Semasa sebagai pelajar saya mengenal kata kurikulum saat kelas 6 SD. Guru saya sempat pamer menceritakan, "kita sekarang memakai kurikulum CBSA". Langsung  menyadari sebelum CBSA memakai kurikulum apa, ya?, rupanya di kelas 1-5, saya 'diasuh didik' dengan arahan kurikulum 1975. Itu saya ketahui setelah melihat kembali buku lama dan membaca sekapur sirih atau kata pengantar buku paket lama di lemari kelas.
Ada perbedaan yang saya rasakan dan ingat hingga saat ini, yaitu aturan kurikulum mengharuskan siswa terlibat aktif (berpusat pada siswa), sama-sama tahu di zaman itu, para guru adalah sosok killer yang menakutkan untuk aktif dan berjalan di kelas, tangan saja harus berlipat di atas meja. Hangat baru pertama CBSA diberlakukan, guru saya begitu rajin membentuk kami dalam kelompok-kelompok belajar di kelas. Kami pun diajar aktif berdiskusi dan mengeksplorasi sendiri pengetahuan sesuai kelas dan umur kami saat itu. Guru saya cukup konsisten, tetapi jiwa pemarahnya tetap tak hilang. Bertolak belakang bagi yang memberi kepanjangan CBSA sebagai catat buku sampai habis.Â
Saat ini setelah menjadi pendidik, saya percaya bahwa kurikulum harus pertama dan utama, sebagai sebuah sistem untuk mengembangkan pemahaman murid lebih mendalam dan abadi dari beberapa gagasan kompleks untuk menghasilkan lulusan yang bermutu sebagai cita-cita bersama.
Konten dasar pengetahuan penting yang termaktub kuat pada kurikulum itulah yang harus dikuasai murid. Begitu juga guru mesti menguasai  cara penyampaian konten dasar kurikulum tersebut agar tujuannya tercapai. Seperti yang Alfie Kohn katakan, "kurikulum adalah konteks untuk suatu tujuan." Artinya, kurikulum yang disusun dengan baik bukan sekadar daftar tema materi dan keterampilan harus dikuasai. Tetapi tentang perkembangan ide-ide penting yang serasi dan bersangkut paut (koheren) yang dijawantahkan melalui pertanyaan-pertanyaan penting yang memicu keingintahuan siswa dan membangun pemahaman siswa. Pemahaman murid yang kuat akan memudahkan membangun pengetahuan-pengetahuan mereka berikutnya.Â
Kurikulum kita saat ini memberikan materi ajar berdasarkan umur. Anak yang berumur 9 tahun diberikan materi pelajaran sesuai usianya tersebut. Kenyataan pahit yang kita temui saat ini, anak-anak surplus umur, sebaliknya defisit pengetahuannya. Sudah kelas 6, tetapi pelajaran kelas 4 dan 5 banyak yang belum mereka kuasai.Â
Mengapa terjadi defisit pengetahuan? Disebabkan belum bertemunya koherensi yang terdapat pada kurikulum yang dibuat pemerintah dengan keadaan masyarakat yang disasar oleh kurikulum. Kenyataan saat ini ada ketimpangan antara keinginan kurikulum, sebaliknya masyarakat belum siap  menerimanya. Walau ketimpangan tidak seperti langit dan bumi, namun cukup menjadi gesekan penerapan kurikulum berlari kencang pada relnya.
Seharusnya Kurikulum itu serasi dengan keadaan masyarakat, makin tinggi tuntutan kurikulum, tinggi juga kemampuan masyarakat untuk menerimanya. Setakat ini baru sebagian masyarakat yang siap, siap secara biaya, dan siap secara sudut pandang sehingga kurikulum tidak menjadi kontroversi.Â
Bahkan bahan bakar dasar kurikulum saja seperti menyediakan buku teks pelajaran bagi anaknya ada masyarakat yang belum mampu. Apalagi sampai mengkaji tuntutan kurikulum yang harus mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi. Belum berimbang dengan kemampuan masyarakat menyediakannyanya bagi kepentingan peserta didik. Masih jauh dari yang diharapkan kurikulum. Padahal umtuk membuat kue enak dibutuhkan bahan-bahan yang lengkap, bersih dan bermutu.Â
Murid sebagai elemen penting masyarakat yang mempercayakan pendidikannya pada asuhan kurikulum (pemerintah) belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Apalagi sejak adanya dualisme kurikulum sejak tahun 2013, yaitu antara K13 dan KTSP. Pemerintah dan masyarakat seolah saling pasrah. Seakan saling menerima entah siapa yang mau disalahkan. Pendidikan (guru) sebagai orang tengah juga demikian, mencoba menjalankannya semampu daya upaya dari segala keterbatasan di istananya (sekolah). Padahal di belahan dunia sana adopsi teknologi (TIK) baik oleh masyarakat, pendidikan, dan dukungan pemerintah makin membuat mereka mulus lepas landas menuju persaingan global.Â
Bagaimana kita mengurai kendala kita saat ini dalam penerapan kurikulum? Yaitu dengan mengurangi adanya gap antara pemerintah (penyedia dana dan kurikulum), Â para pendidikan (ujung tombak kurikulum), dan masyarakat (penerima kurikulum). Ketiga elemen ini belum merata kesiapannya mengadopsi kurikulum. Sebaik apapun kurikulum kalau ketiga elemen tersebut belum satu kata, satu rasa, satu daya, maka yang menjadi 'apa adanya' adalah peserta didik. Â
Dengan masih adanya gap atau bugs dari ketiga elemen tersebut, maka untuk menjalankan tujuan penting kurikulum menjadi tersendat. Makin diperparah penguasaan teknologi yang minim, kemampuan pedagogik, dan kesadaran literasi yang makin rendah dari setiap pendidikan.Â
Harapan kurikulum, dengan penguasaan teknologi menjadikan pelaku pendidikan (Guru, murid, orang tua) terhubung dalam komunikasi yang cepat, handal, dan mempermudah. Kemampuan pedagogik menjadikan pelaku pendidikan menjadi bergairah, nyaman, tanpa beban, penuh semangat. Ketersediaan dan kemauan akan pentingnya literasi menjadikan semua target kurikulum menjadi lebih mudah dan cepat  dipahami.
Dari ketiga komponen tersebut mana yang lebih penting di era milenial ini? Yaitu penguasaan teknologi digital, penguasaan teknologi berbasis awan (cloud computing) inilah menjadi tantangan kita untuk saat ini dan ke depannya yang tidak bisa ditawar lagi.Â
Saat ini para pendidikan terlalu fokus kepada teks. Padahal pergeseran telah terjadi sejak boomingnya media sosial, yang mana anak-anak kita kini lebih suka dengan konten dalam format video. Kita seperti masih terjebak di zaman mengetik. Walaupun teks masih diperlukan, namun video akan membuat konten terasa lebih mendalam. Konten digital tumbuh sangat cepat, mengalahkan minat baca dan menulis anak.
Pembelajaran dengan dukungan cloud computing, net, dan aplikasi harus kita adopsi. Jika tidak, pendidikan kita akan ketinggalan, akhirnya kurikulum yang ada di depan selangkah daripada kita pendidik, padahal kurikulum hanya dibuat 10 tahun sekali, sedangkan pengetahuan berkembang setiap waktu, seharusnya kita yang mengiringnya dengan tali dan simpul kekinian.Â
Kita mafhum, kurikulum adalah genuine friends para guru, Â harus mengadopsinya dengan hati yang hangat. Sebagai teman sejati untuk memanusiakan manusia (anak didik) menunjukkan kasih sayang pada tingkat tertentu, terlepas dari apakah dia kaya atau miskin, menyusahkan atau tidak, berada dalam posisi tinggi atau rendah, kurikulum tetap menjadi teman sejati para pendidikan. Kita ikhlas bersamanya dalam kondisi penuh tantangan sekalipun karena kita adalah pelaku terdepan kurikulum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H