Wali seorang murid saya bertanya, "Pak kenapa jarang ada PR di kelas kita?" Ia bertanya demikian karena tanpa ada PR anaknya tidak belajar di rumah, sebaliknya bila ada PR baru dia buka buku pelajaran. "Oh, iyalah, Bu. Nanti saya kasih PR," jawab saya.
Sebagian anak-anak ketika ada PR itulah dia belajar. Setelah PR selesai dikerjakan anak pun berhenti belajar, berhenti bersahabat dengan buku, berhenti menuntaskan banyak pengetahuan dan informasi dari bukunya yang harus dikuasai. Tidak diberi tugas PR baginya berarti hari bebas tak belajar di rumah. Ketika ditanya orang tuanya kenapa tidak belajar, Ia jawab, "Tak ada PR". Atau ketika PR-nya selesai di tempat privat/les, Ia jawab, "PR sudah selesai". Anak-anak beranggapan bahwa PR itu penting, saking petingnya, selesai mengerjakannya, beranggapan selesailah tugasnya hari itu (Ini salah satu kelemahan PR).
Maka bebaslah Ia lebih banyak bermain dari pada membaca. Kalau sudah bermain, lupa waktu, saat bermain jangan harap akan merespon atas segala perintah. Padahal seorang anak pelajar yang baik itu setidaknya membaca minimal 2 jam sehari. Tetapi saat ini terbalik, rata-rata anak mau menghabiskan waktu 1 sampai 3 jam di kesehariannya pulang sekolah dengan memainkan jemari di smartphone-nya.
Sebagian lain dari anak ada yang pasif. Tidak mau bergerak, berdiam diri tanpa ada sinyal sikitpun mau memulai, bahkan mau menanggung konsekuensi atas PR yang tak dikerjakan. Anak seperti ini tidak mau jajal ini-itu. Berat untuk segera berbuat, bahkan tidak tahu harus memulai dari mana
Sedikit anak tanpa di suruh ia mau bergerak, pandai berinisiatif dan rajin bepikir buat ini dan itu. Ia menemukan sendiri cara belajar. Mencamkan baik-baik hasil temuannya agar tidak lupa kembali. Maka akan terbuka potensi-potensi baru dari dalam dirinya. Seolah seperti mengerti bahwa saat kita diam, segala kemungkinan akan tertutup. Hari-hari pulang sekolah baginya adalah take action melatih diri, di sudut manapun di rumah, bahkan di bawah pohon, baginya adalah tempat belajar
Pada sebuah bulan baik, saya berikan murid-murid PR secara beruntun, bahkan di akhir pekan sekalian. Akhirnya datang juga keluhan orang tua murid lain, mengeluh PR terlalu banyak. Entah karena pernah membaca artikel bahwa PR itu menyita waktu anak atau pernah mendengar banyak sekolah dasar dan individu guru melakukan tidak memberikan pekerjaan atau tugas yang di bawah ke rumah. Mulai berpikir PR Ini menyita waktu anak-anak untuk bermain dengan dunia anak-anaknya, atau menghabiskan waktu berpartisipasi dengan kegiatan keluarga, sampai kegiatan membaca dan tidur pun terganggu. Katanya orang tua murid, “anak saya tidak melulu harus berkutat dengan pensil, pena, dan kertas”.
Bagi anak-anak yang pada dasarnya cerdas, PR baginya bukan masalah, 'sekedip mata' ia bisa mengerjakannya tanpa beban. Anak-anak lima besar di kelas, biasanya selalu percaya diri mengerjakan tugas. Masalah muncul jika PR yang diberikan menyamaratakan untuk semua anak. Padahal kemampuan anak mengelola sesuatu secara mandiri tidaklah sama.
Nah, disaat seperti inilah bagi anak yang kemampuannya sedang sampai rendah, mengerjakan PR selalu membutuhkan orang lain mendampinginya. Pendampingan untuk kepercayaan dirinya. Saat itulah PR mem-pushback terhadap pekerjaan rumah dari orang tua. Orang tua sebagai pendamping mengatakan waktu mereka habis dimonopoli hanya untuk melayani kesulitan anaknya mengerjakan PR.
Akhirnya, pada anak-anak yang cukup manja ditambah berkesulitan atau ketidakmampuan belajar (learning disability), bukan anak yang mengerjakan PR. Tetapi orang tuanya. Bila demikian, adakah anak mengerti dan mendapat pemahaman dari hasil olah pikirnya sendiri kasih melalui pemberian PR? Padahal itu hakikat adanya PR, menambah penguatan pemahaman terhadap materi yang anak pelajari saat di sekolah.
Pandangan bagi sebagian orang tua, Guru seperti dijadikan segala pokok masalah kesibukan anak-anaknya di rumah. Keikhlasan niat guru akhirnya berpencar pandang menjadi negatif bagi orang tua murid.
Menelisik hal tersebut, beberapa sekolah dan individu guru Mulai merevisi pekerjaan rumah buat anak didik mereka, dengan memastikan bahwa kebijakan PR harus melihat kondisi, situasi, ketersediaan literasi, kemampuan setiap anak, sampai pada keadaan orang tua murid di rumah. Apakah orang tuanya sibuk atau tidak bisa berpartisipasi dengan sebab tertentu. Ini semata untuk memastikan bahwa pemberian PR itu efektif atau mala membuat runyam sehingga menjadi tekanan dan beban bagi murid, guru, dan orang tua. Bagi guru, selama ini, betapa banyak yang merasa powernya terendahkan gara-gara anak ada saja anak yang tidak bikin PR tanpa pernah memandang keadaan mereka di rumah secara adil. Daripada terlihat tak berwibawa, maka jatuhlah hukuman buat mereka, setidaknya dengan memotong jam istirahat mereka. Hukuman yang membuat anak makin terpuruk.