Mohon tunggu...
Mukhtaruddin Yakob
Mukhtaruddin Yakob Mohon Tunggu... Pekerja Media -

Saya seorang pekerja Pers untuk sebuah media televisi. Gemar menulis dan suka diskusi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sesat Pikir Kesehatan Kita

12 November 2018   10:56 Diperbarui: 12 November 2018   11:15 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Strategi phylanthropy atau politik balas budi dalam bentuk bantuan yang dilakoni  perusahaan rokok membuat masyarakat lupa diri, sehingga menafikan akibat yang ditimbulkan karena rokok. Sebut saja Community Social Responsibilty (CSR) melalui beasiswa telah menggelapkan mata masyarakat termasuk pemerintah. Pencitraan positif pabrik rokok merupakan bagian dari jebakan terhadap bom waktu kematian akibat rokok.

KTR

Menyadari bahaya rokok, sejumlah daerah sudah melakukan terobosan pembatasan kawasan rokok dan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR tersebut di antaranya bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya akibat merokok dan menekan angka pertumbuhan perokok pemula.  Kota Banda Aceh menjadi  daerah kedua yang sudah memiliki regulasi  tentang KTR setelah Aceh Barat yang sudah maju selangkah dengan Qanun  KTR No. 14 tahun 2015.

Qanun No. 5 Tahun 2016 yang terbit  21 Januari 2016 lalu. Qanun tersebut secara resmi melarang rokok di antaranya tempat publik termasuk  lingkungan kesehatan, pendidikan, rumah ibadah dan angkutan umum lalu harus melewati tahap sosialisasi selama setahun. Artinya,  pada Mei 2017, masa sosialisasi sudah terlampaui sehingga sanksi sudah bisa diterapkan. 

Sanksi  atau denda bagi pelanggar KTR yakni siapa pun yang merokok dalam area KTR didenda Rp 200 ribu, dan menjual rokok di area tersebut menerima sanksi lebih berat atau denda Rp 500 ribu  sudah mendesak untuk memberi efek jera.  Sayangnya, penerbitan qanun KTR  seperti berada di jalan sunyi. Setelah lahir, sangat jarang qanun tersebut disosialisasikan. Sehingga, larangan merokok di tempat tersebut nyaris tak berlaku.

Perokok Pasif                

Dalam kasus  asap rokok, perokok pasif adalah yang paling menderita. Sudah tak merokok tapi terkena dampaknya. Anak-anak dan perempuan yang tidak tahu menahu soal rokok harus jadi korban. Celakanya lagi, selain pemahaman perokok yang kurang, pemerintah seperti acuh dengan kondisi kesehatan perokok pasif atau yang terpapar rokok.

Hampir tak ada ruang yang tidak terpapar asap rokok. Beberapa tempat yang sudah ditetapkan sebagai area larangan merokok, tapi masih ditemukan perokok yang tanpa bebas terhadap sanksi. Rumah Sakit Umum Dokter Zainul Abidin (RSUZA) Banda Aceh sebagai pilot projectarea bebas rokok justru jadi tempat nyaman bagi perokok di balai yang dipajang larangan merokok. Demikian juga dengan RSU Meuraxa, Banda Aceh. Jangan tanya angkutan umum, apalagi tempat ibadah.

Mengapa ini terjadi?  Selain karena masih kurangnya kesadaran perokok, pengambil kebijakan hingga belum tegasnya peraturan hingga sanksi yang diterapkan. Sehingga peraturan larangan merokok bagaikan anak haram yang tak diinginkan. Bisa jadi qanun atau apapun namanya tentang larangan rokok atau tembakau hanya menunaikan tugas legislasi agar terlihat pemerintah bekerja. Karena perokok masih bebas mengepul di tempat terlarang.

Demikian juga dengan pola pembangunan kesehatan kita. Mindset atau pola pikir kesehatan Indonesia terutama di Aceh berada di jalur sesat. Para stakeholder lebih gesit membangun  tempat pengobatan dan rumah sakit untuk mengobati pasien daripada pola mencegah sakit yang jauh lebih bermakna. Kondisi ini bisa dimaklumi karena negara memproduksi obat dan alat kesehatan. Pemerintah juga mendapatkan jasa dari pengobatan dan rawat inap pasien yang tidak disadari juga dibiayai negara melalui BPJS terutama sakit karena rokok yang jelas-jelas menggeroti keuangan negara. Nah, pada peringatan Hari Kesehatan ini, mari kita luruskan pola pikir agar tidak ada lagi aliran sesat dalam pembangunan kesehatan Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun