Saya tak pernah bertemu muka sekalipun, tetapi saya mengenal kiprah Jakob Oetama sejak kecil. Perkenalan awal saya mungkin bermula dari Gramedia, "tempat wisata" yang paling kerap saya sambangi.Â
Saban hari Rabu saya rutin dibelikan majalah Bobo. Lantas tiap akhir pekan, saya bisa menghabiskan waktu di toko buku tersebut selama seharian penuh hanya untuk membaca sejumlah buku komik.
Lepas dari usia SD, saya mulai beralih bacaan dari Bobo ke Kompas. Halaman favorit saya adalah halaman 30-31, halaman olahraga. Saya rajin mencari berita sepakbola di halaman ini.Â
Beranjak usia, saya mulai menikmati membaca halaman 7-8 yang berisi kolom opini. Saya senang membaca beragam pemikiran para kolumnis Kompas yang ramai wira-wiri disana.
Seiring dengan kebiasaan saya yang suka membaca Kompas, nama Jakob sering disebutkan sambil lalu dalam pembicaraan di ruang keluarga. Faktor utamanya adalah profilnya sebagai sosok Katolik-Jawa yang terkenal di kancah nasional.Â
Hal tersebut dianggap sebagai satu pencapaian hebat bagi keluarga saya. Sebab biasanya orang Katolik yang menjadi pengusaha atau pengambil kebijakan berpengaruh di level nasional adalah orang Katolik-Tionghoa.Â
Selentingan populer Kompas juga menguatkan rasa kagum terhadap Jakob. Korannya sudah coba dijatuhkan sedemikian rupa dengan plesetan sebagai "Komando Pastor". Akan tetapi Jakob tetap mampu memimpin medianya menjadi koran bertiras terbesar dan paling berpengaruh di republik.Â
Kurang hebat apalagi? Maka mendengar nama Jakob sudah seperti mendengar sosok saudara jauh yang sukses dan sering dibangga-banggakan keluarga besarnya. Jakob adalah sosok patron bagi keluarga saya.
Ketika saya memutuskan mengambil studi di Departemen Komunikasi UGM, saya diyakinkan kalau itu jurusan bagus. Alasannya karena setelah lulus dari situ bisa bekerja di media besar, seperti Kompas.
Terlebih saat saya telah menyelesaikan kuliah saya di sana, dorongan itu tampak lagi. "Daftar saja ke Kompas. Latar belakang kayak kamu pastilah bisa lebih diutamakan kalau mendaftar kesana."