Mohon tunggu...
Agatha Carolina
Agatha Carolina Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Produktif melalui karya untuk sesama

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Belajar Iklan dari Tinder: Rela Ganti "Citra" Demi Indonesia

22 November 2020   22:55 Diperbarui: 22 November 2020   23:38 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tinder x Bujang Rimba, Sumber: Youtube

Tinder x Bujang Rimba sebagai iklan demi mengaet pasar Indonesia. 

Tinder merupakan sebuah aplikasi kencan yang mulai dipopulerkan pada tahun 2012 melalui kalangan mahasiswa di Amerika Serikat. Kini aplikasi Tinder telah diunggah sebanyak 340 juta kali dan tersedia di 190 negara dengan lebih dari 40 bahasa (Tinder, n.d.).

Aplikasi Tinder sangat digemari terutama pada negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Spanyol, dan Perancis. Selama empat tahun pertama semenjak berdirinya Tinder, Tinder cenderung mengabaikan negara-negara di Asia sebagai target pasarnya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Asia dengan kebudayaannya yang sangat berbeda dari negara Barat dianggap akan sulit untuk menerima keberadaan Tinder (Carville, O, 2019).

Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, aplikasi kencan global tersebut mulai menunjukan minat untuk memasuki pasar Asia seperti India, Korea Selatan, dan juga Indonesia. Namun, upaya Tinder untuk memasarkan produknya di Asia bukannya tanpa hambatan. Tinder bahkan harus menyesuaikan citra dan iklannya agar dapat lebih diterima oleh masyarakat Asia.

Di negara-negara Barat dan Eropa, Tinder dikenal sebagai aplikasi kencan yang digunakan untuk bertemu dengan orang asing yang tertarik terhadap satu sama lain dan melakukan 'hook-up' atau hubungan intim bersama (Carville, O., 2019). Fenomena untuk melakukan hubungan intim di luar pernikahan adalah suatu hal yang cenderung wajar dalam budaya Barat, akan tetapi tabu atau tidak sesuai dalam budaya Asia. Ketidaksesuaian tersebut membuat Tinder mengalami kesulitan untuk memasarkan produknya di Asia dan harus menyusun strategi-strategi iklan baru.

Setiap perusahaan global yang berupaya memasarkan produknya ke berbagai negara berbeda memerlukan iklan sebagai salah satu sarana pendorongnya. Semakin global suatu perusahaan, maka kebutuhan terhadap praktik iklan global juga semakin tinggi, tidak terkecuali Tinder. Menurut McPhail (2014), salah satu permasalahan yang sering ditemukan dalam perencanaan iklan global yaitu perdebatan mengenai strandarisasi iklan-iklan banding adaptasi terhadap pasar dan karakteristik lokal.

Tinder bekerja sama dengan salah satu perusahaan internasional di bidang iklan dan teknologi daring yaitu MediaDonuts dalam mengiklankan produknya di pasar baru yaitu Asia. Pieter-Jan de Kroon, rekan manajer dari perusahaan MediaDonuts, mengatakan bahwa strategi iklan Tinder akan menyesuaikan dengan karakteristik lokal supaya dapat diterima oleh masyarakat Asia (Ong, G., 2020).

Berikut ini kita akan melakukan perbandingan antara iklan Tinder di Amerika Serikat dengan iklan Tinder di Indonesia.

Kampanye 'Single, Not Sorry', Sumber: Tinder
Kampanye 'Single, Not Sorry', Sumber: Tinder
Gambar di atas merupakan bentuk kampanye yang diadakan oleh Tinder di Amerika Serikat. Dengan citranya sebagai aplikasi kencan bagi orang-orang lajang untuk melakukan 'hook-up', maka Tinder mengadakan kampanye berjudul 'Single, Not Sorry'. Kampanye ini mengangkat pandangan bahwa sebagai lajang, seseorang tidak perlu merasa rendah diri atau bersedih tetapi justru menikmati waktu (Wieden + Kennedy, 2018). 

Para lajang dapat lebih bebas melakukan apapun tanpa adanya ikatan hubungan sehingga menjadi lajang bukanlah sesuatu yang sebaiknya disia-siakan. Kampanye Tinder mendorong masyarakat untuk tidak terburu-buru memasuki hubungan karena mayoritas pengguna aktif Tinder adalah kaum lajang yang ingin melakukan 'hook-up'.

Namun, tentunya strategi kampanye seperti di atas tidak dapat diaplikasikan di negara Asia seperti Indonesia dengan masyarakat yang tidak terbiasa melakukan 'hook-up'. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat konservatif dimana dipercayai bahwa hubungan intim hanya dapat dilakukan setelah pernikahan. Tinder pun harus mengubah strategi iklannya dan menciptakan citra baru sebagai aplikasi pencari 'jodoh'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun