Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Durhaka

30 Januari 2012   15:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:16 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327937170876556321

Lihat perlakuannya pada hujan. Mendekam sebentar di teras toko orang. Rambut panjang gadis lapisan gerimis. Sambil berpagut dagangannya dengan selendang. Lalu-lalang orang, seperti di percepat hingga tak terlihat. Lamunan pandang hias kelola. Menembus, barisan tepi pasar mengingatkan kembali dengan masa kecil. Dulu, tempat ini masih sama. Sampai sekarang. Pikirnya.

Merengek ia disana - di halaman pasar - meminta dakon plastik dengan biji kecik dari plastik pula. Pedagang mainan gelar dagangannya disana. Kata ibu dulu, punya kakak masih bisa dipakai, kerikil kecil itu gantinya kecik. Nanti mereka cat dengan cat sisa 17 Agustusan. Suruh kakaknya. Namun ia masih merengek. Menanglah ia. Terbeli dakon plastik itu. Seminggu kemudian dakon plastik hanya jadi tempat makan ayam, karena tak ia mainkan. Karena biji plastik kecik itu hilang. Ia lempar-lempar pada cecak di gebyok.

" Iku pas ndek cilik (1 )... " keluh suara sendiri.

Hingga masa remaja, ia teringat saja dengan ibu kala berbeda pendapat tentang baju yang ia beli untuk Lebaran. Ibunya mengalah. Terbelilah. Baju itu masih ada sampai sekarang. Sesekali masih ingat janji untuk memberikan pada anak perempuannya nanti. Sebuah pengingat.

" Ibu biyen, wonge bandel. Ojo koyo ibu yo nduk! (2) " dalam hatinya.

Setelah lulus SMK ia kemudian ditanya oleh ibunya. Hendak kerja di mana? Terjadi perdebatan kembali. Walakin kini yang mengalah dirinya. Satu bulan kemudian Sang Ibu menggadaikan Sertifikat Tanah untuk membeli Kios Kain di Pasar Kliwon. Kata beliau, biarlah sementara ini jadi gudang Pak De-nya dahulu. Biar ia bisa diterima belajar dagang oleh Pak De. Belajarlah dagang dari Pak De dengan tekun. Tambah Sang Ibu. Bila sudah yakin. Kembangkan toko ini dengan caranya sendiri. Itulah yang ia ingat dengan ibu. Kini. Sudah 6 tahun setelah ibu meninggal.

Sayat kilat menggaburkan lamunan. Hujan sudah berhenti. Segera ia mengemasi barang dagangan. Membopong menuju Kotak atap seng. Kotak atap seng dari triplek di atas aspal telah jadi esok tadi. Toko darurat. Karena semua orang membuka toko di halaman. Semakin sepi orang yang berbelanja ke dalam. Keluarlah semua pedagang membuat toko atau cabang toko di luar pasar.

Sudah lebih dari 1 bulan. Kebakaran merenggut pasar ini. Ludeslah semua barang di dalam miliknya. Ini adalah kebakaran ke 2 yang ia rasakan. Setiap ada kebakaran. Dan menjadi korban. Sudah ada dalam hati kecilnya. - Perasaan itu sangat jelas, tak samar seperti kabar perbaikan pasar -

Jika tak mampu berdiri kembali. Membangun toko kainnya. Ia sangat merasa durhaka pada ibu.

* Untuk Pasar Kliwon Kudus

Semarang, 30 Januari 2012.

catatan :

(1) : Itu saat masa kecil.

(2) : Ibu dulu orangnya bandel. Jangan seperti ibu, ya nak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun