Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tong Dipersimpangan

23 Juli 2011   18:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:26 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_124639" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi oleh penulis. Model : Sedotan Petruk dengan sedikit Photoshop"][/caption]

Lalu perjalanan membagi konsentrasinya. Tidak hanya jalan yang terbelah menjadi empat, pilihan kemana ia hendak menuju. Tetapi setiap jalan itu juga terbias pertentangan hati yang pelik dihidupnya. Empat masalah yang bersatu dan bergotong royong menggoyangkan prinsipnya sebagai  manusia. Sisi Tuhan, Sisi kewajiban, Sisi pertanggungjawaban, dan Sisi bagaimana ia melihat sisi-sisi yang lain. Satu sisi, beribu tanya membentuk satu jalan. Dia menoleh ke belakang. Dia tak hendak kembali kejalan yang telah tercetak dengan langkah kakinya sendiri.

Silinder hitam itu berada disimpul persimpangan. Dengan Keropos coklat karena telah berkarat. Tetapi jatidiri hitam masih menguasi ditubuh penyok hasil hantaman keras. Lalu tong hitam dipersimpangan ini seperti memberikan brosur untuk masuk dan membicarakan masalahnya dengan diri sendiri. Cara untuk memecahkan pertanyaan sesuai dengan halusinasi. Orang itu kemudian melompat meraih brosur yang terbang dilangit. Membaca dan menandatangani surat pernyataan masuk tong hitam dengan materai senilai kegilaan.

Lalu masuklah dia, mencari posisi ternyaman dari proses pencariannya.

Senyap didalam tong memisah dengan suara-suara liar luar jalanan. Tidak ada suara beruntun kendaraan-kendaraan diperintah garis merah. Dia sepakat dengan dirinya membuat suasana semakin hitam. Semakin ia melekatkan kaki dengan dekapan tangannya. Visi penglihatan itu semakin tajam. Ketajaman itu lantas membuat alas melingkar tak menjadi sekat antara dunia nyata dan tak nyata.

============================================================

Terlihat Tong-tong berbaris berjajar. Dari semua halaman tertutup oleh tong dan menjadikanya penuh hitam. Itu adalah halaman kantor pembuat jalan. Tong hitam berisi aspal itu akan disebar keseluruh kota untuk pengerjaan pembangunan jalan. Setelah Sebulan berada disana. Tong hitam itu akan dibawa pada suatu daerah terpencil bersama kelompok kecilnya.

Disana ia akan ditempatkan pada sebuah perempatan yang belum jadi. Jalan yang masih berdasar dengan tanah dan tak banyak warna kehidupan yang ada melintasi. Satu persatu teman tong hitam dibedah isinya dan digunakan untuk membangun jalan. Jadilah jalan itu satu persatu jua, maka kehidupan mulai nampak mengalir.

Lalu ada sebuah dusun yang tak dilewati oleh empat jalan tersebut ingin mendapatkan jalan sama layaknya dusun-dusun lain. Maka mereka beramai-ramai meminta penguasa untuk membangun jalan. tapi ada satu hal yang menjadi permasalahan adalah jalan itu akan dibangun melewati sebuah makam seorang gadis kecil.

Hingga tinggal tong hitam itu yang terakhir dan akan digunakan untuk menutupi makam. Berhari-hari ia tak mau dipindahkan. Karena pertentangan batinnya. Untuk tidak melindas makam gadis kecil itu dengan isi tubuhnya. Sampai orang-orang bingung, bagaimana memindahkan dan membedah isi perutnya. Hingga seandainya tidak bisa sekali lagi maka terpaksa akan mendatangkan tong aspal yang baru dari kota. Malam terakhir sebelum ia dibelah isinya, tong hitam itu pergi ke nisan, untuk bertemu dengannya. Ia kemudian bergundah-gulana tentang apa yang ia rasakan kepada gadis kecil itu.

" Aku tak tega melindasmu wahai gadis kecil, Aku tak hendak melakukannya", tegas tong hitam.

" Wahai tong hitam, kenapa kau terlalu banyak bertanya. lakukan saja tugas, itu toh sudah menjadi tugasmu, bagaimana kalau kau tidak melindasku, tak akan ada kehidupan yang lebih baik diatas sana. Janganlah kau bertanya terlalu dalam, hingga kau lupa pada tugas-tugasmu. ", jawab gadis itu.

Lalu gadis itu memanjat tong hitam dan duduk diatas. Tangannya menunjuk sisa langit malam.

" Lihat ada bintang jatuh, kita hanya dapat menikmatinya, tanpa terlalu bertanya mendalam tentang dimana bintang itu akan mendarat ".

=============================================================

Ia tersentak sadar berada dalam lingkaran. Kesadaran itu memuncak karena di atasnya terdapat tumpukan sampah. Ia lalu membuka mata. Apakah ini jawaban dari semua pertanyaan?. Tak hendak menunggu lamunannya kembali. Ia bersiap untuk bangun.

Tong hitam itu tergeletak sekuatnya disisi jalan. Kini setelah semua jalan telah tercapai. Tong hitam itu masih berdiri kokoh menerima perannya sebagai tong sampah. Tanpa terlalu banyak bertanya tentang apa jasanya dahulu pada persimpangan ini.

Seorang anak kecil melempar-lempar batu ke tong hitam hingga terdengar suara yang memekikkan telinga. Lalu orang itu berdiri, memahami kesadaran penuhnya. Tersenyum dengan ketulusan, dan melangkah berjalan. Dimana sampah-sampah itu masih menempel dan bau yang tak tertandingi seperti selokan pada tubuhnya. " Mamah ada orang Gila... ", tunjuk anak kecil itu yang bersembunyi dibelakang ibunya.

*> Mohon koreksi dan kripik pedas untuk tulisan ini.

Kudus, 23 Juli 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun