Semua orang berharap-harap cemas. Mereka semua menunggu skuad Coach Riedl sukses membawa pulang Piala AFF. Mereka semua menantikan timnas Indonesia dapat merengkuh gelar juara untuk pertama kalinya. Akan tetapi, kita semua tahu hasil akhirnya seperti apa.
Sontak seluruh Indonesia disergap nuansa kemurungan yang pahit. Lantas pelan-pelan kita semua menangis karena kita tahu timnas kita tidak layak kalah di partai final. Sedu sedan ini terasa di seluruh penjuru negeri. Kita kecewa karena anak asuh Coach Riedl hanya mampu meraih gelar runner-up.
Ketika saya melihat kembali memori sedasawarsa lalu, saya sadar saya bukan mengenang hasil akhir sebuah turnamen sepakbola. Secara teknikal, saya menyadari betul Coach Riedl telah mempersembahkan susunan timnas terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Namun kenangan yang ditinggalkan Coach Riedl lebih besar dari itu.
Saya bisa berteriak ketika Irfan Bachdim mencetak gol dan tertawa girang saat peluit akhir berbunyi bersama orang asing yang sama-sama menonton bola di warteg. Saya dapat menyapa akrab seorang Bonek yang tak saya kenal ketika mereka berduyun-duyun melewati kota saya untuk menuju Jakarta. Saya merasakan kemurungan yang sama dengan setiap orang yang saya temui di jalanan setelah timnas kalah secara menyakitkan di partai final.
Bagi saya, memori kolektif untuk bisa berbangga menjadi Indonesia dan bersama-sama merasa sebagai sesama saudara sebangsa dengan orang-orang yang tak saya kenal, itulah legacy terbesar Coach Riedl. Jika selama ini politik telah mencerai-beraikan sesama anak bangsa, Coach Riedl melakukan hal sebaliknya. Dia bersama tim asuhannya justru memahat monumen persatuan Indonesia, di dalam sanubari kita semua.
Selamat jalan, Coach. Requiescat in pacem.
(Tulisan ini pernah dimuat di gusdurian.net)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H