Mohon tunggu...
Subarja Wahdini
Subarja Wahdini Mohon Tunggu... -

semangat dan jangan pernah menyerah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanpa Oposisi, Demokrasi Kurang Bergairah

27 Oktober 2018   15:05 Diperbarui: 27 Oktober 2018   16:39 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika politik di negara-negara penganut paham demokrasi termasuk Indonesia hingga kini terus mencari bentuknya. Salah satu praktek demokrasi yang sedang berjalan sekarang yaitu pelaksanaan Pemililihan Umum (Pemilu), baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden  merupakan perkembangan demokrasi walaupun masih dalam tataran prosedural.

Secara umum demokrasi dapat diartikan sebagai konsep yang digunakan dalam suatu sistem pemerintahan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tentu perlu terus dilanjutkan. Demokrasi sebagai pilihan atau cara untuk mengelola negara, diharap menjadikan bangsa lebih maju dari waktu-waktu sebelumnya.

Dalam pelaksanaan demokrasi, tidak terlepas dari pilar-pilar yang masing-masing menjalankan fungsinya antara lain adanya kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tiga kekuasaan negara terpisah memiliki kedudukan sejajar ini penting agar penyelenggaraan pemerintahan terkontrol, tidak berlangsung semena-mena.

Untuk menegakkan demokrasi agar terus tumbuh dan berkembang maka betapa perlunya dilakukan penjagaan. Demokrasi harus dijaga jangan sampai melenceng jauh dari apa yang kita harapkan bersama, menuju bangsa adil-makmur dan berperadaban.

Seperti kenyataan yang ada sekarang, juga pada waktu-waktu sebelumnya setelah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berlangsung digelar, pemungutan suara usai dan keputusan pemenang telah ditetapkan – maka partai-partai peserta koalisi yang kalah selanjutnya menempatkan diri sebagai pihak oposisi.

Sebagai contoh, Pemilu Presiden 2004 yang dimenangkan SBY diusung Partai Demokrat dan koalisinya – selanjutnya PDIP kalah waktu itu dan menjadikan partainya sebagai pihak oposisi, melancarkan berbagai pengawasan atau kontrol maupun kritik terhadap kebijakan pemerintah saat itu.

Demikian pula ketika ketika Pemilu Presiden 2014 dimenangkan Jokowi yang diusung PDI-P dan koalisinya – kemudian koalisi yang kalah menempatkan diri sebagai partai oposisi hingga memasuki Pemilu 2019 (Partai Demorat, Gerindra, PAN, PKS) menempatkan diri sebagai pihak oposan yang akan bersaing dalam kotestasi Pilpres 2019 mendatang, mengusung Prabowo sebagai calon Presiden.

Hal demikian dalam konteks demokrasi sah-sah saja walaupun dalam  sistem politik dan ketatanegaraan kita tidak dikenal partai oposisi. Namun dilihat dari substansi dan fungsinya ternyata partai politik yang berada di luar pemerintah berkuasa selalu aktif melaksanakan kontrol bahkan kritik tajam terhadap kebijakan politik supaya kebijakan-kebijakannya sesuai kepentingan rakyat, bukan untuk memenuhi kalangan/kelompok tertentu.

Suasana tersebut dapat dimaknai bahwa dinamika politik sedang berlangsung, tidak diharamkan karena praktek politik merupakan ilmu dan seni maupun strategi melancarkan komunikasi politik selama masih dalam koridor dan regulasi yang mengaturnya. Disinilah dapat penulis sebutkan bahwa tanpa oposisi, demokrasi kurang bergairah.

Memang bisa dipahami bahwa ada pihak tertentu yang kurang berkenan terhadap keberadaan partai oposisi yang selalu melontarkan kritik apalagi disaat-saat kampanye Pilpres 2019 sekarang. Terutama di kalangan koalisi pendukung Jokowi sebagai petahana (incumbent)  sehingga wacana politik bisa diperkirakan terus berkembang hingga menjelang pemungutan suara nanti.

Harus diakui bahwa selama ini kita masih belajar berpolitik dan belajar berdemokrasi, harus diakui pula bahwa disana-sini masih menampakkan kecenderungan sikap emosional dalam melancarkan komunikasi politik, termasuk para elit politik yang berada di barisan partai oposisi masih kental dengan menyisipkan pilihan kata yang seringkali mengakibatkan “gagal paham” di kalangan umum sehingga jika tidak terkendali akan mengundang kegaduhan, belum lagi ditambah sebaran informasi hoaks hanya akan membuang/menguras energi yang seharusnya tidak perlu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun