Mohon tunggu...
Ageng Yudhapratama
Ageng Yudhapratama Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran profesional

Seorang manusia yang sering sambat mengenai banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengusir Orang-orang Europeanen

17 September 2020   01:52 Diperbarui: 17 September 2020   01:55 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Geef mij maar nasi goreng~

met een gebakken e~

Wat sambal en wat kroepoek~

en een goed glas bier erbij~

Kalian pernah membayangkan apa yang perbedaan Mandela dengan Bung Karno? Kuberi sedikit bocoran. Coba googling sepenggal refrain lagu di atas. Lalu cobalah dengar dan nyanyikan liriknya.

Lagu keroncong bernada sendu itu berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng. Lagu itu dibikin oleh Wieteke van Dort, (dulunya) seorang warga negara Hindia-Belanda. 

Dia lahir di Surabaya pada tahun 1943, saat Hindia Belanda tengah diduduki oleh pasukan Jepang. Rasnya mudah ditebak dari namanya: Dia Kaukasian. Masuk ke dalam golongan Europeanen jika merujuk penggolongan masyarakat pada masa Hindia Belanda.

Seniman kabaret yang kini dikenal dengan nama Tante Lien ini menciptakan lagu tersebut untuk mengungkapkan kesedihan masa kecilnya. Lagu itu merekam memori ketika Tante Lien dan keluarganya harus diusir Bung Karno dari kampung halamannya di Surabaya. Kala itu (1957-1960) hubungan diplomatik Indonesia-Belanda memang tengah tegang. Penyebabnya tak lain karena ketidakjelasan status Papua. 

Bung Karno yang kadung habis kesabaran menghadapi Belanda pun menggelar Operasi Trikora. Tak cukup demikian, Bung Karno juga menyerukan sentimen anti-Barat. Sentimen ini berbeda dengan semangatnya ketika menyerukan anti-pemerintahan kolonial. Sebab di tahun itu Indonesia sudah merdeka. 

Pemerintahan sipil sudah dalam komando penuh Bung Karno selaku kepala negara. Sedangkan pertahanan Indonesia sudah dilindungi oleh TNI, bukan lagi KNIL.

Pun demikian, Bung Karno tetap memainkan politik rasial demi mendukung Operasi Trikora. Bung Karno menginstruksikan nasionalisasi paksa terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap milik Belanda, baik publik maupun swasta. 

Dari nasionalisasi inilah kelak Indonesia memiliki beragam BUMN. Sedangkan di level akar rumput rakyat Indonesia, Bung Karno membikin kebijakan rasis yang menyasar Warga Negara Indonesia yang berdarah Kaukasian. Bung Karno mengusir para Europeanen "pulang" ke Belanda.

Sebagai catatan, Europeanen sipil yang bertahan di Indonesia dalam kurun 1945-1957 praktis sudah tidak punya privelese lagi. Revolusi Indonesia sudah menghapus keistimewaan status mereka di bidang politik ataupun militer. 

Meski demikian mereka memilih tinggal di negara ini karena bagaimanapun juga inilah tanah kelahiran mereka. Mereka tidak memusuhi negara muda bernama Indonesia. Toh mereka relatif tetap bisa hidup dengan aman dan nyaman. Apalagi ketika Kerajaan Belanda memutuskan mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949. Gejolak revolusi berakhir dan mereka bisa menata hidup kembali.

Namun atas titah agung Bung Karno, seketika itu juga mereka dipaksa menyangkal Indonesia sebagai tanah airnya. Tanah-tanah dan bangunan-bangunan yang dimiliki kaum Europeanen dirampas. 

Toko-toko dan harta benda yang mereka miliki dijarah massa. Kapal-kapal laut disiapkan dalam jumlah besar-besaran. Dalam sekejap mata mereka semua diusir dari Indonesia. Pemerintah Indonesia memaksa mereka melupakan kenangan akan Indonesia dalam kamus hidup mereka.

Hanya segelintir orang yang beruntung yang bisa mendapat kesempatan istimewa mengurus status WNI. Misalnya para rohaniwan/rohaniwati yang sudah lama mengabdi di negeri ini. Namun jelas lebih banyak Europeanen yang tidak memiliki privelege itu. Mereka semua terpaksa meninggalkan Indonesia dengan hati yang hancur. 

Tante Lien termasuk salah satu diantaranya. Dalam lagunya ia mencurahkan perasaan rindunya. Betapa dia sangat merindukan nasi goreng, sambal, dan krupuk. Makanan khas tanah Belanda begitu asing bagi lidahnya. 

Cuaca Belanda yang dinginnya begitu menggigil dan bersalju terasa tidak bersahabat. Dia sangat merasa kehilangan hangatnya nuansa kampung halaman tercintanya di Indonesia. Kampung halaman yang ia cintai tetapi mungkin tak akan dijumpainya lagi.

Dan sejak saat itulah satu golongan anak bangsa kita hilang secara signifikan dari bumi pertiwi. WNI yang bergolongan Europeanen bukanlah orang Belanda. Mereka tidak mengenal tanah Belanda. Mereka lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Ambarawa, atau Sukabumi. Nasi putih berlauk sayur lodeh dan sambal pedas adalah pemanja lidah mereka. Cita-cita mereka adalah bisa menua, meninggal, dan kelak dikuburkan di bumi nusantara. 

Namun kaum Europeanen ini harus pergi dan memulai hidup baru sebagai pengungsi. Di negeri antah berantah bernama Belanda. Sehingga kini hanya tersisa golongan Inlanders (pribumi) dan Vreemde Oosterlingen (timur asing) yang masih bisa mencecap nikmatnya hidup di Indonesia sebagai warga negara.

Maka bagi saya, Mandela jauh lebih humanis serta bermartabat dibandingkan Bung Karno. Mandela mampu bersikap dalam menolak rasisme terhadap seluruh anak bangsanya. Tokoh Afrika Selatan ini menghapus apartheid. 

Namun ia pula yang lantas memimpin upaya rekonsiliasi antara warga kulit hitam dan warga kulit putih di negaranya tercinta. Maka tidak perlu heran jika di momen perhelatan akbar Piala Dunia 2010, Shakira bisa asyik menyanyi dan berjoget "Waka-Waka" dengan ditemani para penari latar yang beraneka warna kulit.

Sedangkan Bung Karno gagal melakukan hal itu di separuh akhir masa kepresidenannya. Ia terjerumus untuk mengeluarkan kebijakan rasis demi memuluskan kepentingan politiknya. 

Makin sialnya lagi, setelah Bung Karno lengser keprabon (atau dilengserkan), kita memiliki Suharto yang juga seorang rasis. Bahkan lebih parah dari Bung Karno, ia menerapkan kebijakan rasis tersebut di sepanjang masa kekuasaannya.

Jadi memang pekerjaan rumah bangsa ini sangat berat untuk melawan rasisme. Sebab bapak bangsa kita sendiri pun pernah mewariskan satu kebijakan terkenal yang sangat rasis. Sedihnya, narasi sejarah politik tersebut sungguh populis dan terdengar sangat heroik dalam penjelasan di buku-buku sejarah sekolahan.

Akan tetapi semuanya kembali kepada diri kita, terlebih kita yang masih sering membangga-banggakan status sebagai pribumi. Apakah memang kita sudi mengulang dosa masa lalu Bung Karno? Membenci orang-orang hanya karena terlihat berbeda ciri fisiknya dengan kita? 

Iri dengan segelintir orang yang kaya yang kebetulan memiliki wajah yang lain dengan wajah kita? Mengusir orang hanya karena menurut ego picik kita, kampung halaman nenek moyang mereka bukan di sini, bukan di tanah air Indonesia?

Atau kita mau belajar dari kesalahan sejarah bangsa kita dan khusus untuk poin ini kita memilih meneladan Mandela daripada Bung Karno? Maukah kita memilih menjadi generasi baru bangsa Indonesia yang anti-rasis?

Saya tidak tahu jawaban kalian. Jadi untuk saat ini saya hanya ingin kembali melamun dan melanjutkan gumaman sendu senandung ini...

Geen lontong, sate babi, en niets smaakt hier pedis~

Geen trassi, sroendeng, bandeng geen een tahoe petis~~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun