Mohon tunggu...
Agaprita Eunike Sirait
Agaprita Eunike Sirait Mohon Tunggu... Dokter - Salam hangat!

Seorang dokter yang sedang mengejar mimpinya, tertarik dengan kesehatan anak, dan senang menyalurkan pengalaman serta pengetahuannya melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ketika Tidur Dipermasalahkan

11 Februari 2017   20:13 Diperbarui: 11 Februari 2017   20:58 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dek tolong ambil darah lengkap buat ibu X, ya."

"Dek tolong acc permohonan CT Scan buat pasien Y, ya."

"Dek ayo kamu jahit pasien ini. Siapkan alat-alatnya terus dorong pasiennya ke ruang tindakan, ya."

Kira-kira kalimat di atas adalah potongan dialog yang sering terdengar di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) bagian bedah rumah sakit tempat saya belajar. Saya adalah seorang co-ass atau yang sekarang sering disebut dengan dokter muda. 

Tugas saya, sesuai dengan namanya, adalah membantu (co) residen (asisten dari konsulen atau dokter yang sedang dalam pendidikan dokter spesialis) dalam bekerja menangani pasien. Tugas saya yang lain, yang tidak kalah pentingnya, adalah belajar bagaimana menangani pasien mulai dari diagnosis hingga memberikan terapi bagi pasien.

Seorang co-ass di institusi saya memiliki jam kerja mulai dari jam 7 pagi hingga 3.30 sore hari. Jam kerja ini diisi dengan praktik di poli seperti memeriksa pasien, menulis status, menulis resep, hingga mengantar pasien ke tempat tertentu untuk pemeriksaan khusus. Selain praktik, para co-ass juga harus belajar dengan para konsulen (dokter spesialis) di rumah sakit. 

Bentuk belajarnya bisa dengan praktik memeriksa pasien (bed side teaching), atau membahas kasus tertentu beserta teorinya. Biasanya, bahan belajar atau diskusi dengan konsulen ini harus disiapkan sendiri oleh kelompok co-ass, sehingga tidak jarang saya dan teman-teman pulang lebih sore untuk mencari kasus dan membuat bahan presentasi.

Pada beberapa stase, co-ass diwajibkan untuk ikut jaga malam. Jaga malam ini dimulai dari selesai aktivitas sehari-hari (pukul 3.30 sore) hingga pukul 5.30 pagi keesokan harinya. Tugas seorang co-ass di jaga malam bermacam-macam, tergantung stase yang sedang dijalani. Saya ambil contoh stase bedah, seperti dialog yang ada di atas, jika ada pasien baru masuk ke IGD maka co-ass, biasanya bersama residen, pertama-tama harus mengecek pasien dan mengantarkan pasien masuk ke salah satu bilik di IGD. 

Setelah itu, maka pasien atau keluarganya akan dimintai keterangan mengenai identitas dan keluhan utama serta riwayat penyakit pasien tersebut. Jika pasien merupakan pasien rujukan, maka akan diminta surat rujukannya. Lalu, pasien akan diperiksa tanda vitalnya seperti kecepatan nadi, kecepatan napas, suhu, dan tekanan darah. 

Sesudah itu, barulah dipikirkan diagnosis pasien dan bagaimana tatalaksananya. Tugas ini terkesan mudah saja dikerjakan. Namun coba bayangkan keadaan IGD yang ramai dengan pasien yang datang berturut-turut. Jumlah tenaga medis dan pasien akhirnya tidak sebanding. Belum lagi jika yang datang adalah pasien trauma atau kecelakaan. Semua harus dikerjakan serba cepat. Tidak jarang harus berlari untuk mengambilkan oksigen atau obat untuk pasien.

Ya saya mengaku kalau saya sering tidur ketika jaga. Tentu saja tidur ini melihat waktu dan tempat. Kalau di IGD rumah sakit tempat saya belajar ada satu ruangan di pojokan, biasa disebut plester, yang sering dipakai co-ass jaga untuk istirahat. Tempat ini bukan tempat khusus istirahat, melainkan tempat penyimpanan dan pencucian alat-alat medis. 

Jangan bayangkan ada kursi apalagi kasur di sana. Kami para co-ass akan ambruk begitu saja di lantai jika lelah. Awalnya memang terkesan jorok mengingat lantai itu kotor dipakai orang berlalu-lalang untuk mengambil atau mencuci alat. Namun di mana lagi kami bisa beristirahat kalau bukan di sana. Itu mengenai tempat. Kalau mengenai waktu, tentu kami tidak bisa tidur jika masih ada tugas yang harus dikerjakan. Para tenaga medis hanya bisa tidur jika semua pasien sudah stabil dan semua pemeriksaan telah dilakukan. Seandainya IGD ramai, kami tidak mungkin bisa tidur. Jangankan tidur, untuk duduk saja mungkin tidak sempat.

Bagi saya dan teman-teman saya, mungkin juga bagi banyak orang dewasa lainnya, tidur adalah suatu berkat. Mungkin ketika anak-anak tidur itu adalah suatu perintah dari orang tua yang sulit untuk dituruti. Apalagi ketika banyak sekali godaan seperti main komputer, main sepeda, atau kegiatan lainnya yang lebih seru untuk dilakukan. Sekarang, mendapat kesempatan untuk tidur barang 20 menit saja sudah patut disyukuri. 

Menurut penelitian para ahli, ada beberapa tahapan dalam satu siklus tidur pada manusia. Ada yang disebut dengan non rapid eye movement (NREM), yang terdiri dari 4 tahap yang progresif, dan rapid eye movement (REM). Tahap pertama adalah NREM 1 yang biasa berlangsung selama 5 hingga 10 menit. Saat ini seseorang dapat terbangun dengan mudah ketika mendapat stimulus. 

NREM 2 berlangsung selama 10 hingga 20 menit selanjutnya, dan merupakan proses penyesuaian untuk masuk ke tahapan tidur yang lebih dalam. Pada NREM 3 dan 4, seseorang lebih sulit dibangunkan dan sulit bereaksi dengan sekitarnya ketika terbangun sehingga butuh penyesuaian. Tahap REM, yang biasanya terjadi setelah 90 menit tertidur, merupakan tahapan di mana mimpi sering terjadi. 

Siklus tidur ini bisa berlangsung beberapa kali dalam sekali tidur. Jadi, jika seseorang (seperti para co-ass) tidur hanya 20 menit, orang tersebut hanya sampai paling jauh ke tahap NREM 2. Pada tahap ini seseorang masih dengan mudah bisa dibangunkan dan merespon stimulus. 

Saya bersyukur boleh belajar dan mengejar cita-cita saya sebagai dokter. Saya berusaha dengan maksimal dan memberikan terbaik yang saya bisa untuk kepentingan pasien. Saya tahu memang tidak mudah untuk menjadi dokter. Dari segi pendidikan saja butuh waktu lima tahun untuk bisa mendapat gelar "dr.". Belum lagi harus internship dahulu satu tahun sebelum bisa praktik. 

Dari segi biaya sebenarnya saya cukup beruntung karena belajar di perguruan tinggi negeri yang uang semesternya bisa dikatakan cukup murah, tapi masih banyak calon teman sejawat saya yang tidak seberuntung saya. Belum lagi ketika sudah lulus nanti, menurut apa yang saya dengar dari kakak kelas saya, gaji dokter bahkan lebih sedikit dibandingkan gaji buruh. Tidak sebanding dengan risiko dan pengorbanan yang dilakukan. Jadi coba dipikirkan, apakah seseorang mungkin mau berlelah-lelah membuang waktu dan tenaga jika tidak mencintai apa yang dilakukan? Menurut saya hanya orang gila saja yang jadi dokter tapi tidak mencintai sesama manusia.

Ketika saya dengar ada dokter di suatu daerah di Indonesia yang kena sidak dan amarah gubernur karena tertidur saat jaga, saya cukup kesal namun paham. Saya paham bagaimana pandangan orang awam yang menganggap bahwa dokter adalah "manusia setengah dewa" yang harus serba bisa dan serba kuat. Kuat tahan kantuk, kuat tahan lapar, kuat tahan pipis. 

Banyak orang masih berpikir bahwa dokter memang dibayar untuk itu. Melalui artikel ini saya berharap banyak mata yang terbuka, bahwa dokter juga manusia. Dokter, dalam hal ini juga dokter muda seperti saya, bisa tertidur. Tertidur bukan dengan pulas, tapi penuh rasa awas dan siap jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun