Pemkot Semarang juga mampu menentramkan warga soal status kepemilikan unit rusun. Sebab dari total 93 unit rusun yang dibangun Pemkot, sebanyak 53 unit diantaranya diberikan sebagai unit hak milik kepada 53 KK pemilik lahan lokasi pembangunan rusun.Â
Masing-masing KK memiliki surat hak milik atas satu unit rusun (SHMSRS) sebagai apresasi atas kerjasama warga dan pengganti hak atas rumah yang mereka miliki sebelumnya. Sedangkan sebanyak 40 unit sisanya tetap dimiliki Pemkot sebagai aset daerah dan dapat digunakan oleh siapapun warga yang berminat menempati, sebagai unit rusun sederhana sewa (rusunawa).
Budaya "Rumah Tapak" yang Tetap Bertahan
Upaya Pemkot Semarang tidak berhenti sampai disitu saja. Untuk mengurangi kesan kumuh yang sering tampak di rusun warga kelas menengah ke bawah, Pemkot berupaya memutar otak. Antara lain, menghadirkan ruang terbuka hijau yang lengkap dengan tumbuhan hijau dan saran bermain anak-anak di sisi utara rusun Pekunden. Pemkot juga membuat lantai satu rusun sebagai zona komersil dan semi-public space sebagai tempat saling berinteraksi bagi warga rusun.Â
Selain itu, Pemkot mendesain lorong-lorong rusun menghadap ke sisi dalam rusun dan meniadakan balkon yang menghadap sisi luar rusun. Sehingga tampak depan (fasad) rusun ini berupa tembok polos di semua sisi. Tujuannya untuk menghindari tampilan lorong yang kumuh karena "pemandangan" jemuran pakaian, tumpukkan sampah, atau barang-barang lain milik warga yang disimpan di sepanjang lorong rusun.
Antisipasi Pemkot terbukti benar. Meskipun tampak luar (fasad) rusun terlihat rapi, tampak dalam area rusun jauh lebih meriah dan hidup, seperti tampilan kampung pada umumnya. Warga yang sudah bertahun-tahun tinggal di rumah tapak tetap membawa kebiasaan mereka saat harus menempati unit rusun. Lorong rusun yang didesain sebagai jalan akses antar hunian, dimanfaatkan para warga sebagai "teras rumah" sekaligus menjadi gudang atau tempat menaruh barang-barang yang tak muat disimpan di dalam unit rusun.Â
Gang panjang itu juga tumbuh secara organik sebagai public space dimana warga sering nongkrong dan saling menyapa tetangganya. Sehingga kondisi lorong rusun persis seperti saat kita memasuki gang-gang pemukiman padat penduduk. Harus "serba permisi" kalau kita mau numpang lewat. Di sisi lain, lorong ini menjadi hidup karena berhasil menjadi ruang aktivitas komunal yang dihadirkan secara organik sesuai kebiasaan sehari-hari penghuni rusun.
Namun tidak semua antisipasi Pemkot sesuai dengan kebutuhan warga. Contohnya dalam pembagian zona hunian dan zona komersil di rusun. Tidak semua warga bisa memisahkan konsep zona hunian dan zona komersil.Â
Pasalnya kebiasaan itu tidak mereka kenal saat masih tinggal di rumah tapak. Banyak warga terbiasa melakukan pekerjaan informal secara multitasking. Seperti misalnya kaum ibu yang mahir mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus dalam satu waktu.Â
Mereka mengasuh anak bayi yang sedang tidur di kamar, sembari mengawasi anaknya yang lain tengah asyik bermain di depan rumah, sambil menjaga kios makanan, dan tentu saja ngerumpi dengan ibu-ibu lain yang datang berbelanja ke kios.Â