Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bapak Sang Pencinta

19 September 2011   17:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:49 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_135971" align="aligncenter" width="448" caption="Ilustrasi oleh Penulis"][/caption]

Bapak Sang Pecinta

Pojok kota yang tenang dengan guguran daun-daun pepohonan Jati. Taman Pohon Kota kini berubah menjadi taman bemain manusia. Menampilkan sebuah kursi, dibawah pohon terbesar ditengah taman. Duduk  Bapak dan anak gadis remajanya menikmati suasana dengan cara dunia mereka sendiri. Sinar mentari pagi itu tertutup oleh rindang tumbuhan dan dikelilingi udara bersih kota di Launching Car Freeday.

“ Udaranya sejuk ya?, tidak seperti udara dihari-hari lain “. “ Ya Pak, ini Taman Kota yang paling banyak pepohonannya. Dan hari ini asap-asap motor tak boleh lewat jalan sini. Karena Pak Polisi menyetop mereka agar tak melewati jalan ini “. “ Sayang tak terdengar suara burung berkicau. Yang ada malah suara ramai orang-orang bermain-main disini “. “ Lebih banyak anak-anak pak dan yang seusia dengan aku bermain disini “ kata anaknya melihat sekeliling. “ Kebanyakan bermain apa berpacaran ? ”. “ Ada yang beristirahat setelah bersepeda Fixie. Ada juga sih yang berpacaran. Itu tuh pak yang duduk disamping pojok sana. Itu tuh dari tadi berdua mulu “. “ Haha. Kamu iri ya? “. “ Iri kenapa pak ?. Ih bapak ini, kata bapak adik tidak boleh berpacaran dulu. Sekolah dulu kan ? “. “ Iya. Tapi bapak sekarang mau tanya. Dijawab dengan jujur ya, ada nggak temenmu yang kamu taksir disekolahan? “. “ Ah, bapak ini ah. Adik mau beli eskrim didepan dulu ya pak. Bapak mau es krim nggak? Bapak sendiri disini nggak apa-apa kan? “. “ Iya. Cuman 5 menit ya belinya setelah itu kembali kesini “ kata bapaknya yang masih duduk memberi pesan kepada anaknya.

Anak itu meninggalkan bapaknya sendiri dikursi. Untuk mengurangi penat, bapak kemudian bersiul siul sendiri meyerupai suara burung. Suara burung yang ia rindukan seperti waktu anak-anak dahulu pernah ia dengarkan.

Gadis remaja itu menuju ke tempat penjual es krim yang tak jauh dari tempat duduk ayahnya. Sebuah kios kecil bercat merah muda dan terdapat lambang es krim besar disisi depan. Tetapi ia tak mendapatkan penjual es krim ditempat itu. Sambil ia melihat berkeliling.

“ Mana ya?. Kiosnya buka, tapi kok nggak ada orangnya “ gumam Si Gadis. Tak lama ada seorang lelaki seusianya yang merapat dan berbicara dengan Sang Gadis. “ Lagi nunggu penjual esnya ya ? “. “ I…ya “ kalimat terbata-bata. Karena kaget pemuda itu berbicara dibelakangnya. “ Mang Udin emang selalu ninggalin Esnya tepat jam 7 gini. Kenalin gua Sindu “. “ Eh. Ak.. Aku Arini. Kenapa kok nggak ada? “ menjabat salaman perkenalan dengan Sindu.

Sindu mempunyai perawakan yang lebih tinggi dari Arini. Berbaju t-shirt abu-abu longgar bertulis “ I Am A Live “ dan bercelana hijau semi ketat, sepertinya mempunyai  style berpakaian tidak terlalu mencolok dan fashionable untuk pemuda jaman sekarang. Ah, itu seperti Korean Fashion Style, kesukaan Arini.

“ Mau tahu? “ tanya Sindu yang bertanya disaat Arini melihat dengan tatapan lama. “ I… Iya “ Karena latah ia pun menjawab. “ Ituh penjualnya. Namanya Mang Udin. Itu yang lagi menyebar pakan burung ditengah“.

Tunjuk Sindu, arah jarinya menuju ke seseorang seumur dengan bapak Arini. Yang tengah asyik menebar pakan burung. Terlihat burung-burung Taman Kota berkumpul tak berkicau karena mereka kegirangan menyantap makanan.

“ Mang Udin… Mang Udin ada yang mau beli nih “ panggil Sindu berulang-ulang kepada penjual kios itu. “ Aduh kagak denger yaah, atau  mau saya samperin orangnya? ” tawar Sindu lagi. “ Gak usah, terimakasih. Aku tunggu disini saja“. “ Ya udah kita tunggu saja disini “ jawab Sindu. “ Mang Udin nggak petugas kebersihan resmi ditaman ini. Tapi dia penjual es krim yang punya  kebiasaan memberi makan burung-burung disini setiap paginya, tepat dipukul 7 ini. Habis ia datang ditaman, ia memberi makan burung-burung taman kota terlebih dulu. Baru ia berjualan “ “ Kok kamu tahu ? ” tanya Arini. “ Aku ikut fixie club yang anak-anaknya nongkrong disono, itu lho. Setiap pagi diakhir pekan. Kami biasanya ngumpul disini dulu sebelum berkeliling kota. Jadi aku kenal lah sama beberapa penjual disini “ jelas Sindu kepada Arini.

Mereka berdua duduk didepan kios sambil menunggu Mang Udin selesai dengan kebiasannya. Mulailah terdengar alunan kicau burung. Satu-satu. Yang bersuka cita karena telah bersarapan pagi ini. Atau setidaknya burung-burung bernyanyi mengucapkan terima kasih pada Mang Udin.

“ Mang Udin. Ada yang mau beli es nih “. “ Eh... Maaf ya neng. Baru ngasih makan burung-burung. Kalo nggak ada yang ngasih makan kaya gini mana ada burung mau mampir kesini. Dan aden Sindu ini yang biasanya njagain jualan  waktu mang Udin ngasih makan ke burung-burung. Terimakasih ya den Sindu “ Mang Udin datang dan masuk ke kiosnya kembali. “ Ah mang Udin nih, biasa saja, ini bentuk penghormatan saya untuk pelestari alam disini. Saya mah nggak bisa ngasih makan burung kaya Mang Udin setiap paginya “ tangkas Sindu. Mereka berdua berdiri dan mengikuti kedekat kios Es Krim. “ Oh, burung-burungnya ada disini ya kalau jam-jam segini ?“ ucap Arini setelah menatap tersenyum pada Sindu. “ Saya mah penjual es krim den. Bukan pelestari alam.  Mau Es Krim rasa apa Neng ?. Den Sindu mau es juga ? “ tanya Mang Udin. “ Coklat Strawberry ada mang ? dua “ pinta Arini. “ Lho yang satu buat siapa ? “ tanya Sindu. “ Buat bapak. Duduk disitu tuh “ sambil menunjuk kearah bapaknya. “ Oh. Sudah ditunggu bapak ya?. Makanya pengen cepat-cepat. Aku coklat saja mang. Satu “ “ Nggak apa-apa “ jawab Arini. “ Aku anterin sampai ke Bapak boleh ? “ tanya Sindu kini mulai membuka Es Krim berbentuk kerucut rasa coklat itu. “ Eh, boleh “ jawab gugup Arini. Yang juga membuka es krimnya. Berjalanlah mereka berdua. “ Hm, Biasanya orang suka es krim rasa Strawberry itu tergolong tipe pemalu, tertutup, tidak memiliki emosi kuat orangya, tapi teliti dalam setiap tindakannya “ Sindu mulai percakapannya. “ Nggarang. Sok tahu kamu. Hm, kalo rasa coklat apa ya? “ tawa simpul Arini. Sambil sesekali mencicipi dingin strawberrynya. Jalan dekat itu terasa jauh dan menyenangkan bagi Arini sekarang. “ Kreatif, sangat mencintai hidup, menarik, dan penuh antusias. Hm…  Suka menjadi pusat perhatian dan membenci rutinitas yang monoton “ toleh senyum Sindu kepada Arini. “ Ya, enak dikamu dong. Kamu hafalin itu ya? atau jangan-jangan, eh atau kamu malah nggak hafal Pancasila “ canda Arini kepada Sindu. Tiga langkah berhenti lalu bercanda, menghabiskan sisa jarak menuju kursi tempat bapak Arini duduk. Arini merasa cocok dalam pembicaraan, setidaknya sama halnya dengan Sindu. Mereka kini lebih merasa nyaman dengan perkenalan mereka.
“ Eh. Sudah berapa menit ini? “ tanya bapak Arini mendengar langkah kaki anaknya. Ia menghentikan siul seperti burung. Ada dua ekor burung yang mendekat di sandaran tempat duduk. Tetapi setelah terhenti siulan itu, terbanglah burung-burung untuk berbaur dengan yang lain. “ Maaf pak tadi Mang Udin penjual Es nya lagi memberi makan burung-burung. Jadi nunggu. Kenalin pak. Ini Sindu. Anaknya Mang Udin “ jelas Arini kepada bapaknya. “ Ye, siapa yang anaknya. Maaf  bapak saya cuma mau anterin Arini ke sini. Takutnya Es krimnya dimakan burung “ berjabat tanganlah Sindu dengan bapaknya. “ Duduk disini dik Sindu. Makan es bareng “ tawar bapak Arini. “ Terimakasih pak. Tapi Kami mau lanjut bersepeda keliling kota “ jawab Sindu.

Sambil berpamitan dengan bapaknya dan Arini. Sindu tersenyum kepada Arini. Diakhiri dengan tatapan antara mata Arini dan Sindu yang memberikan pesan bahwa mereka akan berjanji bertemu disini lagi pekan depan.

“ Itu ya dik ? “ tanya bapaknya. “ Siapa pak ? “. “ Yang naksir adik ? Bapak ngrasain kok dari jabat tangannya tadi “. “ Ih bapak mau tau aja, adik kan malu. Sindu baru kenalan tadi pak. Bukan teman sekolahnya Arini. Hm. Bapak dulu pertama kenal ibu bagaimana? Apa yang pertama bapak rasain? “.
Tongkat alumunium yang dari tadi dipegang oleh bapaknya kini ia lipat menjadi lipatan tongkat kecil dan menaruhnya disaku. Ia kemudian menikmati es krim setelah dibuka bungkusnya oleh anak perempuan beranjak dewasa itu. Ia tersenyum kecil, sambil sesekali membetulkan kacamata hitam, “ almarhum ibumu mempunyai suara yang bagus “. “ Kok suaranya ? “. “ Masa bapak harus meraba-raba bentuk muka ibumu ? Bapakkan nggak bisa liat adik. Suara Ibumu membuat hati bapak kala itu menjadi bergetar  dan tidak seperti waktu-waktu yang lain. Itulah kesan pertama perkenalan dengan Ibu “. “ Bapak masih kangen Ibu tidak ? “ tanya anaknya, menoleh dan menunggu-nunggu jawaban dari bapaknya. “ Yaiyalah. Tapi sekarang bapak sudah terobati kangennya. Kan sekarang bapak masih mempunyai anak perempuan tercantik didunia. Sukanya makan es krim strawberry dan berwatak pemalu “ jawab bapak Arini sesekali bercanda dengan anaknya. “ Ye, bapak ini. Ayo pak kita pulang yuk, jam 11 nanti kan bapak harus ngajar nyanyi di SDLB. “ ingat Arini kepada bapaknya.

Berjalan bergandengan pulang kedua insan ini. Siulan suara burung mulai memanggil kembali burung-burung taman pohon kota dari bapak Arini. Kini jalan pulang mereka dihiasi dengan kicauan burung-burung saling melantunkan lagu keberkatan Tuhan untuk hari indah ini. Dalam bingkai syukur mereka berdua masih menikmati rasa es krim, taman pohon kota dan alunan indah burung-burung. Bapak Arini bersyukur  memiliki putri cantik yang bisa memahami cinta dari cara pandang manusia.  Cara pandang sama dengan lain tetapi berbeda dengannya. Dan Arini yang bersyukur mempunyai bapak terbaik dihidupnya.

Semampir, 10 Agustus 2011.

Saya kirimkan pada Lomba Cerpen Rohto 2011. Padahal ditulis disyaratnya nggak boleh dipublikasi dulu. Tapi berhubung saya orang keren. makanya saya publish di Kompasiana dah... wkakakakakka... uhuk-uhuk...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun