Banyak pula yang magang ke dokter spesialis senior, bahkan magang dengan membayar sejumlah biaya, demi mendapatkan rekomendasi dari dokter tersebut. Semua usaha yang dilakukan belum tentu berhasil karena masih ada unsur nepotisme dalam penerimaan menjadi dokter spesialis.
Hal ini sangat berbeda dengan di luar negeri. Kebanyakan negara di Eropa menerapkan seleksi yang ketat untuk masuk ke fakultas kedokteran. Sehingga dari awal para dokter memang sudah terseleksi. Kemudian, rata-rata fakultas kedokteran memiliki rumah sakit sendiri. Sehingga lulusannya bisa langsung bekerja di rumah sakit tersebut.
Fakultas kedokteran di universitas negeri juga bekerja sama dengan jaringan rumah sakit di seluruh negara untuk menempatkan dokter-dokter tersebut nantinya.
Sistem yang baik dan tertata tersebut menghasilkan dokter-dokter yang bisa memilih selanjutnya ingin menjadi spesialis apa, atau ingin menjadi dokter keluarga saja. Tidak ada rebutan kursi seperti di Indonesia.
Selain sistem penerimaan dokter spesialisnya, hal lain yang perlu digarisbawahi adalah pendidikan dokter spesialis yang gratis. Bahkan selama pendidikan para residen tersebut diberikan gaji yang cukup untuk biaya hidup sehari-hari.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sudah bekerja keras pagi-sore-malam untuk rumah sakit, bukannya dibayar malah harus mengeluarkan biaya cukup banyak mulai dari uang semester, uang ujian, hingga uang thesis. Tidak bisa disalahkan jika ada yang secara ekstrim mengatakan bahwa residen adalah budak rumah sakit.
Saya tidak menyalahkan Indonesia. Saya bekerja dan melayani di Indonesia. Meskipun fasilitas tidak lengkap, batasan-batasan oleh BPJS, gaji dokter yang tidak sebanding dengan risiko dan beban kerjanya...Â
Memang banyak kekurangan di sana-sini. Saya berharap sistem pendidikan kesehatan di Indonesia dapat diperbaiki.
Masih banyak dokter-dokter yang ingin belajar lebih dalam lagi dan mengabdikan ilmunya. Dokter-dokter tersebut rela memakai waktu tiga, empat, lima, bahkan enam tahunnya untuk belajar dan praktik demi menjadi seorang spesialis, tanpa mendapatkan uang sepeser pun. Semua demi kemaslahatan umat dan masyarakat Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H