Amerika Serikat (AS) pernah dan akan selalu menjadi negeri impian banyak orang yang bukan warga AS, atau minimal bagi mereka yang tidak menggunakan bahasa Inggris Amerika sebagai bahasa ibu. Poin ini dapat dilihat sebagai model kesuksesan hegemoni dari strategi kebudayaan AS yang bekerja menggiring imajinasi warga dunia ke-3, tentunya, selain orang yang berada di AS. Bahkan sampai hari ini jargon “The American Dreams” masih rutin berlalu lalang di kehidupan warga urban Jakarta. Lihat saja, misalnya, banyaknya ajang pencarian bakat dalam program televisi kita yang diadopsi dari program serupa di AS.
Menurut Prof. Ariel Haryanto (Australian National University – ANU) dalam perbincangannya di media sosial, bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa Inggris dipakai di beberapa kafe untuk menu masakan Indonesia yang tak jarang kebarat-baratan (western food), di mana ini bagus untuk turis asing. Tetapi istilah Inggris juga bisa berhamburan dalam ucapan pelayan dengan tamu yang sesama orang Indonesia, dan bukan sebagai bentuk kalimat utuh dalam berbahasa Inggris.
Ia menjadi taburan beberapa istilah Inggris dalam kalimat berbahasa Indonesia yang kadang membaur dengan logat kedaerahan penuturnya. Dengan kata lain, bahasa Inggris hanyalah sebagai kode sosial masyarakat urban. Menurut saya, ini merupakan upaya imajinatif orang-orang urban untuk menaikkan kelas. Toh, tak ada salahnya berandai-andai menjadi Amerika lewat bahasa.
Imajinasi menjadi Amerika dengan model lainnya telah kita saksikan melalui film Remember The Titans (2000) yang berlatar Amerika tahun 1970-an hingga sepuluh tahun berikutnya. Periode itu merupakan periode penting dalam transisi masyarakat Amerika menjadi seperti saat ini, sebagai representasi sempurna dari demokrasi neoliberal ala Amerika. Boleh jadi kita harus berterima kasih pada periode tersebut karena pada akhirnya Amerika dapat memiliki Barack Obama sebagai Presiden kulit hitam pertama di tengah lekangnya dominasi kulit putih terhadap kulit hitam di mayoritas negara Barat.
Dalam Remember The Titans, wacana rasisme kulit hitam merupakan point of view yang terang-terangan disampaikan kepada penonton, selain pesan moral lainnya. Di samping itu, terdapat kredit plus yang perlu diketahui bahwa film ini diproduksi berdasarkan kisah nyata di mana berpengaruh terhadap skenario di dalamnya yang diangkat dari kisah nyata.
Remember The Titans merupakan film ber-genredrama dengan tema olahraga American Football, olahraga nomor #1 di Amerika. Menariknya, film bertema olahraga memiliki basis penontonnya sendiri sehingga terdapat istilah sports film sebagai genre yang memiliki sub-sub genre dalam film. Sports film hampir selalu berkisah seputar olahraga yang meliputi pertandingan dan atlet-atletnya.
Seringkali sports film mengusung plot sederhana dengan drama yang dapat menguras energi karena penonton dibuat tertawa sekaligus sedih, seolah sedang melakukan olahraga. Akhirnya kita tidak bisa menyangkal bahwa cukup banyak judul film yang sukses di Box Office yang mengusung genre sports film berdasarkan kisah nyata, seperti: The Pride of The Yankees, Raging Bull, Ali, termasuk Remember The Titans. Film seri Rocky (1976-2015) pun nampak tersimulasi secara nyata, sebagai film yang seolah memiliki kisah nyata.
“This is no democracy. It is a dictatorship. I am the law.”
Coach Herman Boone – Remember The Titans
Tidak jarang sports film selalu menampilkan “karakter pemimpin” yang direpresentasikan melalui figur/tokoh utamanya yang berperan sebagai atlet maupun pelatih. Tak terkecuali, dua karakter pemimpin saling bertolak-belakang yang diperankan oleh Denzel Washington (sebagai Coach Herman Boone) dan Will Patton (sebagai Coach Bill Yoast). Di luar itu semua, saya melihat bagaimana seringnya film-film Amerika berkutat pada wacana terkait kepemimpinan menunjukkan bahwa negara ini bukannya mengalami “kebanjiran pemimpin” namun sebaliknya: “krisis pemimpin”.
Maka, bisa jadi persoalan kepemimpinan di Amerika telah menjadi komoditas yang patut diimajinasikan melalui media film kepada penonton di seluruh dunia; di mana karakter pemimpin ideal seakan boleh berasal dari Amerika sehingga Amerika-lah yang layak memimpin dunia. Produksi imajinasi inilah yang dilakukan melalui film sebagai strategi budaya.
Lebih lanjut saya akan mengulas tentang gaya kepemimpinan yang disuguhkan kedua tokoh yang telah disebut di atas, di mana saling bertolak belakang. Tak jarang keduanya terlibat pertengkaran kecil. Tokoh Coach Herman Boone adalah seorang kulit hitam yang menjadi kepala pelatih dari sebuah tim American Football yang terdiri dari dua warna kulit: hitam dan putih. Sementara itu tokoh Coach Bill Yoast adalah seorang kulit putih yang menjadi asisten pelatih dari Coach Herman Boone.
Maka, praktis persoalan warna kulit tidak bisa dilepaskan dari gaya keduanya memimpin. Coach Herman Boone nampak sangat ambisius karena ingin menunjukkan dirinya sebagai orang yang berkualitas dan mampu memimpin timnya dengan sistem yang sangat disiplin. Ini merupakan arena pergulatan identitasnya sebagai orang kulit hitam yang ditolak oleh mayoritas orang AS kulit putih, termasuk para tetangganya. Berbeda dengan Coach Bill Yoast yang memang berkulit putih dan merupakan pelatih favorit semua orang (atlet dan orang tuanya, anggota dewan sekolah, dan tetangga rumah). Dengan demikian, tidak ada hal signifikan yang perlu dibuktikan oleh Coach Bill Yoast kepada masyarakat.
Sebagai kepala rumah tangga (suami sekaligus ayah), keduanya digambarkan sebagai orang dengan karakter kuat yang memiliki ketegasan namun juga sisi lembut. Karakter ini lebih utuh digambarkan ketika keduanya menjalankan peran sebagai seorang kepala rumah tangga. Akan tetapi, sebagai pelatih keduanya menjalankan karakter berbeda. Coach Herman Boone sebagai pelatih kepala mendapuk dirinya sebagai orang yang sangat keras dan tegas, agak kaku, cenderung diktator, dan cukup kejam. Sedangkan Coach Bill Yoast hanya tegas, keras, dan lebih santun namun sabar. Ia lebih mau mendengar orang-orang yang dipimpinnya dibandingkan Coach Herman Boone yang tidak peduli terhadap keluhan orang-orang di bawahnya – termasuk Coach Bill Yoast sebagai asisten pelatihnya.
Banyak drama yang terjadi dalam film ini untuk sekaligus menunjukkan bagaimana cara kerja kepemimpinan berbeda di antara keduanya. Persaingan juga kerap ditunjukkan karena keduanya memimpin tim kecil yang berbeda. Tim American Football terdiri dari tim penyerang dan tim pertahanan. Coach Herman Boone bertanggung jawab terhadap tim penyerang sedangkan Coach Bill Yoast bertanggung jawab atas tim pertahanan. Sebagai sebuah tim, keduanya harus padu.
Di sinilah penonton dapat melihat kombinasi keduanya sebagai pelatih, yang saling bahu-membahu memimpin tim dalam rangkaian pertandingan selama semusim. Pertengkaran kecil terjadi ketika, misalnya, tim pertahanan gagal melakukan tugasnya sehingga tim hampir kalah. Juga sebaliknya ketika tim penyerang gagal. Salah satu contoh lain yang ditunjukkan adalah ketika Coach Herman Boone memarahi atletnya dan sesaat kemudian atlet tersebut semacam dimotivasi oleh Coach Bill Yoast.
Artinya, tidak semua model kepemimpinan keras dapat diterima dan berjalan dengan baik. Maka perpaduan dengan model pemimpin yang lebih bijaksana akan mampu mendinginkan kepala-kepala yang sudah terlanjur panas. Karena masalah tidak harus selalu diselesaikan dengan kemarahan serta makian, namun bisa juga dengan negosiasi yang santun dan lembut.
Perpaduan ini hampir persis dapat dilihat pada model kepemimpinan di DKI Jakarta pada periode awal 2012-2014, di mana dipimpin oleh Jokowi yang berkarakter lembut yang cenderung santun sebagai Gubernur serta dibantu oleh Wakil Gubernur bernama Ahok yang berkarakter keras yang cenderung kasar, suka mengomel, bahkan berbicara blak-blakan, namun keduanya tetap berjalan selaras karena memiliki visi-misi yang sama. Karakter Coach Herman Boone dapat disamakan dengan Wakil Gubernur Ahok.
Keduanya sama-sama keras, tegas, suka memaki, namun juga memiliki sifat baik sebagai manusia yang adil. Keduanya pun merupakan minoritas: yang satu adalah seorang kulit hitam di AS yang pada masa tersebut sangat dibenci (rasis); sementara yang satu lagi adalah keturunan Cina dan non muslim yang kurang disukai. Persoalan minoritas ini sementara dapat dijadikan kesimpulan dari bagaimana karakter keduanya direpresentasikan dalam figur masing-masing sehingga mereka menunjukkan sikap yang sangat keras, tegas, tanpa kompromi.
Pada akhirnya kedua karakter yang bertolak belakang ini memiliki pengaruh dan efektifitas yang berbeda. Tidak ada kesempurnaan secara mutlak untuk memakai hanya salah satu model kepemimpinan sebab keduanya memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Maka kalau harus memilih model kepemimpinan yang ideal di antara keduanya, saya cenderung untuk memilihnya berdasarkan kebutuhan dari komunitas atau masyarakat yang harus dipimpin.
Pemimpin yang baik dan cocok dengan masyarakat atau komunitas tersebut pun lahir dari dalamnya. Bila tidak ada (baca: ditemukan) maka carilah yang berasal dari luar kelompok masyarakat tersebut. Pilihlah yang sesuai dengan kesepakatan demi kepentingan bersama. Maka, dalam model kepemimpinan untuk kebutuhan semacam ini akan lebih cocok menggunakan perpaduan keduanya. Di mana tidak tertutup kemungkinan direpresentasikan lewat satu orang maupun dua orang. Film Remember The Titans pun mencontohkan demikian. Bahkan imajinasi pemimpin ideal tidak sepenuhnya dapat terwujud karena tidak ada yang benar-benar ideal atau sempurna karena, lagi-lagi, kebutuhan dari komunitas atau masyarakat itu yang menentukan. (AP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H