"Kemaren istri gue telfon, bilang, anak gue sakit. Kangen Bapaknya. Kan gue jadi sedih ya, pengen pulang, tapi engga ada duit. Kalo pulang pasti kan harus ajak jalan-jalan, sedangkan buat ongkos pulang aja susah..." begitu ujarnya kepada saya di kala saya sedang merokok di tempatnya.
"Gue suka sedih, engga bisa bantu istri gue ngurus anak-anak gue. Tapi ya gimana kalo kerja di kampung mah penghasilannya pasti engga kayak disini (Jakarta)" curahan hatinya.
Bagi saya, Gendut berbeda dari penjual rokok lain. Dia tidak hanya sekedar berjualan rokok dan minuman, pembeli datang-beli rokok-pinjam korek-bayar-pergi. Tidak.
Gendut menfasilitasi para pembelinya dengan memberikan tempat duduk, walaupun hanya dengan dus air mineral, bahkan terkadang ia bisa menjadi tempat curhat yang asik bagi para pelanggannya.
Suatu kali, saat saya sedang merokok di tempat Gendut, seorang pembeli datang. Gendut dengan ramah menyapa dan menanyakan rokok apa yang dibutuhkan sang pembeli.
"Halo mas, selamat siang. Silahkan rokoknya...mau sebungkus, setengah atau ngeteng (sebatang)?" ujarnya.
Jarang bahkan hampir tidak pernah saya temui penjual rokok yang menyapa pelanggannya seramah ini. Walaupun hanya sebuah rokok, namun hal ini membuat para pembeli merasa senang untuk membeli rokok di sana lagi. Termasuk saya.
Saya menanyakan bagaimana kelanjutan berjualannya bila benar-benar sudah ditertibkan dan Ia tak bisa berjualan di Segit lagi.
"Dut, lu mau jualan dimana kalau disini (Segit) udah tidak boleh jualan?" ujar saya.
"Ya paling mah di depan semanggi situ, ngemper aja gue kayak dulu...kalau ada DISHUB lari" kata Gendut.
"Trus lu jadinya cuma jual rokok aja? Jualan minuman-minuman lu gimana?"