banyak berita buruk pada hampir semua jenis partai, tapi disatu sisi banyak hal “baik” yang terkspos dari satu orang capres (yang baru saja mendeklarasikan diri). Perlahan tapi pasti masyarakat diatur oleh berita-berita, Koran, media massa segala jenis dan yang mencondongkan masyarakat Indonesia pada satu tendesi untuk melihat sebuah “kebaikan” diantara semua hal lain mulai dari pemerintah, dunia politik, ekonomi yang “rusak” (terimakasih pada media massa).
Tidak perlu memfokuskan pandangan pada hal itu, karena ada beberapa manusia Indonesia tidak suka melihat “orang itu” dijelek-jelekan. Dari semua peristiwa pengantar semenjak 2013 sampai Maret 2014 ini menimbulkan sedikit fakta kecil yang tidak banyak yang lain tahu, kita sudah diujung tanduk, seperti novel karya Tere Liye (semoga benar namanya) Negeri Di Ujung Tanduk. Indonesia sudah berada dibatas dimana Indonesia kekurangan manusia yang benar, dan mau berlaku baik. Tidak percaya? Lihat betapa kita butuh banyak survei dari para lembaga survei untuk mecari dan menunjukan siapa orang baik yang dibutuhkan negeri ini, begitu melihat sosok yang dianggap berhasil dalam perbuatanya (baik pemimpin daerah atau instansi Negara) masyarakat Indonesia secara langsung meminta mereka yang dinilai baik oleh lembaga survey untuk memimpin Negara kita. Hebat bukan, ketika seorang berhasil di dunia kecil yang mereka pimpin maka seketika mereka diminta untuk memimpin sebuah dunia besar dan diharapkan berhasil, koreksi dipaksakan berhasil, karena dilihat dari apa yang sudah mereka lakukan sebelumnya.
Menyedihkan memang, tahun 2014 ini tahun politik, tapi masyarakat Indonesia kekurangan individu yang layak untuk mengurus kepentingan rakyat. Sebenarnya, masyarakat Indonesia takut, takut mengakui bahwa memang sudah tidak ada lagi sesorrang atau sekelompok manusia yang dapat dipercaya, yang memang mempunyai hasil kerja baik, proses baik dan didukung oleh orang yang baik pula. Masyarakat Indonesia takut, untuk mencari seorang baru atau sekolmpok baru, karena memang sudah tidak ada. Mengapa dalam tulisan ini disebutkan “orang atau kelompok baik”? sekali lagi, Indonesia lupa, bahwa untuk mengatur, menjaga, dan mengurus ibu pertiwi ini bukan diandalakan pada satu sosok yang sempurna dunia akhirat, tapi terletak pada kelompok orang yang baik dan mau bekerja untuk Indonesia, itu saja. Sosok pemimpin memang dibutuhkan untuk menggerakan, tapi pada akhirnya pemimpin itu (anggap presiden) perlu orang-orang layak yang bisa bekerja sebagai tim, untuk membangun Indonesia ini.
Kembali ke judul yang dituliskan, apakah Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi atau pesta plutokrasi (pemerintahan yang dipimpin oleh mereka yang memiliki kekayan)?. Pertanyaan yang terlalu sensitive mungkin, bagei mereka yang memuja demokrasi, terutama mereka politikus diatas yang mengatakan ini adalah pendidikan politik yang baik. Mereka (politikus) mengatakan seperti itu karena mereka sudah mengeluarkan banyak modal untuk bisa menjadi para pengurus Negara kita (yang jika rapat tidak mau disalahkan jika absen atau tertidur). Uang menjadi sebuah hal yang dipuja dan juga menjadi alat, lucu bukan disatu sisi kita memuja uang tapi disatu sisi kita menjadikanya alat juga, manusia. Tidak percaya lihat saja situs pemerintah kita http://www.kpu.go.id/ lalu silakan cari dokumen yang berisi laporan keuangan partai mengenai sumber dana kampanye mereka (dengan kemungkinan tidak semua dilaporkan) sebelum menulis tulisan ini sudah dilakukan pengolahan dokumen dan ditemukan bahwa dalam sebuah partai terdapat angka sumbangan fantatis dari perseorangan sebesar Rp 1.167.270.000. Itu adalah uang, satu milyar lebih yang disumbangakan pada partai untuk kampanye itu semua adalah uang. Pertanyaan, kenapa seorang individu yang menjadi caleg dari suatu partai rela mengeluarkan dana sebesar itu?. Jelas untuk menjamin dia dalam posisi partainya, pertanyaan kedua, darimana sumber uang itu? Ini baru perytanyaan menarik, darimana? Uang hasil usaha, atau sisa hasil usaha (SHU)? Mungkin dia menjadi anggota koperasi. Katakan saja itu adalah dana pribadi (uang korupsi juga dana pribadi J) kenapa Indonesia harus melakukan dan melewati sebuah peristiwa dimana kegiatan atau peristiwa itu menelan dana sebanyak satu milyar, dan itu dari satu partai saja, dan baru satu orang, bayangkan semua para anggota partai seperti itu, kaya sekali mereka.
Pendidikan politik kah ini? Pendidikan politik kah ketika Indonesia harus mengeluarkan banyak dana untuk mencari pemimpin terbaik bagi negeri ini? Jika memang ini adalah merupakan pendidikan politik, mengapa tidak Indonesia meakukan hal yang sama pada pendidikan yang sebenarnya di Indonesia, membangun sekolah, membayar guru yang rela menjadi guru meski bayaranya hanya beras di plosok sana. Jika memang pemilu boros ini dilakukan demi Indonesia, mengapa Indonesia tidak menggunakan dana yang sama besar untuk pemilu untuk membangun daerah terujung dari ibu kota kita, daerah perbatasan, sehingga mereka yang tinggal disana merasakan bagaimana dirawat oleh Negara, sehingga mereka dapat merasakan bagiamana rasanya memiliki Negara. Pemilu yang boros, dana yang besar bagi partai untuk kampanye, jika partai politik memang peduli sedikit saja peduli pada masyrakat, harusnya tidak memilih anggita partai dan caleg yang tidak layak.
Dari semua hal yang terlihat tapi tak kasat mata ini, jika ada dari masyarkat Indonesia yang sadar akan kerusakan ini lalu memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya di PEMILU, pasti dianggap tidak mencintai Indonesia. Dikatakan tidak bertanggung jawab, tidak berpikir jernih. Siapa yang berpikir tidak jernih ketika semua orang yang mengaku ingin memipin Indonesia demi rakyatnya, didukung oleh partai yang menggunakan uang sampai bermilyar-milyar untuk kampanye, tapi tetap memilih, dengan alasan, jika tidak memilih maka mereka membiarkan Negara ini rusak?. Negara ini sudah rusak, mari akui saja. Keterikatan mereka (baca :politikus) pada uang, pada plutokrasi sudah sampai pada darah mereka. Jika memang ada itikad baik untuk membuat Indonesia ini lebih baik sedikit saja mengapa justru banyak yang menentang ketika PEMILU dilakukan serentak?, PEMILU serentak menghemat biaya itu benar, menghemat waktu benar, dan yang utama sesuai konstitusi. Mengapa politikus itu tidak mau melakukanya pada tahun ini?. Karena persiapan sudah matang untuk melakukan pemilu jawabanya, lalu biaya butuh besar, lalu dimana masalahnya? Bukankah Indonesia siap menengluarkan biaya besar untuk pemilu yang diadakan dua kali? Bukankan para partai mempersiapkan uang bertriliunan untuk pemilu ini? Jika siap mengeluakan dana sebesar itu, kenapa tidak berani mengeluarkanya untuk hal yang benar untuk membuat tahun ini siap untuk PEMILU serentak.
Pesta ini bukanlah pesta demokrasi, karena rakyat Indonesia bahkan tidak diijinkan untuk tidak memilih, haram lah jika golput, tidak cinta Indonesia lah, apatis lah, semua stigma negaitf muncul. Pesta ini bukan Pesta demokrsari tapi pesa plutokrasi, karena ini adalah pesat untuk mereka orang kaya di atas sana yang memiliki uang yang paada akhirnya mengatur jalanya negaara ini agar sesuai dengan keinginan mereka, agar mereka mendapat untung. Mereka (tafsirkan sendiri, pihak luar, atau pihak dalam) pada akhirnya yang akan mendapat kembali uang mereka, dan pada akhirnya rakyat Indonesia akan mengunlang kembali siklus kerusakan ini setiap lima tahunya.
Ini bukan Pesta demokrasi, ini Pesta Plutokrasi
http://www.wsws.org/en/articles/2014/01/21/pers-j21.html dan http://www.markfoster.net/struc/plutocracy.pdf
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/01_PARTAI%20NASDEM.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H