[caption caption="standrewscitychurch.com/wp-content/uploads/2015/12/Waiting.jpg"][/caption]
Menunggu ada kalanya terasa mengasyikkan
Banyak waktu kita miliki untuk berfikir
Sendiri seringkali sangat kita perlukan
meneropong masa silam yang telah terlewat
Mungkin ada apa yang kita cari
masih tersembunyi di lipatan waktu yang tertinggal
Mungkin ada apa yang kita kejar
justru tak terjamah saat kita melintas
Menunggu lebih terasa beban yang membosankan
Banyak waktu kita terbuang tergilas cuaca
Sendiri seringkali sangat menyakitkan
Meneropong masa depan dari sisi yang gelap
Mungkin ada apa yang kita takuti
justru t'lah menghadang di lembaran hari-hari nanti
Mungkin ada apa yang kita benci
justru t'lah menerkam menembusi seluruh jiwa kita
Mungkin ada apa yang kita takuti
justru t'lah menghadang di lembaran hari-hari nanti
Mungkin ada apa yang kita benci
justru t'lah menerkam menembusi s'luruh jiwa kita
Memang seharusnya kita tak membuang semangat masa silam
Bermain dalam dada
setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai di sini
Barisan kata-kata di atas adalah lirik lagu Ebiet G. Ade berjudul sama dengan judul postingan ini. Pelantun balada ini menilai dua sisi dari "menunggu" dan "sendiri", secara positif dan negatif. Saya sendiri selama ini lebih merasa dua kata itu lebih banyak bermakna negatif atau berhubungan dengan hal-hal yang tak menyenangkan. Saya ingin bertanya pada bapak Ebiet G. Ade yang suaranya merdu itu bagaimana caranya menunggu itu bisa mengasyikkan karena saya lebih sepakat bahwa menunggu itu membosankan.
Kau tahu apa yang paling buruk dari menunggu? Menunggu tanpa kau bisa berbuat apa-apa. Menunggu masih bisa menerbitkan harapan kalau kau masih bisa berusaha jadi yang kau tunggu adalah hasilnya. Tapi bagaimana kalau menunggu sesuatu tanpa ada yang bisa kau lakukan? Sepenuhnya bergantung pada situasi, atau lebih buruk, bergantung pada orang lain? Itu sama seperti apabila kau pemain bola dan tim sepakbolamu sedang tertinggal 1-2 dari tim lawan, sudah mendekati menit 90, dan kamu menyaksikan itu dari bangku cadangan! tak bisa berbuat apa-apa, yes?
Apesnya menunggu yang semacam ini tampaknya juga dirasakan orang-orang sejak jaman dahulu kala, utamanya sastrawan. Orang Yunani sejak era sebelum Masehi sudah merumuskan situasi ini dalam cerita tragedi "Menunggu Godot". Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan entah kenapa si Godot itu tak datang-datang. Maka "Menunggu Godot" kemudian jadi istilah terkenal yang dipakai jurnalis/karikaturis untuk menggambarkan keadaan menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Indonesia juara Piala Dunia misalnya. Bagaimana mau juara kalau level ASEAN aja ngos-ngosan. Oh, ini melebar. Maafkan.
Orang Melayu mengumpamakan ini sebagai "Pungguk Merindukan Bulan". Saya tidak tahu pungguk ini sejenis binatang apa, mungkin sejenis musang, atau codot. Karena bulan tak akan pernah mampir ke bumi kecuali kiamat, maka kau juga bisa mengganti pungguk ini dengan landak, sapi, atau trewulu.
Sudahlah, saya hanya sedang letih menunggu sesuatu.
Besok lusa sudah Februari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H