Mohon tunggu...
Agatha Rebecca Rajagukguk
Agatha Rebecca Rajagukguk Mohon Tunggu... -

Seseorang yang sedang berjuang menggapai mimpi :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masihkah Ada Harapan?

22 Januari 2015   06:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:37 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana keadaannya dok? Apakah masih ada harapan dokter?" Sepenggal dialog antara dokter dengan keluarga pasien ini sering kali menjadi pertanyaan dalam sebuah keadaan yang sangat darurat, bisa juga dibilang hampir tiada harapan sehingga mengeluarkan sebuah pertanyaan apakah masih ada harapan.

Bicara tentang sakit penyakit, akhir-akhir ini sering digunakan istilah stadium untuk mengklasifikasi tingkat "kesakitan" yang sedang di derita pasien. Semakin tinggi stadium maka semakin gawat juga kondisi si penderita. Sementara berbanding terbalik dengan harapan sembuh yang semakin kecil.

Saat ini, mungkin kondisiku hampir sama dengan kondisi pasien yang gawat darurat dan membuat keluarga pasien bertanya. Namun, berbeda denganku pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan yang aku tanya dengan diriku sendiri dan hal itulah yang belum bisa aku jawab belakangan ini. Mencari jawaban terkadang memang begitu menyesakkan, bagai mencari jarum diantara kumpulan jerami.

Dan jika kondisi "sakit" yang ku derita saat ini dapat diistilahkan, mungkin aku sudah menuju stadium akhir. Wajarlah sepertinya harapan "hidup" bagiku saat ini hampir punah.

Dulu, aku juga pernah sakit namun itu masih stadium awal . Sehingga setelah berjalannnya waktu dengan mencoba berdamai dengan diri sendiri dan semuanya, aku pun sembuh. Namun kini, sakit itu menggerogotiku lagi, merongrong jiwaku. Bahkan stadiumnya lebih tinggi dari sebelumnya.

Setiap penderita penyakit membutuhkan seorang dokter, ahli medis yang mengerti bahkan mungkin sudah berpengalaman. Tapi, kali ini berbeda aku bukan butuh seorang dokter yang biasa. Sakitku membutuhkan seorang dokter hebat, yaitu Penciptaku dan diriku sendiri. Tak ada yang lebih mengenal kerusakanku  saat ini selain yang menciptakan aku sendiri. Diikuti tak ada yang lebih mengerti diriku daripada diriku sendiri (seharusnya).

Dokter hebat yang pertama, Sang Pencipta tak perlu lagi diragukan keahliannya. Dia tak akan pernah salah diagnosa dan tak akan pernah salah melakukan penanganan medis, tidak akan malpraktek tepatnya. Dia tak akan pernah lalai mengerjakan tugas mulia dengan tangan pembawa kesembuhannya.

Dokter hebat yang kedua, yakni diri sendiri inilah yang butuh perjuangan besar. Diri ini harus  peka terhadap segala gelaja yang sedang terjadi dan menjadi partner dokter pertama dalam mencapai kesembuhan. Sangat aneh rasanya ketika diri sendiri harus mengobati diri sendiri, dan lumrah muncul pertanyaan bagaimana caranya menyembuhkan diri sendiri yang sedang sakit.

Sakit yang aku rasakan tentulah berbeda dengan sakit medis lainnya, sakit ini lebih mengarah ke psikis tepatnya. Sehingga dokter yang dibutuhkan adalah diri sendiri, karena sakit psikis tak akan pernah sembuh total jika si penderita masih bergantung pada orang lain. Diri sendiri tak menjadi egois dalam bagian ini, diri sendiri menjadi dokter yang dapat menyembuhkan diri sendiri.

Kesembuhan adalah target perjuangan setiap penderita penyakit selayaknya diriku saat ini. Berjuang melawan penyakit dengan berdamai dengan dengan diri sendiri. Berjuang mengusir penyakit dengan menerima diri sendiri. Berjuang mengalahkan penyakit dengan memenangkan diri sendiri. Berjuang meninggalkan penyakit dengan memanggil diri kembali. Berjuang untuk sebuah harapan, harapan untuk sembuh, harapan untuk jiwa, harapan untuk hidup. Selamat berjuang dan selamat sembuh. Selamat datang harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun