Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Raja Gombal

19 Desember 2011   01:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:05 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Meja tersentak ketukan jari. Tangan masih memangku layar handphone. Mengetuk seirama, QWERTY bergantian dengan lapang kayu. Memilin pesan ke sana-kesini. Perhatianku tertuju. Pesan-pesan terakhir sebagian besar masih sama. Bertanya tentang kabar ibu, menyemangati. Terbaring beliau di Rumah Sakit. Sakit lamanya kambuh. Kata Dokter ini serangan terparah. Lagu ini,ah... sering kudengar tapi entah apa judulnya. Lagu tergerus lamunan tentang ibu lagi. Aku tak menikmati dengan seksama cafe ini. Terlalu glamour di tengah perhatian akan permasalahan.

" Silahkan mbak, " pelayan itu memberikan sepiring makanan pembuka. Entah apa nama makanan itu. " Siapa yang pesan ?" " Atas nama Pak Henri. Katanya suruh di hidangkan dahulu."

Lilin mendayu-dayu titik pandang, terkalahkan lampu tengah. Makanan pembuka seperti berputar 7 kali putaran, berporos gelas lilin coklat tadi. Tak hendak memakan apapun sebelum datang Mas Henri. Bau ini, Poppies, Aster dan Red clover malah mengingatkan pada Denmark. Denmark oh Denmark... Padahal belum pernah kesana. Memimpikan Denmark, maksudku. Cafe meredup harmoni. Tata lampu berperan denting, tak hendak berkata suka. Namun ini bukan waktu tepat menderu nikmat duniawi. Aku menunggu seorang lelaki. Berusaha mati-matian mengingat siapa lagi yang hendak kumintai pertolongan. Hingga terlihat sebuah harapan. Tergeletaklah sebuah buku motivasi di meja kamar Ibu. Katanya itu hadiah dari seseorang pengunjung. Senang membaca ibu berulang. Itu ekspresi lebih terang melebihi cucunya datang. Ibu suka membaca. Tapi tak menurun padaku. Kami sekeluarga tahu itu hanya obat sesaat. Kami pintar menyembunyikan kekhawatiran tentang operasi besar 3 hari kedepan. Beliau terlihat biasa, melonjak senang setelah membaca buku itu, namun kembali biasa seterusnya. Tapi belum tentu dengan kami. Penulis buku motivasi best seller itu adalah Mas Henri. Berpendar ingatan kecil, kala ia dulu. Seorang pemuda manis pertamanya, kuakui seorang yang baik dan menarik. Sungguh banyak gadis yang lebih baik dari padaku, mengejarnya. Namun ia bersikeras untuk menungguku. Menunggu dari apa? Aku bukan seorang gadis yang tak layak untuk di tunggu, -apalagi- oleh seseorang sebaik dia. Kemudian ia menyatakan cintanya padaku. Aku tolak. Tiga bulan kemudian ia ulangi lagi. Aku tolak lagi. Hingga rona ketertarikan padanya hilang habis. Luluh lantah tulisan-tulisan yang ia tuliskan padaku, tak kugubris. Kulakukan agar dia dapat melupakanku. Segera setelah itu waktu telah melupakanku padanya. Berharap setelah sekian lama tak bertemu. Semoga tak ada rasa itu lagi. Ini demi Ibu. Kehadirannya agar memperlama rasa senang akan sebuah motivasi yang Mas Henri tulis. Bercengkrama dengan ibu. Dan meminta Mas Henri menyemangati. Kusampaikan saja permintaan tolong nanti setelah bertemu. Mencoba menghubungi kembali. Namun ia matikan handphonenya. Kami sudah berjanji untuk bertemu. Pesan terakhir, dia akan datang di Cafe ini pukul 16.00. Ini pukul 15.55. Sedekat lagi. Hidangan pembuka itu masih binal untuk mata yang lapar. Aku sudah kenyang akan permasalahan. Tentu menolaknya. Langkah kaki mendekat ternyata menipuku.

" Ini ada sebuah fax dari Pak Henri. Kata beliau, mbak suruh membaca dulu. " Pelayan membawa selembar kertas yang ia bawa dalam baki logam mengkilat. Memberikannya dengan sunyi. Caranya sama persis seperti menghidangkan makanan puncak pada tamu raja agung. Aku menyuruhnya menaruh pada meja. " Ada pesan lain? " tanyaku kembali. " Tidak ada mbak." Jawab pelayan mulai membuat tak nyaman.

Tak hendak langsung membaca tulisan ini. Perasaan, merasa tulisan ini akan mencabik-cabik lagi. Detak detik jantung memuncak. Tergugup waktu. Membiarkan lambaran mati itu sudah begini halusinasinya aku. Perlahan pasrah memulai membaca tulisan...

Untuk buritan kapal Cinta yang talinya menambat di dermaga kasih. Jika Sandra membaca tulisan ini. Maka aku sedang atau masih berada di Pesawat. Aku tak tahu namanya itu. Namun Delay penerbangan dari tempat antah berantah ini menuju cafe kita bertemu, akan terhambat oleh cuaca, ketelodoran manusia dan ketidak berpihakan Tuhan dalam menyederhanakan pertemuan ini. Mimpi bagiku. Tak terduga. Karena sekian lama aku juga lama tak berkunjung pada Tuhan dan berdoa untuk cepat-cepat bertemu, Sandra. Hal ini bisa saja terjadi. Sungguh memori indah bagiku dulu, membingkai keinginan kuat bertemu denganmu yang amat sangat sulit. Tuhan sekali lagi tak turut dalam proses terdulu. Kali ini, mungkin, malaikat membujuk Tuhan agar meloloskan doa-doaku terdahulu. Aku terus berdoa terimakasih untuk malaikat saat ini. Entah apa lagi, apa namanya ini? Aku harap tak terbawa arus berputar jika bertemu denganmu. Walau aku tak bisa menjaminnya. Dua tahun kita tak bertemu. Aku pastikan nanti mengukur, apa aku bisa seperti dahulu. Tunggulah aku. Henri Muria.

Merengkuh diri. Terpeluk meja di depan. Seharusnya aku tak melakukan hal bodoh ini. Mas Henri malahan bisa menambah beban berat saat ini. Masih sangat benci tulisan cinta. Tak kuat lagi. Aku kini ingat. Lagu ini, " Untukku - Chrisye". Lagu kenangan kami, lagu nyaring terdengar di Festival Jazz dua tahun lalu, di mana ia menyampaikan rasanya. Dan bau parfum ruangan ini, aku berani bertaruh, telah ia siapkan untuk menyamankanku di sini. Jauh-jauh berpesawat bertemu denganku. Namun alasan itu tak memberatkan langkah meninggalkan Cafe ini. ---------------------------------------- Tergopoh aku masuk Cafe ini. Ternyata perkiraan waktu lebih cepat dari yang kuduga. Aku memilih duduk di pojok tak terjamah dari pandangan Sandra. Sambil menormalkan nafas, memanggil kepala Pelayan. Memeriksa apakah perintah-perintahku telah mereka jalankan. Menu makanan pembuka terbaik di Cafe ini, " Untukku - Chrisye " telah terdengar perlahan dan berulang. Parfum ruangan yang mencirikan Denmark telah mereka sebar. Terakhir tulisan seperti fax yang  kusiapkan juga telah di sampaikan ke Sandra. Tips terimakasih, dan selesailah tugas mereka. Tinggal menunggu. Menunggu bagaimana Sandra menyikapi. Baju warna hitamnya membuatku mengagumi dalam kesepian. Rambutnya masih sama. Menyibakkan kemisteriusan  paling kusukai. Ada hal berbeda mungkin? Ku teliti lagi. Tak ada yang berbeda ternyata. Dua tahun ini tak membuat ia berubah sebagaimana gadisku. Dulu. Maafkanku Sandra. Telah melakukan ini. Namun jika kau tahu, andai bertemu denganmu lagi, mungkin gelora lama akan muncul. Kupastikan, bahwa engkau akan tahu kemungkinan besar itu. Namun, jika kau masih menungguku, aku akan menghampirimu. Jika kau meninggalkan tempat ini, setelah membaca tulisan singkat itu, maka benar kata teman-temanku. Aku harus melupakanmu. Terlihat Sandra tergopoh memegang muka, menyeka mata meninggalkan tempat ini. Tertunduk. Hanya bisu, mengkerucut memaki-maki logika motivasi yang kutulis, akankah dapat menghilangkan rasa pedih ini. ------------------------------------------- Telah kukuasai diri pada perjalanan ke Rumah Sakit. Selamat tinggal Mas Henri. Maafkan aku, namun Ibu telah menunggu. Maaf hendak melibatkanmu dalam perosok hidupku. Kulihat wajah kakak  ceria di selasar ruang tunggu rumah sakit. Mereka tak mencerminkan keadaan seperti biasa. Ada apa ini?

" Sandra ada seorang dermawan yang telah membayar Uang Operasi Ibu. 100 % telah dia bayar. Kita tak perlu pontang-panting berhutang. Ibu akan dipercepat Operasinya jadi esok lusa. " kata kakak tertua sambil tangannya mengguncang tubuhku. " Alhamdulillah... Mana donatur itu mas? Mana orangnya? Aku harus berterimakasih padanya. " " Namun kami gagal mendapat informasi siapa orang itu, Ndra. Sepagi ini aku dan mbakmu mencari pinjaman uang kesana sini. Dari siang dan sore ini kami meninggalkan Ibu. Sendirian." Kakak terlihat lesu setelah aku menanyakan itu. " Aku akan mencoba bertanya pada Bagian Administrasi, Mas!"

------------------------------------------------------------- Benar, sia-sia tak mendapatkan informasi tentang siapa yang membayar biaya operasi Ibu di Bagian Administrasi. Padahal hendak menyuap mereka agar mau berbicara. Namun, enggan kulakukan. Hati ini terlalu syok dengan pergantian waktu hari ini. Sangat melelahkan jiwaku. Entah aku harus gembira atau apa. Tergontai langkah menuju kamar ibu. Menemukan wajah ibu tertidur tersenyum. Tak seperti biasa. Senyuman itu sangat mendalam dari yang kutahu. Sambil memeluk Buku Motivasi karangan Mas Henri. Mencoba ambil buku dari pelukannya agar tak mengganggu tidur sore ini. Ku buka lembar pertama buku itu dan menemukan tanda tangan Mas Henri yang tak pernah kutemukan sebelumnya. Kusus 19 Desember 2011. 1 : 19

  • Selamat Hari Ibu.
  • Untuk "Gombalers" Indonesia. Tetaplah menggombal. Dan tetaplah menjadi orang baik. Asal kalian jangan korupsi. Indonesia akan sangat bangga pada kita.
  • Terinspirasi oleh lagu " Sakit Hati - Piyu Padi"

nb) Tiga hal itu tidak ada hubungannya. Gambar oleh google.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun