Menjadi dokter spesialis mungkin merupakan impian yang lumrah bagi kebanyakan dokter umum, bahkan mahasiswa kedokteran, di Indonesia.
Memang banyak pilihan karir lain seperti pejabat struktural di rumah sakit atau Puskesmas, peneliti, dosen, dokter layanan primer, dan lain sebagainya, namun tidak sepopuler menjadi dokter spesialis.
Mengapa? Ada ribuan alasan untuk menjadi dokter spesialis. Mulai dari hal paling dasar yaitu alasan ekonomi. Seorang dokter spesialis pada umumnya meraup gaji lebih besar dibandingkan dokter umum.
Selain keuangan, dokter spesialis juga lebih dihargai dibandingkan dokter umum. Kejadian ini baru saya alami kemarin, di unit gawat darurat (UGD) seorang pasien yang mengalami serangan jantung menolak pemberian fibrinolisis (atau bahasa awamnya pengenceran darah) oleh dokter umum.Â
Padahal, dokter umum yang sedang berjaga di UGD ini sudah berkonsultasi dan diberi arahan langsung oleh dokter spesialis jantung.Â
Terapi ini harus dilakukan secara cepat karena "golden hour" atau periode terbaik untuk mendapatkan efek terapeutik maksimal adalah kurang dari 12 jam. Jika terlambat diberikan, jantung bisa kekurangan oksigen dan efek terburuknya bisa mengalami kematian.
Hal seperti ini yang mendorong dokter umum ingin segera menjadi dokter spesialis. Agar bisa menggunakan keilmuannya semaksimal mungkin, sesuai kompetensinya.
Selain itu, alasan lain selain lebih dihargai oleh pasien adalah juga lebih dihargai oleh sejawat baik dokter maupun tenaga kesehatan lainnya. Tentu saja jam terbang dalam setiap profesi berpengaruh dalam keterampilan dan pengetahuan.Â
Demikian juga dalam dunia kedokteran, dokter yang lebih senior atau yang lebih spesialistik akan lebih dipercaya dan didengar ketika memberikan arahan.
Namun sayangnya, menjadi dokter spesialis bukan hal yang mudah di Indonesia. Saking banyaknya lulusan dokter umum, ada sekitar 12000 lulusan dokter umum dari 78 fakultas kedokteran di Indonesia, kursi pendidikan dokter spesialis menjadi rebutan. Bisa dari 40 pendaftar residensi hanya di bawah 10 yang diterima.
Begitu banyak syarat tertulis dan tidak tertulis harus dipenuhi. Pintar saja tidak cukup untuk menjadi dokter spesialis. Tidak jarang dokter-dokter muda mencari surat rekomendasi ke daerah-daerah terpencil agar bisa diterima sekolah.
Banyak pula yang magang ke dokter spesialis senior, bahkan magang dengan membayar sejumlah biaya, demi mendapatkan rekomendasi dari dokter tersebut. Semua usaha yang dilakukan belum tentu berhasil karena masih ada unsur nepotisme dalam penerimaan menjadi dokter spesialis.
Hal ini sangat berbeda dengan di luar negeri. Kebanyakan negara di Eropa menerapkan seleksi yang ketat untuk masuk ke fakultas kedokteran. Sehingga dari awal para dokter memang sudah terseleksi. Kemudian, rata-rata fakultas kedokteran memiliki rumah sakit sendiri. Sehingga lulusannya bisa langsung bekerja di rumah sakit tersebut.
Fakultas kedokteran di universitas negeri juga bekerja sama dengan jaringan rumah sakit di seluruh negara untuk menempatkan dokter-dokter tersebut nantinya.
Sistem yang baik dan tertata tersebut menghasilkan dokter-dokter yang bisa memilih selanjutnya ingin menjadi spesialis apa, atau ingin menjadi dokter keluarga saja. Tidak ada rebutan kursi seperti di Indonesia.
Selain sistem penerimaan dokter spesialisnya, hal lain yang perlu digarisbawahi adalah pendidikan dokter spesialis yang gratis. Bahkan selama pendidikan para residen tersebut diberikan gaji yang cukup untuk biaya hidup sehari-hari.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sudah bekerja keras pagi-sore-malam untuk rumah sakit, bukannya dibayar malah harus mengeluarkan biaya cukup banyak mulai dari uang semester, uang ujian, hingga uang thesis. Tidak bisa disalahkan jika ada yang secara ekstrim mengatakan bahwa residen adalah budak rumah sakit.
Saya tidak menyalahkan Indonesia. Saya bekerja dan melayani di Indonesia. Meskipun fasilitas tidak lengkap, batasan-batasan oleh BPJS, gaji dokter yang tidak sebanding dengan risiko dan beban kerjanya...Â
Memang banyak kekurangan di sana-sini. Saya berharap sistem pendidikan kesehatan di Indonesia dapat diperbaiki.
Masih banyak dokter-dokter yang ingin belajar lebih dalam lagi dan mengabdikan ilmunya. Dokter-dokter tersebut rela memakai waktu tiga, empat, lima, bahkan enam tahunnya untuk belajar dan praktik demi menjadi seorang spesialis, tanpa mendapatkan uang sepeser pun. Semua demi kemaslahatan umat dan masyarakat Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H