Anehnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru mendapatkan informasi bahwa rokok menjadi konsumsi kedua rumah tangga miskin. Keluarga miskin di Indonesia lebih memilih membeli rokok daripada belanja makanan bergizi. Tapi, ratifikasi FCTC belum jelas juga.
"Dana yang dikeluarkan untuk tembakau 3,2 kali lebih besar dari pengeluaran telur, susu, 4,2 kali dari pengeluaran beli daging, 4,4 kali dari biaya pendidikan, dan 3,3 kali lebih besar daripada biaya kesehatan," kata Presiden Jokowi (www.detik.com/25/10/2017).
Namun sebuah studi di Afrika Selatan dan Prancis  rentang  waktu  (1990-2005), harga rokok mahal bisa menekan perokok hingga 50 persen. Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Kardioserebrovaskular Indonesia (PERKI), Dr dr Anwar Santoso, SpJP(K) meyakini bahwa jika harga rokok dinaikkan akan berdampak baik bagi kesehatan masyarakat dan juga pendapatan negara  seperti dikutip dari www. health.detik.com, 28/05/2018.
Trend kenaikan cukai di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Menurut laporan WHO pada 2017, Indonesia hanya mengenakan cukai 57 persen sementara negara lainnya misalnya Bangladesh sebesar  77 persen, Sri Lanka  mencapai  63 persen, dan Thailand sebanyak 73 persen (www.merdeka.com).
Kemenkes Indonesia pernah merilis tingkat perokok di Indonesia tahun 2017 sudah mencapai 90 Â juta orang. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, dr Lily Sriwahyuni Sulistyowati saat itu merujuk pada hasil penelitian yang dirilis Atlas Tobacco. "Indonesia jadi juara dunia dalam urusan perokok," ujar Lily saat itu.
Langkah tegas
Kembali ke pengawasan KTR, Â yang paling penting bukan soal banyaknya daerah yang menerapkan KTR, seberapa efektif qanun itu berjalan. Karena selama ini masih ditemukan para penegak hukum diam-diam merokok dalam ruang perkantoran, bukan sekadar di lingkungan perkantoran.
Langkah tegas itu melalui proses pengawasan yang konsisten. Para perokok dan produsen rokok tetap mencari celah menyalakan tembakau saat pengawasan mulai kendur. Oleh karenanya, pengawasan disusul sanksi adil akan mengurangi tingkat perokok di Banda Aceh, Provinsi Aceh, bahkan Indonesia.
Penulis adalah anggota Center for Tobacco Control Studies (CTCS) Aceh dan jurnalis
(Mukhtaruddin Yacob)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H