Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Ibu, Ini tentang Nindia...

23 Desember 2013   21:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu...

Seperti kejatuhan yang lain, aku ingin mengunjungi makam ibu untuk menceritakan masalahku secara langsung. Ibu, bukan aku tak hendak melampiaskannya pada semua hal, karena aku kehilangan suatu hal yang mencerminkan semua hal itu. Tapi beberapa waktu dan raga ini benar-benar tak kuasa akan menahan sesuatu itu.

Ibu... ini tentang Nindia.

Ini tentang keadaan yang berbeda sebelum ibu pamit dunia. Kebersamaan kami  berakhir dengan tidak baik karena beberapa waktu yang lampau, kami mengalami sedikit masalah dan memutuskan jalinan berdasarkan emosi yang paling puncak.

Ibu, seperti pandangan pertama saat kulihat Nindia. Dia mirip dengan ibu. Perwatakannya, naluri-naluri yang sama. Dialah yang cepat memberikan selembar tisu jika aku berkeringat banyak karena tidak bisa memecahkan masalah. Begitu juga apa kata Bapak, kata Adik dan kata Bibi. Nindia mirip dengan Ibu. Masih teringat jelas, kala pertemuan pertama satu tahun lalu, Ibu dan Nindia terlalu sibuk didapur. Berbagi keceriaan yang tak bisa kami lakukan sebagai anak-anak laki-laki. Itu adalah pertanda bahwa ibu sangat merindukan anak perempuan dan memastikan Nindia benar-benar calon jodoh terbaik untukku.

Ibu, puncak emosi itu benar-benar tak tertahan. Hingga lumat kasar, telah terucap, aku benar-benar tak bisa mengendalikan amarahku saat itu. Ibu.. aku kira dia telah berhati lain dan mencoba menyembunyikannya dariku. Namun apa yang kuketahui itu salah. Ternyata apa yang teman-teman sampaikan kepadaku, prasangka buruk itu tidak benar.

Hingga aku menyadari kesalahan sepele yang kuubah sendiri menjadi kesalahan besar. Prasangka burukku kemudian membludak menghakimi memori-memori indah yang dulu pernah kita rajut. Kita tak pernah mempertimbangkan tentang kebaikan bersama. Tak ada pikiran positif yang menyadarkan. Ego bernama kekecewaan semu memaksaku untuk berbuat kasar. Ibu.. sampai detik itu aku tersadar, tak ingin menyakitinya orang-orang yang aku cintai lagi.

Ibu.. Apakah aku juga menyakiti ibu karena telah menyakiti Nindia? Namun yang kurasakan, sama rasanya aku telah menyakiti ibu. Janjiku pada ibu untuk berhubungan baik dengan Nindia, seperti apa yang Ibu pesankan dulu kepadaku. Terlalu sulit untuk melupakannya.

Selang beberapa minggu kemudian aku mencoba menghubungi dia, namun tak pernah mendapatkan balasan. Kemudian beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan kabar bahwa Nindia berada di Gawat Darurat. Segera bergegas aku kesana ibu.. Namun... Sampai disana, aku di terima oleh Ibu Nindia. Di depan pintu kamar masuk, Ibu Nindia dengan berat mengatakan bahwa Nindia tak ingin bertemu denganku dahulu...

Ibu.. Sedalam itukah aku telah melukai perasaan seorang wanita? Hingga saat terakhir ingin bertemu dengan dia, akupun tak bisa... Ibu... Setipis itukah hati seorang wanita?

Sehari setelahnya, muncul bayangan Nindia menunduk lesu didalam kamar. Ibu.. aku rasa telah terjadi apa-apa dengan Nindia. Kemudian kucoba mengirim pesan kepada keluarganya untuk menanyakan keadaanya. Selalu kudapat balasan yang sama: “Tidak usah khawatir, Nindia dalam keadaan baik-baik saja.”

Ada tangan yang memukul-mukul lenganku. Ternyata Nindia membangunkanku tepat sebelum fajar, setelah tak tahu aku telah terlelap kapan. Tak lupa dua sujud pendek, aku kemudian duduk sebentar diruang tidur. Surat itu telah tergulung dan tertambat pita merah serta menggenang di tengah meja tulis. Jendela menghadap surya, Nindia berdiri menunggu matahari benar-benar membulat disisi terbit. Membayang kosong, sinar itu sampai menerobos bayangan Nindia, tertaut sampai pada gulungan surat. Ini saatnya aku harus menemui Ibu. Kugandeng Nindia, tangan kanannya memegang gulungan kertas berpita merah. Aku menuju ke Makam ibu. Berjalan berdua.

Ibu telah tahu kami akan datang. Menyambut di sisi makam dengan sangat cantik. Nindia melepas gendenganku, berlari menghampiri ibu untuk kemudian salam tangan dan saling memeluk lama. Aku menuju sisi makam. Mengangkat kedua telapak untuk berdoa.

Tuhan.. Maafkanlah dosa-dosa ibuku, sayangilah ia seperti dulu ia menyangiku, tempatkan beliau ditempat orang-orang yang mengutamakan jalan Tuhan.

Ibu.. Maafkan aku... karena tidak bisa menjalankan amanat Ibu...

Tetes mata tak sadar telah membasahi wajah pagiku. Kukuatkan. Menangis tak diperbolehkan dimakam, kata imanku. Kuberdoa kembali. Ibu dan Nindia kemudian menghampiriku, mereka berdua menggosokan tangan kepunggung agar aku tenang. Aku menoleh pada mereka dan mengirimkan senyuman.

Setelah berdoa, aku berdiri, Nindia bergandengan tangan dan bersandar kepala disisi bahu ibu. Tangan kiri Nindia masih memegang gulungan kertas berputar tali merah yang ia taruh didada kiri. Akhirnya aku mengucapkan salam, lalu beranjak pulang. Kurasa Nindia tak lagi berada didekatku. Aku menoleh ke belakang, mereka berdua memandangiku dengan tersenyum.

Berjalan sambil merasakan mereka berdua tersenyum dibelakangku. Bayangan Nindia sekarang bersama ibu. Semoga mereka berdua tenang. __________

* Cerita Fiksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun