Saya sengaja memilih judul di atas untuk  mengajak kembali pembaca  media atau masyarakat informasi di Aceh mencermati  fenomena baru. Kali ini bukan korupsi apalagi politik, tapi fenomena sosial keagamaaan tentang imbauan larangan nongkrong berlainan jenis yang bukan mahram di warung kopi/kafe atau restoran. Imbauan yang tertuang surat edaran Bupati Bireun, Saifannur yang keluar 4 September 2018 langsung memancing reaksi.
Harian Serambi Indonesia terbitan Rabu (05/09) menulis "Nonmuhrim Dilarang Duduk Semeja". Edaran yang didukung Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun tentunya memancing pro dan kontra.Â
Apalagi dalam edaran yang terdiri dari 14 butir poin itu memuat soal larangan pria dan wanita duduk semeja di warung kopi meskipun di tempat terbuka. Poin lain juga melarang warung kopi melayani tamu wanita di  atas pukul  21.00 WIB atau pukul 9 malam.
Kebijakan ini sudah berjalan hampir dua bulan pada 4 November 2018 mendatang. Namun, tidak terdengar lagi implimentasinya di lapangan. Jangan-jangan edaran itu sekadar mencari sensasi di tengah sepi pembenritaan di Bireun.
Edaran Bupati Saifannur  melengkapi sejumlah persoalan atau ketentuan unik di Aceh. Sebelumnya beberapa kebijakan daerah mengikat warganya.  Ada ketentuan larangan ngangkang atau duduk ala lelaki bagi penumpang perempuan di Kota Lhokseumawe,  imbauan larangan menari bagi wanita di depan kaum lelaki yang bukan mahramnya di Aceh Utara.
Publik juga masih ingat larangan berjenggot bagi Aparatur Sipil Negara (ASN)-dulu disebut PNS di Aceh Selatan. Demikian juga edaran Bapati Ramli MS di Aceh Barat yang mengharuskan PNS wanita mengenakan rok saat bekerja. Bahkan kaum hawa pun mendapat rok gratis dari pemkab Aceh Barat saat itu.
Awalnya ketentuan pakai rok hanya berlaku  bagi PNS wanita di lingkungan sekretariat kabupaten Aceh Barat. Namun, Bupati Ramli MS  justru menandatangani peraturan bupati tentang wajib rok bagi warga Aceh Barat tanpa kecuali. Bahkan, saat akan memberlakukan wajib pakai rok, pemkab setempat menyiapkan 20 ribu lembar rok gratis.
"Kita sudah siapkan 20 ribu helai rok untuk dibagikan kepada warga," kata Ramli kepada wartawan (25/05/2010) seperti dikutip okezone.com.Â
Saat Ramli tak lagi berkuasa ketentuan pakai rok pun hilang begitu saja. Tidak jelas apakah peraturan bupati dicabut atau  tidak. Yang pasti saat  Teuku Alaiddin atau yang akrab disapa Haji Tito menggantikan Ramli M.S, justru yang populer peraturan bupati tentang larangan merokok di Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Soal KTR bahkan sudah menjadi qanun atau perda Aceh Barat. Bahkan Aceh Barat  lebih dahulu menerapkan KTR dibandingkan Banda Aceh yang ibukota provinsi.
Pertengahan April 2018, Ramli MS yang belum lama terpilih jadi bupati Aceh Barat kembali mengeluarkan ancaman pecat bagi pegawai  atau ASN lelaki yang mengenakan pakaian ketat atau lebih khusus pada celana. Saat melantik kepala Baitul Mal Aceh Barat, Ramli menyatakan bahwa  berpakaian ketat dan memasukkan kemeja dalam celana tidak mencerminkan syariat Islam seperti dikutip Antara yang kemudian disiarkan Liputan6.com (18/04/2018).
Sebelum Bupati Ramli MS memberlakukan wajib rok bagi PNS dan warga Aceh Barat, Bupati Aceh Selatan Husein Yusuf sebenarnya sudah melarang  PNS lelaki berjenggot. Larangan ini memang belum dituangkan dalam regulasi seperti peraturan bupati bahkan  qanun, namun sempat menuai kecaman.
Tidak hanya masyarakat biasa, Ketua Komisi Fatwa MPU Aceh Selatan saat itu. Tgk Haji Amran Waly pun menilai pernyataan Bupati Husein sebagai sesuatu yang mengada-ada. Bahkan Abu Amran-sapaan akrab ulama Aceh Selatan ini pun sempat meminta Bupati Husein Yusuf mencabut pernyataannya dan bertobat seperti disiarkan www kabarnet.wordpress.com (15/05/2010).
Demikian juga dengan larangan ngangkang bagi perempuan penumpang sepeda motor atau kenderaan bermotor roda dua di kota Lhokseumawe. Kebijakan Walikota Suaidi Yahya  bahkan sempat heboh mungkin juga viral jika kondisi saat ini.
Kebijakan yang sempat heboh hingga keluar negeri tahun 2013 lalu mengundang media massa asing mengupas jelas. Koran berbahasa asing The jakarta Post terbitan Jakarta pun menjadikannya sebagai berita utama. Begitu juga BBC World Service  memilih hal ini menjadi berita menarik. Bahkan sempat ada istilah "ngangkang style' yang melahirkan trending topic pada media sosial.
Tidak hanya itu. Stasion TV berita Metro TV pun sempat mengundang Walikota Suaidi Yahya ke studio mereka di Jakarta khusus membahas soal larangan ngangkang. Bahkan, aparat sipil di kota Lhokseumawe pun beberapa kali menggelar razia ngangkang untuk menegakkan kebijakan walikota mereka.
Kita juga tidak melupakan ada larangan keluar rumah pada  malam  hari bagi kaum perempuan yang tidak ada kepentingan dan tidak didampingi mahramnya di atas pukul 9 malam di kota Banda Aceh. Ibukota Provinsi Serambi Mekkah ini pun pernah memberlakukan pemisahan kelas bagi  siswa lelaki dengan siswi saat belajar di sekolah.  Aceh Besar  baru saja mengimbau penggunaan jilbab bagi pramugari saat  mendarat dan keluar dari terminal bandara  di Aceh.  Sayangnya, semua larangan itu berlalu  begitu saja.
Berbagai kebijakan "unik" ini semua berdalih pada penegakan Syariat Islam. Menanamkan nilai Islami  boleh saja. Sayangnya kebijakan demi kebijakan daerah berjalan secara reaktif. Mungkin ini kebutuhan warga Aceh di  daerah ini, mungkin juga menciptakan berita. Sayangnya, kebijakan ini pun  bagai lenyap ditelan waktu.
Nah, kebijakan atau edaran atau imbauan atau apa pun namanya jangan dibuat sekadar mencari sensari atau sekadar tampil beda  tanpa perencanaan yang matang sehingga menjadi bulan-bulan media asing bahkan orang nonIslam untuk mencibirnya. Jika tak mampu untuk apa dipaksakan. Semoga kebijakan baru di Bireun ini tak senasib dengan kebijakan  yang sempat  berlangsung di daerah lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H