Mohon tunggu...
Agaprita Eunike Sirait
Agaprita Eunike Sirait Mohon Tunggu... Dokter - Salam hangat!

Seorang dokter yang sedang mengejar mimpinya, tertarik dengan kesehatan anak, dan senang menyalurkan pengalaman serta pengetahuannya melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengalaman Menjadi Dokter di Denmark

20 September 2017   21:27 Diperbarui: 21 September 2017   11:25 5049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar: Saya di depan pintu masuk Aarhus Universitetshospital, Denmark)

Satu tahun yang lalu, ketika beberapa bagian di belahan bumi sedang mengalami musim panas, saya mengikuti program pertukaran pelajar yang diadakan oleh International Federation of Medical Students Associations (IFMSA) khusus bagi mahasiswa kedokteran selama satu bulan.

Saat itu, saya mendapat kesempatan untuk belajar di kota Aarhus, Denmark. Saya ditempatkan di rumah sakit terbesar di kota Aarhus, yang juga merupakan rumah sakit terbaik di Denmark dari tahun ke tahun, Aarhus Universitetshospital. Di rumah sakit tersebut, saya masuk ke departemen pediatri (ilmu kesehatan anak), karena saya sangat tertarik untuk kelak menjadi dokter spesialis anak.

Kegiatan saya sebagai mahasiswa pertukaran pelajar kurang lebih sama seperti kegiatan sebagai dokter muda di Indonesia. Namun, terdapat perbedaan di mana saya tidak dapat menangani pasien secara langsung, melainkan hanya berinteraksi saja dengan pasien (atau yang dalam kegiatan kedokteran biasa disebut dengan anamnesis), serta melakukan pemeriksaan fisik dengan supervisi.

Selama mengikuti program pertukaran pelajar ini, saya merasakan beberapa perbedaan yang cukup signifikan antara pendidikan kedokteran maupun kehidupan sehari-hari sebagai dokter antara Indonesia dengan Denmark.

1. Jam kerja yang tidak terlalu panjang per harinya (serta hari libur setelah jaga malam!)

Di Denmark, seorang dokter mulai bekerja mulai dari jam 8 pagi dan selesai paling lambat pukul 4 sore setiap hari. Saat saya mengikuti kegiatan dokter di sana, mereka memulai setiap hari dengan morning report, atau diskusi kasus pasien yang mereka dapatkan di hari sebelumnya.

Para profesor, dokter konsultan (dokter spesialis yang dispesialisasikan lagi dalam satu bidang misal nefrologi, neurologi, infeksi, dll.), dokter spesialis, residen (dokter yang sedang dalam pendidikan untuk menjadi dokter spesialis), dokter umum, serta kami sebagai mahasiswa berkumpul di satu ruangan konferensi yang memiliki fasilitas lengkap mulai dari sound system, layar besar, proyektor, dan komputer. Dokter jaga serta dokter penanggung jawab pasien akan mempresentasikan pasien masing-masing, serta mendiskusikan bersama jika ada pasien yang perlu perhatian khusus atau yang belum ditemukan diagnosisnya.

Setelah kegiatan morning report tersebut, para dokter akan melanjutkan kegiatan masing-masing, mulai dari mengunjungi pasien hingga mengisi medical record. Pada pukul 12 siang, mereka akan istirahat selama satu jam untuk makan siang. Setelah itu, kegiatan pelayanan akan kembali dilanjutkan hingga pukul 4 sore.

Sebenarnya, dalam hal kegiatan sehari-hari, dokter di Denmark tidak cukup berbeda dengan di Indonesia. Namun yang membedakan adalah di Indonesia dokter boleh praktik di maksimal tiga tempat.

Hal ini mengakibatkan terkadang dokter bekerja cukup keras dan panjang karena harus melakukan tugasnya di tiga tempat yang berbeda. Di Denmark, seorang dokter hanya boleh praktik di satu tempat. Oleh karena itu, mereka tidak terlalu lelah bekerja dan dapat menikmati sisa hari dengan keluarga atau melakukan hobi.

2. Fasilitas (sarana dan prasarana, serta teknologi) yang canggih dan memadai

(Gambar: sepeda untuk petugas laboratorium yang hendak mengambil sampel darah)
(Gambar: sepeda untuk petugas laboratorium yang hendak mengambil sampel darah)
Bukan merupakan hal yang mengejutkan kalau negara-negara di Eropa memiliki teknologi yang lebih canggih dari Indonesia. Tetapi, tetap saja saya menemukan diri saya berdecak kagum dengan peralatan dan teknologi yang dipakai di rumah sakit di tempat saya ini.

Mulai dari pintu saja terlebih dahulu, tiap bangsal di rumah sakit ini menggunakan pintu yang akan otomatis terbuka jika ada yang menarik suatu tali di langit-langit. Hal ini tentu saja memudahkan petugas medis jika ingin mentransfer pasien yang menggunakan tempat tidur, karena tidak perlu harus membuka pintu dengan didorong secara manual.

Kemudian, untuk transfer pasien antar bangsal, terdapat petugas yang menggunakan kendaraan elektrik semacam golf cart sehingga tidak perlu repot mendorong-dorong tempat tidur yang sangat besar itu. Selain itu, karena rumah sakit sangat besar, para petugas medis juga dapat pergi dari satu tempat ke tempat lain menggunakan skuter maupun sepeda di dalam rumah sakit. Sangat menyenangkan!

Dalam hal pemeriksaan medis untuk menegakkan diagnosis, lebih keren lagi! Di Denmark, pemeriksaan seperti CT Scan, MRI (magnetic resonance imaging), bahkan PCR (polymerase chain reaction) untuk menganalisis DNA, sangat mudah dilakukan dan bukan merupakan hal yang tidak biasa. Hasil dari semua tes tersebut akan langsung tersimpan di server sehingga bisa diakses oleh dokter maupun tenaga medis lain yang berwenang terhadap pasien.

Setiap tempat pelayanan kesehatan tentu saja harus memiliki rekam medis pasiennya. Rekam medis ini berisi identitas pasien, riwayat penyakit pasien beserta diagnosis dan terapi yang diberikan kepada pasien. Di Aarhus Universitetshospital, semua rekam medis tersimpan di komputer. 

Untuk menghemat waktu dalam mengetik, dokter bisa hanya merekam suaranya agar nanti dapat diketik oleh juru ketik untuk rekam medis. Hal ini tentu saja sangat menghemat waktu! Rekam medis ini tersimpan di server, sehingga setiap tenaga medis di seluruh Denmark yang berwenang dan bersentuhan dengan pasien dapat mengakses rekam medis ini. Tentu saja hal ini sangat memudahkan untuk proses rujukan.

Selain itu, setiap bagian atau subdepartemen juga memiliki ruang istirahat bagi para tenaga medis. Setiap ruangan istirahat ini memiliki meja besar dengan kursi yang nyaman untuk beristirahat. Ada pula kulkas, teko listrik, microwave untuk menyiapkan makanan dan minuman. Tidak jarang saya melihat sudah disiapkan roti serta selai serta kopi dan teh di meja yang dapat dikonsumsi.

3. Kehidupan ekonomi serta pendidikan yang terjamin

Denmark termasuk dalam 10 besar negara dengan gaji dokter tertinggi. Seorang dokter umum di Denmark mendapat gaji kurang lebih 676000 DKK atau sekitar 1.4 milyar rupiah dalam satu tahun. Gaji tersebut akan dipotong pajak yang cukup besar, yaitu sebesar 60%.

Ketika saya menanyakan kepada seorang dokter senior, beliau mengatakan bahwa dengan senang hati ia memberikan pajak sebesar itu pada negara, karena negara mengembalikannya dalam bentuk pelayanan seperti pendidikan, transportasi, kesehatan, yang sangat baik.

Pendidikan di Denmark diberikan secara gratis, bahkan bagi mahasiswa diberikan tunjangan perbulan selama pendidikan kurang lebih 6000 DKK atau sekitar 11 juta rupiah setiap bulannya yang tidak perlu dikembalikan ke negara setelah lulus. Uang tersebut biasanya digunakan untuk kehidupan sehari-hari seperti menyewa apartemen, untuk transportasi, serta makan sehari-hari.

4. Keramahan dan keluwesan antar sejawat

Menjadi orang asing di suatu lingkungan baru, bahkan negara baru yang tidak pernah dikunjungi sebelumnya, merupakan suatu hal yang mendebarkan bagi saya. Saya takut tidak diterima dengan baik, bahkan takut tidak akan dipedulikan karena menjadi beban tambahan bagi para dokter yang sudah memiliki tugas merawat pasien. Ternyata, segala prasangka saya ini tidak terbukti! Para dokter, perawat, dan tenaga medis lain sangat ramah kepada saya! Saya merasa diterima.

Tidak hanya kepada saya, saya mengamati bahwa lingkungan kerja di Denmark sangat hangat. Tidak ada gap antara perawat, residen, dokter senior, bahkan profesor.

Mereka menganggap satu sama lain adalah mitra kerja yang harus dihargai. Setiap orang bebas mengemukakan pendapatnya. Seorang profesor bahkan tidak segan-segan menyiapkan kopi pada saat morning report, serta mencuci gelas-gelas yang sudah dipakai. Saat saya mengajak selfie pun, para dokter ikut tertawa dan bercanda dengan saya.

* * *

Begitulah pengalaman saya menjadi mahasiswa pertukaran pelajar, atau dokter muda, di Aarhus Universitetshospitaldi Denmark. Menjadi dokter bukan merupakan pilihan yang mudah. Hampir di seluruh bagian di dunia, untuk masuk menjadi mahasiswa kedokteran saja merupakan hal yang sangat sulit.

Pendidikannya panjang dan menguras tenaga, hati, pikiran, juga uang. Tujuan dari menjadi dokter sendiri tidak dapat dipungkiri berujung untuk menolong orang lain sesama manusia. Oleh karena itu, tentu saya berharap dokter di negara ini bisa lebih dihargai. Saya berharap, kelak teman-teman sejawat saya (dan saya sendiri tentunya) dapat merasakan betapa menyenangkannya menjadi dokter di Indonesia, seperti apa yang saya rasakan di Denmark.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun