Sewaktu saya kecil, saya pernah mendengar cerita, dari simbah saya. Simbah selalu mendongeng sebelum saya tidur. Salah satu cerita simbah yang saya ingat hingga sekarang adalah cerita mengenai Buto. Simbah mengatakan Buto adalah raksasa besar di bumi ini yang senang memakan anak kecil. Buto muncul saat bulan purnama (ini cerita soal Buto apa soal Ganteng-Ganteng Serigala sih mbah, husshh cucu durhaka).Â
Simbah juga mengatakan buto akan memakan apa saja yang ada di depannya, termasuk anak kecil yang sudah sore tapi belum mandi dan belum masuk rumah. Kemudian, cerita berlanjut dan melebar sampai ke gatotkaca, superhero tanah Jawa yang bisa melawan apapun termasuk Buto. Setelah saya besar saya jadi paham bahwa semua yang diceritakan simbah hanyalah khayal belaka.Â
Namun cerita-cerita khayal tersebut sangat membekas di pikiran saya. Pikiran-pikiran mengenai Buto dan Gathotkaca pun berkembang liar di imajinasi saya. Terbayang Gathotkaca yang lebih tinggi dari rumah menghajar Buto yang bermuka jahat dan menakutkan, kemudian mereka bertarung layaknya ultraman melawan kuman yang akan merusak kota.
Ingatan indah mengenai masa kecil seketika itu juga muncul, ketika saya sore-sore berkunjung ke Waroeng Pitoelas. Tempat makan bergaya joglo, nampak cantik dikelilingi area persawahan. Sejuk, sederhana, dan menyegarkan mata. Kenangan masa kecil pun berkelabat lari-lari tak terkendali. Lampu teplok yang dipasang di tiang joglo.Â
Pawon yang bergaya jadul, kemudian bahan bakar memasak yang menggunakan kayu. Berkesempatan mengobrol dengan pemilik warung Ibu Sinta. Filosofi dari Waroeng Pitoelas ini menurut Ibu Sinta karena Ia menyukai angka 7 dan angka 11. Baginya angka tersebut adalah angka hoki. Angka 7 berarti pitu atau pitulungan.Â
Angka 11 berarti sewelas atau kawelasan. Harapannya Waroeng Pitoelas mendapatkan pertolongan atau pitulungan dan mendapat belas kasih atau kawelasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Nama tersebut dibuat agar Waroeng Pitoelas terus maju menjadi semakin besar, laris, dan langgeng. Ibu Sinta juga menambahkan bahwa Ia ingin menciptakan kenangan lawas di masa sekarang. Konsep lawas harapannya dapat menjadi kenangan bagi orang-orang yang datang berkunjung ke Waroeng Pitoelas.
![Dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/01/wp-59808c3d2f283c65e2499782.jpg?t=o&v=770)
![Dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/01/wp-gubug1-59808c9993419255ae292df2.jpg?t=o&v=770)
Kemudian cangkem buto, adalah tempe gembus yang di tangkep kemudian diberi isian, sama seperti buto galak, cangkem buto ini juga pedas, namun berukuran besar. Cangkem buto membuat mulut kita harus mangap ekstra lebar agar si cangkem buto dapat masuk. Makanan ndeso lainnya yang tak kalah menggoda adalah telo kasur, asliiikkkk ini telo kasurnya sesuai sama namanya empuk dan endes banget.Â
Menu kekinian yang berbahan dasar ketela adalah nugget telo, renyah diluar namun lembut di dalam. Saya berusaha menggali informasi dari Ibu Sinta cara agar ketela dapat empuh namun renyah di luarnya tetapi tidak berhasil. Ibu Sinta tidak terpancing pada pertanyaan saya (Yaiyalah rahasia perusahaan).
![Dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/01/sego-babon-59808c62934192552030db92.jpg?t=o&v=770)
Di Waroeng Pitoelas tersedia sego golong dan sego babon. Sego golong adalah nasi kepal berbentuk bulat, kemudian diberi lauk mie, sayur Lombok, dan telur rebus atau endhok godhog. Kemudian sego babon berisi nasi putih, sayur papaya dengan santan pedas, tahu bacem, dan bubuk kedelai. Asli bubuk kedelainya gurih, macam koya yang digunakan sebagai pelengkap soto.Â
Yup, semua menu enak tadi bisa dibeli hanya dengan 17 ribu rupiah saja. Tujuh belas ribu ini nantinya akan mendapatkan sego golong atau sego babon, gratis teh hangat dan lotis setiap hari. Istimewa karena ibu hamil diperbolehkan makan gratis disini. Sekian cerita saya menjadi superhero melawan buto. Makan sehat makan enak. Aku ojo kuru!