Mohon tunggu...
Agaprita Eunike Sirait
Agaprita Eunike Sirait Mohon Tunggu... Dokter - Salam hangat!

Seorang dokter yang sedang mengejar mimpinya, tertarik dengan kesehatan anak, dan senang menyalurkan pengalaman serta pengetahuannya melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Salah Kaprah tentang Vaksin

13 Februari 2021   23:32 Diperbarui: 13 Februari 2021   23:43 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Vaksin cacar (smallpox) adalah vaksin pertama yang berhasil dikembangkan. Smallpox adalah penyakit yang sangat berbahaya. Penyakit yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri kepala, nyeri dan lemah badan, serta munculnya ruam dan bintil pada tubuh ini dapat menyebabkan kematian pada tiga dari sepuluh orang. Vaksin smallpox ditemukan pertama kali oleh seorang dokter berkebangsaan Inggris bernama Edward Jenner pada tahun 1796. Hampir dua abad setelah itu, smallpox masih beredar di dunia dan menyebabkan banyak kejadian luar biasa. Oleh karena itu, digagaslah Program Eradikasi Intensif smallpox pada tahun 1967. Kapasitas penyimpanan vaksin diperbesar di negara-negara endemis, serta vaksinasi massal (dengan cakupan hingga 80%) diterapkan di negara-negara. Dengan usaha yang masif, akhirnya pada tahun 1980 smallpox telah berhasil dieradikasi dan hingga kini menjadi penyakit pertama dan masih satu-satunya yang berhasil dihilangkan di muka bumi.

Selain smallpox, masih banyak penyakit menular yang dapat menginfeksi manusia dan mengakibatkan fatalitas. Salah satunya adalah pertusis atau batuk rejan. Sebelum vaksin pertusis ditemukan, penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan menyebar lewat droplet  ini merupakan penyakit yang sering dapat menyebabkan kematian pada anak, terutama pada bayi di bawah enam bulan, akibat terhambatnya jalan napas. Dengan imunisasi pertusis, kejadian penyakit ini menurun dari sekitar 355.000 menjadi hanya 5.000 per tahun. Contoh lain adalah penyakit polio. Pada masa sebelum vaksinnya ditemukan, polio menyebabkan sekitar 1 dari 200 anak yang terinfeksi mengalami kelumpuhan. Polio juga dapat menyebabkan kematian jika menyerang otot-otot pernapasan. Sejak ditemukannya vaksin, kasus polio terus menurun secara global dari hampir sekitar 60.000 kasus per tahun pada tahun 1980 hingga ditemukan hanya sekitar 50 kasus pada tahun 2018. Penyakit-penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi, atau biasa disebut PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) dan sudah masuk ke program imunisasi rutin di Indonesia adalah hepatitis B, TBC, difteri, tetanus, infeksi Haemophilus influenzae B (Hib) yang dapat menyebabkan radang selaput otak (meningitis), campak dan rubela. PD3I lainnya yang pencegahannya tidak termasuk dalam imunisasi dasar rutin contohnya adalah diare oleh rotavirus, pneumonia oleh virus pneumokokus, cacar air (varicella) dan influenza.

Suatu penyakit diteliti hingga dibuat vaksinnya tentu karena penyakit tersebut membawa dampak yang negatif hingga fatal, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dan baik bagi kesehatan individu maupun bagi masyarakat. Ketika vaksin terhadap suatu penyakit ditemukan dan mulai didistribusikan ke banyak orang lalu cakupannya sudah memenuhi suatu persentase tertentu, maka penyakit tersebut berangsur-angsur berkurang bahkan hingga sangat jarang atau hilang di tengah masyarakat. Tak ayal banyak orang yang tidak pernah melihat langsung PD3I seperti polio, difteri, tetanus, atau rubela. Sebagai seorang dokter, penyakit-penyakit tersebut juga sudah sangat jarang ditemukan di fasilitas kesehatan. Jika muncul pun dapat menyebabkan outbreak atau kejadian luar biasa (KLB), seperti KLB difteri pada beberapa daerah di Indonesia pada tahun 2017 silam. Fakta ini membuat pengalaman langsung atau tidak langsung oleh masyarakat mengenai PD3I sangat minimal hingga tidak ada, sehingga membuat keengganan untuk vaksin meningkat. PD3I dianggap sudah tidak ada dan vaksinasi tidak lagi diperlukan.

Kampanye "anti-vaksinasi" sudah muncul sejak konsep vaksin pertama kali tercipta sekitar abad ke 18. Munculnya gerakan ini adalah akibat kurangnya pemahaman serta pengetahuan tentang bagaimana vaksin bekerja. Misinformasi mengenai vaksin yang didukung dengan bukti anekdot semakin mudah menyebar seiring perkembangan zaman, terutama dengan lazimnya penggunaan sosial media saat ini. Melalui penelitian, pengguna media sosial memiliki kemungkinan lebih besar mendapatkan misinformasi mengenai vaksin. Dalam media sosial, informasi yang tidak kredibel dapat didandani sedemikian rupa hingga tampak kredibel, lalu dengan mudahnya berseliweran di tengah masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat sangat membutuhkan edukasi dan keterampilan literasi media agar dapat memilah mana informasi yang dapat dipercaya.

Indonesia sendiri mengalami tantangan akibat merebaknya anti-vaksin yang cukup meresahkan pada masa kampanye vaksinasi campak rubella (measles rubella, atau MR). Pada tahun 2017 dan 2018, pemerintah mencanangkan kampanye ini demi target mengeliminasi campak dan mengontrol rubela serta sindrom kongenital rubela (penyakit rubella bawaan lahir). Fase pertama pada tahun 2017 di Pulau Jawa berlangsung sukses dengan cakupan hampir 100% dan kasus campak menurun secara drastis. Namun, fase kedua pada tahun 2018 tantangan muncul. Akibat beredar kabar bahwa vaksin MR memiliki kandungan yang berhubungan dengan babi, banyak pemuka agama menarik dukungannya terhadap vaksin ini dan umat pun menolak vaksinasi. Setelah dilakukan peninjauan, akhirnya Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa vaksin MR mengandung babi, namun penggunaan vaksin tersebut dibolehkan (mubah) karena belum ada vaksin lain yang halal, serta ada bahaya jika tidak melakukan imunisasi. Sayangnya, persepsi dan stigma masyarakat terhadap vaksin sulit diubah sehingga cakupan vaksinasi MR di banyak daerah tidak mencapai target sebesar 95%.

Indonesia menargetkan sekitar 70% dari total penduduk mendapatkan vaksin COVID-19 dalam 14 bulan ke depan. Namun, menurut survei Kemenkes, WHO, dan Unicef pada November 2020 dengan responden sekitar 112 ribu orang, sekitar 7,6% masih menolak vaksin COVID-19 dan 27,6% tidak tahu dengan berbagai alasan. Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk menurunkan keengganan vaksin agar program vaksinasi dapat berhasil. Belajar dari pengalaman mengenai hambatan dalam kampanye vaksinasi MR, rancangan untuk program vaksinasi COVID-19 juga meninjau aspek penerimaan masyarakat. Pemerintah langsung menggandeng MUI untuk menetapkan bahwa vaksin Sinovac, yang akan digunakan pertama dalam program vaksinasi massal, halal. Bahkan, pada tahap awal vaksinasi, para petinggi MUI merupakan salah satu yang mendapatkan vaksin pertama kali. Dengan demikian, diharapkan penerimaan masyarakat terhadap vaksin COVID-19 lebih baik, dan nantinya tidak enggan divaksin ketika sudah saatnya. Selain itu, pemerintah juga memberikan contoh yang baik dengan petinggi atau pemimpin negara menerima vaksin terlebih dahulu sehingga diharapkan masyarakat dapat menirunya. Upaya lain seperti kampanye di media sosial dengan twibbon, menggandeng influencer (meski akhirnya terjadi skandal atau polemik) dilakukan.

Vaksin bekerja, vaksin aman, vaksin menyelamatkan. Konsep seperti ini penting ditanamkan dalam benak masyarakat. Jargon mengenai pentingnya vaksinasi perlu digembar-gemborkan, namun jangan sampai berlebihan hingga vaksin terkesan sebagai suatu "obat dewa" untuk mencegah COVID-19 dan masyarakat jadi berkejar-kejaran untuk mendapatkannya, bahkan melanggar aturan. Semua (yang memenuhi syarat) akan tervaksinasi pada waktunya.

Walaupun banyak ruginya, ada dampak positif dibalik COVID-19. Masyarakat awam jadi lebih paham mengenai istilah medis, dan lebih acuh pada isu yang berkaitan dengan vaksin. Diharapkan, lewat pandemi masyarakat lebih sedia untuk menerima imunisasi untuk mencegah PD3I. Semoga eradikasi polio, target bebas campak dan rubela, bahkan penurunan angka kejadian PD3I lainnya dapat tercapai kedepannya. Mari saudara-saudara, percayalah pada manfaat vaksin. Vaksin bekerja, vaksin aman, vaksin menyelamatkan! Jangan takut divaksin!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun