Mohon tunggu...
Ageng Yudhapratama
Ageng Yudhapratama Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran profesional

Seorang manusia yang sering sambat mengenai banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah Susun Humanis ala Pekunden Semarang

2 September 2020   16:56 Diperbarui: 5 September 2020   09:09 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak dalam Rusun Pekunden. Gambar diambil dari: metrosemarang.com

Pemukiman kumuh yang berlokasi tepat di jantung kota. Barangkali inilah ironi terburuk bagi sebuah ibukota provinsi. Hal ini sempat dialami oleh Pemerintah Kota Semarang. Tepat di belakang kompleks balaikota, di seberang Kali Semarang, terdapat slum area bernama Kampung Pekunden. 

Maka pada medio 2000-an, Pemkot Semarang merencanakan revitalisasi kampung dengan membuat rumah susun (rusun) di Kampung Pekunden. Selain untuk merevitalisasi kampung, rusun ini dibangun demi memberi space untuk RTH di tengah kampung padat penduduk tersebut.

Memulai pembangunan rusun di tengah pemukiman masyarakat marjinal bukan hal yang mudah. Warga yang berasal dari kalangan sosial ekonomi rendah tidak bisa langsung menerima ide Pemkot Semarang. Mereka menaruh curiga, revitalisasi hanyalah bahasa halus dari penggusuran. Mereka sangat takut jika sampai harus terusir dari tempat tinggalnya selama ini. 

Alasan lainnya, warga merasa asing dengan ide tinggal di rumah susun. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya hidup mereka kalau harus tinggal menetap di rumah susun. Mereka sudah terbiasa tinggal di rumah tapak. Mereka merasa nyaman meskipun ukuran petak rumah mereka sangat sempit dan tidak sesuai standar layak huni. 

Wajar saja jika untuk tahap sosialisasi wacana ini saja, pihak Pemkot Semarang sudah perlu melakukan pendekatan yang berlapis. Semua upaya dilakukan demi melunakkan dan mengambil hati warga. Kesabaran Pemkot Semarang berbuah manis. Perlahan-lahan warga bisa diyakinkan bahwa mereka tidak akan digusur dari tempat tinggalnya, melainkan hanya ditata. Nantinya mereka juga dijanjikan dapat terlibat berkontribusi selama proses pembangunan Rusun Pekunden.

Pembangunan Lima Tahap

Dalam negosiasi Pemkot Semarang dengan warga Pekunden, pendekatan top-down ala birokrasi pemerintah seringkali harus dikompromikan dengan masukan dari warga yang bersifat bottom-up. Baik Pemkot Semarang maupun warga harus mau menurunkan egoisme masing-masing demi mendukung kesuksesan proyek Rusun Pekunden ini.

Salah satu hal paling menarik dalam proses ini adalah kenyataan bahwa seluruh warga yang berjumlah 53 KK sama sekali tidak mau direlokasi selama proses pembangunan rusun berlangsung, meskipun relokasi hanya bersifat sementara. Warga cemas apabila mereka pergi dari tempat tinggal mereka, rusun yang sudah jadi akan ditempati oleh orang-orang asing (makelar) dan mereka justru kehilangan jatah. 

Sehingga dalam negosiasi pun dihasilkan keputusan: Rusun yang terdiri dari lima bangunan (tower) akan dibangun secara bertahap dan tidak sekaligus. Warga yang lahan lokasi rumahnya tengah dibangun bangunan rusun hanya diminta berpindah sementara/mengungsi di rumah tetangganya dan tidak perlu meninggalkan kampung Pekunden. 

Pendekatan ini memang memakan waktu yang lebih lama daripada membangun seluruh bangunan rusun sekaligus. Namun cara ini bisa meminimalkan gejolak resistensi dan mempertahankan kohesi sosial masyarakat sebagai warga kampung.

Pemkot Semarang juga mampu menentramkan warga soal status kepemilikan unit rusun. Sebab dari total 93 unit rusun yang dibangun Pemkot, sebanyak 53 unit diantaranya diberikan sebagai unit hak milik kepada 53 KK pemilik lahan lokasi pembangunan rusun. 

Masing-masing KK memiliki surat hak milik atas satu unit rusun (SHMSRS) sebagai apresasi atas kerjasama warga dan pengganti hak atas rumah yang mereka miliki sebelumnya. Sedangkan sebanyak 40 unit sisanya tetap dimiliki Pemkot sebagai aset daerah dan dapat digunakan oleh siapapun warga yang berminat menempati, sebagai unit rusun sederhana sewa (rusunawa).

RTH di depan Rusun Pekunden. Gambar diambil dari: dotsemarang.blogspot.com
RTH di depan Rusun Pekunden. Gambar diambil dari: dotsemarang.blogspot.com

Budaya "Rumah Tapak" yang Tetap Bertahan

Upaya Pemkot Semarang tidak berhenti sampai disitu saja. Untuk mengurangi kesan kumuh yang sering tampak di rusun warga kelas menengah ke bawah, Pemkot berupaya memutar otak. Antara lain, menghadirkan ruang terbuka hijau yang lengkap dengan tumbuhan hijau dan saran bermain anak-anak di sisi utara rusun Pekunden. Pemkot juga membuat lantai satu rusun sebagai zona komersil dan semi-public space sebagai tempat saling berinteraksi bagi warga rusun. 

Selain itu, Pemkot mendesain lorong-lorong rusun menghadap ke sisi dalam rusun dan meniadakan balkon yang menghadap sisi luar rusun. Sehingga tampak depan (fasad) rusun ini berupa tembok polos di semua sisi. Tujuannya untuk menghindari tampilan lorong yang kumuh karena "pemandangan" jemuran pakaian, tumpukkan sampah, atau barang-barang lain milik warga yang disimpan di sepanjang lorong rusun.

Antisipasi Pemkot terbukti benar. Meskipun tampak luar (fasad) rusun terlihat rapi, tampak dalam area rusun jauh lebih meriah dan hidup, seperti tampilan kampung pada umumnya. Warga yang sudah bertahun-tahun tinggal di rumah tapak tetap membawa kebiasaan mereka saat harus menempati unit rusun. Lorong rusun yang didesain sebagai jalan akses antar hunian, dimanfaatkan para warga sebagai "teras rumah" sekaligus menjadi gudang atau tempat menaruh barang-barang yang tak muat disimpan di dalam unit rusun. 

Gang panjang itu juga tumbuh secara organik sebagai public space dimana warga sering nongkrong dan saling menyapa tetangganya. Sehingga kondisi lorong rusun persis seperti saat kita memasuki gang-gang pemukiman padat penduduk. Harus "serba permisi" kalau kita mau numpang lewat. Di sisi lain, lorong ini menjadi hidup karena berhasil menjadi ruang aktivitas komunal yang dihadirkan secara organik sesuai kebiasaan sehari-hari penghuni rusun.

Namun tidak semua antisipasi Pemkot sesuai dengan kebutuhan warga. Contohnya dalam pembagian zona hunian dan zona komersil di rusun. Tidak semua warga bisa memisahkan konsep zona hunian dan zona komersil. 

Pasalnya kebiasaan itu tidak mereka kenal saat masih tinggal di rumah tapak. Banyak warga terbiasa melakukan pekerjaan informal secara multitasking. Seperti misalnya kaum ibu yang mahir mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus dalam satu waktu. 

Mereka mengasuh anak bayi yang sedang tidur di kamar, sembari mengawasi anaknya yang lain tengah asyik bermain di depan rumah, sambil menjaga kios makanan, dan tentu saja ngerumpi dengan ibu-ibu lain yang datang berbelanja ke kios. 

Memang logikanya pemisahan lantai hunian dengan lantai kios sudah memikirkan faktor keamanan dan kenyamanan warga. Akan tetapi konsep ini sangat tidak masuk akal dengan kebutuhan dan karakter warga. Alhasil banyak warga yang mengabaikan pembagian zonasi ini. Mereka tetap membuka kios kelontong atau berjualan gorengan di depan unit hunian mereka masing-masing, dengan segala kreativitasnya.

Ternyata walaupun pihak Pemkot Semarang dan kontraktor sudah berusaha melibatkan warga dalam proses merencanakan dan membangun rusun, usaha tersebut belum cukup. Nyatanya tetap ada faktor budaya komunal warga yang belum bisa sepenuhnya diakomodasi. 

Meski demikian bukan berarti pembangunan rusun ini gagal. Seperti biasa, warga kampung selalu memiliki daya adaptasi dan daya tahan untuk berdamai dengan keadaan. Mereka tetap nrimo dan berusaha menyesuaikan diri dengan situasi di rusun. Caranya tak lain dengan membawa budaya kampung mereka ke dalam kehidupan baru di Rusun Pekunden.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun