Pendidikan kita saat ini, esensinya masih bertolak ukur pada penguatan IQ karena lebih simple dan mudah dinilai, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Walau sudah mengarah pada penguatan aspek lain, namun belum seutuhnya mengembangkan berbagai jenis kecerdasan. Selain IQ, belahan lain dari sisi diri kita adalah EQ, kematangan EQ hasilnya berupa kecerdasan emosional. Sebagai umat beragama, kita juga memerlukan SQ untuk mematangkan orang-orang yang punya kecerdasan IQ dan EQ, hanya sebatas berilmu tinggi, juga berakhlak mulia.
Tetapi baru-baru ini ada kecerdasan lain yang digiangkan, yaitu LQ. Dengan kecerdasan LQ pada diri kita, menjadi lebih menyesuaikan diri di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Bagi kita guru, tentu termasuk dengan dunianya anak-anak. Kita ibarat bunglon yang bisa melompat ke mana ia suka, memiliki kawasan, cepat 'berubah warna' menyesuaikan diri dan menjalin koneksi di mana tempat ia berada.Â
Thus, salah satu masalah  guru di sekolah dan di kelas untuk pengajaran yang bermutu adalah anak-anak umunya menghadapi defisit di segala aspek dari belum matangnya jiwa dan mesin dari masing-masing kecerdasan anak-anak itu sendiri. Aspek pengajaran yang dilakukan oleh guru yang telah matang aspek IQ, EQ, dan SQ-nya akan makin mudah berkoneksi dan berinteraksi dengan anak masa kini, sehingga bisa mentralisir sekaligus mengkatalisir potensi-potensi anak didik. Macam-macam pola tingkah laku dari murid dapat diatasi termasuk pandai menghormati sekolah dan pendidik di dalamnya. Nah, kalau kita ingin dihormati anak didik, kita memerlukan dukungan kecerdasan LQ (LocationQuotions) ini. Â
Jadi apa itu LQ? Salah satu intinya adanya kuantitas 'mesin cinta". Dengan kuantitas cinta yang dimiliki sosok guru LQ-nya bagus, Ia akan mampu mengatasi masalah dan menemukan solusi dari segala pola laku anak didiknya yang semakin kompleks. Di mana di zaman ini mereka tidak terkekang lagi, sebaliknya mereka makin terbuka dengan dunia mana saja melalui teknologi dalam gengamannya.Â
Menghadapi pembangunan global saat ini, termasuk pendidikan, kemiskinan, perubahan iklim, dan penyakit, juga membutuhkan kuantitas cinta. Dengan memiliki kepercayaan dan keyakinan diri dalam imajinasi, kita guru akan selalu menemukan berbagai solusi pasti menghadapi permasalahn anak didik dan pendidikan itu sendiri. Tentu dengan berpikir di luar (out the box) kemampuan yang tidak dimiliki mesin otomatis secanggih apapun, yaitu dengan mesin cinta.Â
Harapan pendidikan saat ini dan ke depannya  bertumpu pada guru-guru muda yang punya mesin cinta. Dengan demikian, mereka mantap dan yakin melihat masa depan dengan dukungan penggunaan teknologi yang benar. Kami (penulis) sebagai guru yang sudah di atas 50 tahun, cenderung dengan segala kekuatiran, namun akan selalu mendukung guru-guru muda.Â
Memperhatikan kemampuan orang muda saat ini, dia seperti bisa mendesak penonton, bukan penonton yang mendesaknya, atau hanya sekedar jadi penonton. Mereka tidak terlalu khawatir tentang masa depan karena bantuan teknologi serta kecerdasan yang dimilikinya. Mereka khawatir bukan tentang pemimpin dunia yang tidak berubah saat. Tetapi kuatir para pemimpin tidak bisa menyediakan posisi atas kehebatan mereka. Tetapi sebaliknya, bila mereka menggunakan teknologi dengan tidak benar. Kaum muda di masa depan pekerjaan akan digilas, didominasi oleh robot, mesin AI (Artificial Intelligence) , dan komputasi (cloud computing).
Jack Ma, seorang mantan guru, yang juga pendiri Alibaba memperingatkan para pemimpin pemerintah untuk juga "memperhatikan pendidikan," karena saat ini kita sedang mengajarkan anak-anak banyak hal yang salah: yaitu mengatakan mesin itu lebih baik daripada manusia. Banyak pemerintah melalui kebijakan pendidikannya mendorong manusia kurang lebih mendekati kemampuan mesin. Ia meyakini pola pikir ini akan membebani mental kaum muda yang akan menghadapi persaingan dengan mesin (robot). Yang mana manusia itu sendiri yang membangun mesin mirip manusia, namun tak akan selama-lainnya mirip selagi manusia punya kesadaran berkreatifitas.Â
"Mesin tidak memiliki hati, mesin tidak memiliki jiwa, dan mesin tidak memiliki kepercayaan . Manusia memiliki jiwa, memiliki hati dan empati, memiliki kepercayaan, memiliki nilai; Kami kreatif, kami menunjukkan bahwa kita bisa mengendalikan mesin, "kata Jack Ma.Â
Intinya, manusia berhasil menciptakan mesin bahkan akan mirip dengan manusia, saat kondisi tertentu bisa mengalahkan kemampuan manusia, namun secanggih apapun mesin, belum bisa mengalahkan rasa cinta, jiwa, dan hati manusia. Disinilah lebihnya kualitas manusia dari mesin (teknologi) yang memungkinkan orang mengejar dan membentuk globalisasi dengan tetap memanusiakan manusia melalui teknologi dan pendidikan. Dan guru adalah ujung tombaknya. Punya mesin cinta dan jiwa ke depannya juga harus bersahabat, harus menguasai mesin teknologi AI dan komputasi untuk kemudahan memuliakan anak-anak didik. Insyaalah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H