Hari ini, 17 Mei 2022 diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan minat baca orang Indonesia.
Hari Buku Nasional
Penetapan 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional dimulai pada tahun 2002 lalu. Kala itu, Menteri Pendidikan, Abdul Malik Fajar menetapkan 17 Mei sebagi Hari Buku Nasional atau yang biasa disingkat Harbuknas.
Namun, di Indonesia sendiri, minat baca dapat dikatakan masih diposisi yang rendah. Dikutip dari situs resmi suarasurabaya.net, berdasarkan data dari UNESCO, sebagai organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi kedua dari bawah atau peringkat 60 dari 61 negara mengenai literasi dunia. Karena hanya 0,001 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia atau dapat dijabarkan bahwa minat baca hanya menarik 1 orang dari 1,000 masyarakat Indonesia.Â
Tapi disini saya ingin garis bawahi minat baca di kalangan ruang lingkup organisasi, yaitu organisasi Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ). Bicara tentang minat baca, kita di kalangan kader HMI memiliki tradis yang sangat kental terkait minat baca.
Karna Di HMI sendiri sangatlah melekat erat budaya membaca dalam jiwa kader-kader HMI, sebagai kader yang memiliki mental pejuang dan sikap patriotisme yang tinggi serta akan menjadi kader kader unggulan Harapan Masyarakat Indonesia.Â
Himpunan Mahasiswa Islam, selain memiliki wajah independensi dimasyarakat,  HMI jga memiliki wajah tradisi intelektualitas.Aspek itulah, yang membedakan HMI dengan organisasi lain di Indonesia. Kekuatan intelektual inilah yang akan membentuk kader HMI dalam kisaran otak.
Tradisi intelektual itu, bisa dibangun dengan memperkuat beberapa hal. Namun yang akan saya fokuskan adalah tradisi membaca di kalangan HMI terkhusus di tataran komisariat. Untuk memperkuat tradisi, Membaca harus dijadikan 'fardhu ain'. Sebab, kalau digeser menjadi 'fardhu kifayah', akan cenderung diwakilkan kepada yang lain.
Lantas, sudah seberapa seringkah kita membaca dan sudah berapa buku yang kita baca dalam satu bulan?
Padahal kalau dilihat di pameran-pameran buku atau ketika mengadakat buka lapak buku, selalu ramai dikunjungi oleh kader HMI yang antusias membaca. Apakah kecepatan membeli/ meminjam buku tidak berbanding lurus dengan kecepatan membaca buku?
Dan juga kisah yang sering terjadi HMI. Saat beberapa orang pintar mengobrol di warung kopi, "Kenapa ya, HMI yang di kenal dengan keintelektualitasnya tinggi, tapi kok kegemaran untuk membaca saat ini rendah dan miskin akan kekritisan ?".
Kita pakai skala mayoritas, di HMI cukup rendah memang kader-kader yang minat membaca, ini bisa dilihat bagaimana perilaku keseharian kader, bagaimana mereka di kelas, asa yang aktif bahkan pro-aktif, ada juga yang masih pasif.
Jawaban lainnya itu karena kita tidak mau mengakui. Bahwa kita tergolong kaum yang tidak mampu berbuat apa-apa. Fokusnya hanya pada masalah, bukan solusi. Terlalu banyak bertanya tanpa mau berjuang untuk mencari jawabannya. Banyak bicara tapi sangat sedikit berbuat. Jadi, hanya bisa menyalahkan orang lain, menyalahkan Himpunan sendiri.
Berani mengakui realitas, itulah makna hari buku sedunia. Karena pengakuan, bisa jadi hal yang langka hari-hari ini. Banyak orang tidak mau mengakui keadaan yang objektif. Gagal mengakui bahwa kita belum optimal berbuat. Kader HMI sangat butuh keberanuian untuk mengakui. Pengakuan tentang apa saja. Mengaku belum optimal berbuat nyata untuk Himpunan, Mengaku belum maksimal berbuat untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Harus diakui. Mengaku salah, mengaku banyak kekurangan, mengaku tidak membaca buku.Â
Maka akuilah, apa pun yang terjadi. Pengakuan adalah cara mudah untuk muhasabah diri, untuk instrospeksi diri.
Saat ini sangat terasa bahwa HMI mengalami krisis pilar budaya intelektual minat baca terkhusus di tataran komisariat, sehingga aktivitas membaca, menulisa dan berdiskusi terasa asing lagi di tubuh HMI. Kader yang memiliki minat baca, menulis dan berdiskusi seperti barang langka, indikator tersebut kita bisa melihat melalui aktivitas dikelas tadi.Â
Forum- forum diskusi yang kerap menjadi sarana menuangkan ide-ide kritis kader seperti tidak pernah tersentuh oleh komentar kader-kader HMI.
Konsekuesi ketika kader-kader HMI telah meninggalkan budaya ini maka, kader-kader HMI akan kehilangan karakter, organisasi ini tidak lagi dapat menjadi wadah penempaan yang selama ini dikenal sebagai organisasi yang memproduksi kader umat dan kader bangsa. Tradisi membaca,menulis, berdiskusi bagaikan roh bagi keberadaan HMI, tanpa itu keberadaan HMI menjadi tidak penting.
Di Hari Buku Nasional 17 Mei 2022 Inilah momen untuk bersikap objektif. Untuk lebih berani mengakui realitas. Untuk menambah energi untuk memberi solusi bukan mempermasalahkan.
Maka bacalah buku kembali. Bila belum mampu berbuat optimal untuk siapa pun dan apa pun. Karena buku adalah sumber ilmu terbaik bagi siapa pun yang membacanya. Buku pun bisa jadi sahabat paling setia yang rela mendampingi siapa pun dalam keadaan apa pun.Â
Tanpa pernah mempermasalahkan dibaca atau tidak dibaca. Karena sebaik-baik teman sepanjang zaman adalah buku. Dan bila tidak mempu membaca buku lagi, maka diamlah. Tidak usah banyak omong atau menuding orang lain.
Dan ketahuilah, sangat salah bila membaca buku untuk pintar.Tapi buku adalah jembatan untuk mencapai keseimbangan dalam hidup manusia. Agar selalu seimbang antara jasmani dan rohani, seimbang antara pikiran dan tindakan. Untuk apa pintar secara pikiran tapi tidak ada aksi nyata dalam perbuatan?
Maka di Hari Buku Sedunia. Di Setiap buku yang dibaca seharusnya mampu diimplementasikan. Agar ada manfaatnya, ada dampaknya dari membaca buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H