Ada rekan lama, dia mengkritik kepadaku, kok beda sih mas kepengurusan zaman mas Eko dengan zaman mas S ? BEM ITB sekarang, lieur euy. Diajak kesana-sini, tidak mau sama-sekali. Padahal esensi kita dekat kan, supaya bisa kolaborasi bareng.
Sebenarnya, hal ini kondisi umum yang sering kita temui di Indonesia (hari ini), dimana suksesi kepemimpinan yang berbeda-beda antar kepengurusan, belum lagi kalau sudah antar generasi pastinya akar permasalahannya akan kompleks.
Pola pergerakan mahasiswa yang menjadi opsi narasi mereka yakni kontra-lawan pemerintah, semu-produktif dan kolaborasi-keterbukaan-pembelajaran.
Satu, bagaimana kemahasiswaan akan selalu berada pada titik puncak idealisme mereka. Secara harfiah, usia 20-25 adalah usia pencarian jatidiri sehingga wajar saja, jika mereka mendambakan hidup yang ideal- sesuai aturan dan bahkan hal-hal yang mereka impikan dalam teori pembelajaran di kelas-kelas.Â
Wajar saja, sebagian besar dari mereka tentu akan mensyaratkan (jangan ngaku aktivis) kalau belum pernah demo/ bicara di ruang publik, jalanan dll.Â
Dengan realita itu, mereka sering kali membawa narasi kritis, dan pesimis terhadap upaya yang dilakukan pemerintah (kebijakan, program dan kegiatan dsb).
 Mereka memberanikan diri turun ke jalan, dengan alasan kegelisahan dan kegiatan dialektika yang (mungkin) menurut mereka sudah cukup menggambarkan kegelisahan mereka. Aktivisme kemahasiswaan ini booming di era orde lama dan orde baru, untuk mengawal pemerintahan yang cukup otoriter dan menindas rakyat.Â
Mereka menyuarakan kegelisahan mereka, dalam memberantas KKN, dan hal-hal lain. Alhasil, aktivisme ini menghasilkan beberapa aktivis yang terbiasa berperan sebagai seorang legislator / politisi dan orang-orang yang berdiri di belakang kepentingan (ormas/ partai/ kelompok).Â
Mereka sangat mengandalkan kekuatan sosial dan lobi-lobi politik yang diselesaikan lewat jalur konfrontasi / perlawanan, sesuai karakteristik mereka. Sebut saja, Adian Napitupulu (UKI), Fahri Hamzah (UI), Budiman Sudjatmiko (UGM), Hilmar Farid (UI), dsb
Selanjutnya, selepas masa reformasi dan menuju masa transisi, kita dihadapkan pada beberapa situasi seperti supremasi hukum dan beberapa tuntutan reformasi yang mendorong pada demokrasi multipartai. Â
Aktivisme kemahasiswaan di era 2000-2012 terlihat semu- dan senyap karena mereka berada pada dua kaki. Disamping mereka masih menyisakan karakter mereka (keras, kritis dll), mereka juga menguatkan diri dan kepentingan organisasi mereka.Â