Mohon tunggu...
agathisdamara_
agathisdamara_ Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pengangguran

Seorang nolep yang menjelma menjadi prokopton dan ingin membagikan pengetahuannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Madre: Biang Roti Otentik hingga Kebahagiaan Otentik

26 September 2023   20:44 Diperbarui: 26 September 2023   20:51 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Madre adalah biang roti (bahan dasar dari pembuatan roti) yang diperkirakan sudah bertahan lebih dari 80 tahun. Biang roti tersebut diwariskan kepada Tansen, pemuda Bali yang tidak tahu aturan yang tiba-tiba mendapat kabar bahwa ia mendapatkan warisan dari orang yang tidak dikenalnya. Tansen akhirnya jauh-jauh datang ke Jakarta untuk mengkonfirmasi hal tersebut.

Sesampainya di Jakarta konflik mulai tercipta, mulai dari silsilah keluarganya yang keliru, kakek aslinyalah yang mewarisi biang roti tersebut, hingga Tansen yang hanya bisa tertawa bahwa ia telah jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk menerima biang roti dan ruko kecil yang sudah usang.

Hingga akhirnya Tansen bertemu dengan Mei. Mei merupakan salah satu anak dari pengusaha roti yang sukses, namun dibalik semua itu ternyata Mei memiliki penyesalan yang membebaninya. Saat kecil Mei pernah menghancurkan adonan biang roti khas yang memiliki nilai esensi tertentu dari toko roti kakeknya, akibatnya sejak itu toko roti mereka menggunakan ragi instan dan tidak menggunakan biang roti khas mereka sendiri. Itulah motif Mei sangat mendukung Tansen untuk membuka toko rotinya warisannya yang sudah usang. Akhirnya Tansen setuju untuk membuka dan mengembangkan toko rotinya sendiri.

Madre si biang roti ternyata memiliki suatu nilai otentik yang tidak tergantikan. Mulai dari nilai historis, nilai emosional, hingga rasa khas tertentu. Layaknya hidup kita sendiri, hidup yang memiliki sejarah pengalaman, polemik emosional, hingga suatu ciri khas tertentu.

Manusia adalah makhluk yang subjektif namun dibalik bias tersebut menjadi otentik tentu turut penting. Dengan menjadi otentik kita dapat menjadi diri kita sendiri, menjadi otentik kita dapat menjadikan diri kita berbeda dari yang lain, menjadi otentik dapat membuat kita meraih suatu kebahagiaan yang otentik.

Maka apa kebahagiaan otentikmu? menjadikan hal materialistis sebagai kebahagiaan? menjadikan orang lain sebagai kebahagiaan? atau bahkan menjadikan dirimu sendiri sebagai kebahagiaan? apapun itu tidak akan berani seorang pun untuk menilai rendah suatu kebahagiaan otentik seseorang, karena kebahagiaan otentik hanya milik ia yang selalu menjadi dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun