Mohon tunggu...
Mukhtaruddin Yakob
Mukhtaruddin Yakob Mohon Tunggu... Pekerja Media -

Saya seorang pekerja Pers untuk sebuah media televisi. Gemar menulis dan suka diskusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terasa Robur Hadir Kembali

2 September 2016   20:35 Diperbarui: 2 September 2016   20:44 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini, 2 September 2016 tonggak sejarah Hari Pendidikan Aceh (Hardikda). Peringatan Hardikda ke-57 tahun ini membawa kita pada sebuah nostalgia. Bukan sekadar pendirian Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam yang diresmikan Presiden pertama  R I, Ir. Soekarno, tapi lebih dari itu, kehadiran angkutan publik Robur.

Robur yang populer era tahun 1980-an kini tinggal kenangan. Angkutan murah dan  fenomenal ini menjadi kenangan saja. Teriakan Darma Darma, Apung, Kramat, Jambo Tapee, Lorong Mangga, Mesra, Simpang Galon, ada yang turun nyaris tak terdengar.

Beberapa penumpang mulai berdiri mendekati pintu menanti saatnya bus berhenti. Tinggg...tinggg....Bunyi benturan rupiah recehan dengan tiang penyangga bus memberikan aba-aba kepada supir bahwa ada yang turun.

Pecahan dua puluh lima rupiah, lima puluh rupiah, dan seratus rupiah kerap dijadikan alat  sebagai pengganti atau komando kodektur untuk menurunkan atau menaikkan penumpang.

Itulah  kenangan era tahun 1990-an. Saat sebagian besar mahasiswa mengandalkan bus sekolah atau lebih dikenal Robur menikmati keseharian saat berangkat kuliah, sekolah bahkan pergi bekerja. Para kondektur dan supir Robur semuanya hafal tempat-tempat  naik turunnya penumpang. Yang paling kesohor adalah Simpang Mesra.

Persimpangan Darussalam dan Krueng Cut ini bukan karena banyaknya calon penumpang yang naik atau turun. Karena Simpang Mesra adalah tikungan patah dari dan ke  pusat kota Banda Aceh-Darussalam. Beberapa supir Robur usil sengaja berbelok lebih tajam agar para penumpang di dalam lebih rapat sehingga saling bersenggolan. Yang paling dahsyatnya adalah para mahasiswi terutama jurusan Program Diploma Pendidikan Kesekretariatan (PDPK). Mereka   umumnya cewek cakep yang selalu mencuri perhatian mahasiswa dan warga sekalipun.

Para mahasiswa yang iseng pun memilih menumpang saat kenderaan besar itu lebih banyak mahasiswinya. Mereka sengaja memilih berdiri di bagian belakang-di antara celah kursi untuk merasakan sensasi. Robur hijau atau putih kerap menjadi incaran mereka yang tidak sekadar mencari tumpangan murah-tapi hiburan murah. Nakal memang!

Suasana itu hanya bisa dikenang. Angkutan yang sangat berjasa kini terkubur bersama bencana tsunami dan  perkembangan transportasi. Kebersaamaan menumpang angkutan umum kini jadi barang langka.  Tugas robur yang kemudian diambil alih angkutan murah lainnya-Damri- perlahan mulai redup.  Demikian juga dengan angkutan kota-Labi-labi. Tak lebih hanya sebagai penggembira angkutan massal yang pelan-pelan jadi besi tua karena tidak sanggup bertahan karena tanpa penumpang.

Pribadi

Warga yang tinggal di Banda Aceh dan Aceh Besar lebih senang mengendarai kendaraan pribadi, baik roda dua atau roda empat karena lebih cepat dan murah. Apalagi, kemudahan memiliki kenderaan pribadi makin terbuka di setiap penyalur kenderaan bermotor di ibukota provinsi ini.

Trend menggunakan kenderaan private selain banyak tempat terjangkau, juga makin mahalnya ongkos transportasi massal angkutan kota disebabkan anjloknya calon penumpang. Ditambah lagi gengsi menumpang kenderaan umum karena kurang aman dan tak efektifnya waktu menyebabkan pertumbuhan kendaraan bermotor di Aceh terutama Banda Aceh makin tak terbendung.

Akibat pertumbuhan kenderaan yang nyaris tak terkendali. Jalan-jalan di kota Banda Aceh hampir tiap saat macet-terutama pada jam kerja atau sekolah. Berbagai jalan alternatif sudah dibangun, namun penyakit kota besar ini tak terpecahkan.

Mungkin ada yang tidak yakin bila kota kecil seperti Banda Aceh bisa macet. Namun, kenyataannya demikian. Pertumbuhan kenderaan baru dan migrasi kenderaan bekas dari luar daerah ke Aceh membuat  waktu tempuh satu tempat ke tempat lain tak secepat kondisi tahun 1990-an.

Masa emas kejayaan angkutan publik secara perlahan mulai redup seiring makin gencarnya produksi kenderaan bermotor terutama roda dua. Pasca era 1990-an Robur,  Djawatan Angkutan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) secara silih berganti melayani tugas mengangkut warga terutama mahasiswa ke kampus Darussalam.

Kahadiran DAMRI semakin meringankan “beban” Robur yang relatif tak sempat istirahat. Lalulintas Diponegoro hingga ke Kopelma Darussalam menjadi jalur favorit melayani kebutuhan masyarakat ibukota Daerah Istimewa Aceh saat itu. Robur dan DAMRI menjadi alternatif angkutan umum selain labi-labi- sebutan angkutan kota sejenis miklolet yang dianggap ongkosnya relatif mahal.

Revolusi industri otomotif  nyaris memberangus angkutan publik. Intensitas kerja masyarakat di ibukota Serambi Mekkah makin mengurangi tingkat kebutuhan terhadap angkutan publik. Jadwal yang jelas dan waktu efektif menjadi alasan masyarakat mengalihkan perhatian dari menggunakan angkutan umum ke angkutan private (pribadi).

Euphoria angkutan publik khususnya Robur tergerus masa. Tinggal DAMRI sendiri yang masih setia menjalankan misi kemanusiaannya.  Akhir keemasan benar-benar berakhir saat tsunami menerjang beberapa kawasan di Aceh. Banda Aceh satu dari tiga daerah terparah diterjang bencana dahsyat ke-21 ini.

Lama vakum kehadiran angkutan publik. Mei tahun 2016, Pemerintan Aceh melalui Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika (Dishubkomintel) meluncurkan Trans Koetaradja-bus angkutan kota berbasis teknologi informasi.

Trans Koetaradja disingkat Trans K ini merupakan bantuan Kementerian Perhubungan RI. Trans K yang dirancang layaknya bus angkutan kota berpendingan udara untuk tahap pertama melayani rute Terminal Keudah-Masjid Kampus atau Lapangan Tugu Darussalam.

Masih terbatasnya rute bus gratis menyebabkan belum banyak fasilitas ini dimanfaatkan warga-bahkan mahasiswa. Trik menggratiskan ongkos belum mampu menyedot perhatian masyarakat. Padahal, bus berkapasitas 70 penumpang bisa menjadi alternatif di tengah serbuan kemacetan jalur Pasar Aceh menuju Kopelma saat jam sibuk.

Namun, bagi mereka yang tidak terlalu sibuk dengan rutinitas-kehadiran TransK menghidupkan kembali nostalgia mereka dengan Robur. Sayang, munculnya  TransK tak sefenomenal dengan kiprah Robur yang sudah melahirkan para guru besar-pemimpin bangsa. Teriakan Apung, Kramat, Lorong Mangga, Simpang Galon hanya tinggal kenangan seriring punahnya jasa Robur di keabadian. Terimakasih Robur dan segenap krunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun