Mohon tunggu...
Agam Rafsanjani
Agam Rafsanjani Mohon Tunggu... -

saya tampan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Nolan Bikin Penasaran

27 April 2015   23:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:37 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120%; }a:link { }

Saya pernah berkata pada seorang teman, “saya tak suka film mikir.” Waktu itu kami tengah menonton film Memento garapan sutradara Christopher Nolan. Katanya, film itu bagus. Ya, film itu sukses membuat saya tidur di tengah menonton.

Ketika mengatakan itu tontonan saya masih hanya seputar tiga genre: sedih-sedih, cinta-cinta, keluarga-keluarga. Bagi saya untuk membuat film bagus tak perlu cerita yang rumit-rumit. Hanya perlu mengingat hal-hal yang pernah kita alami, mendramatisirnya, dibuat bahasa-bahasa menarik lalu voila! Jadilah film menyentuh. Favorit saya selamanya Silver Linings Playbook, The Fault in Our Stars, 500: Days Of Summer, P.S. I Love You, Spectacular Now, ya, pokoknya film model begitulah. Rasanya hati ini selalu lapuk setelah menonton. Tapi seperti menagih. Saya ingin terus-terusan sedih. Film bagus tak perlu berdarah-darah sampai mati. Apalagi bunuh-membunuh. Memento sangat 'no' waktu itu.

Dulu Interstellar sedang meledak-ledaknya. Saya benci dalam setiap forum selalu membicarakan film itu. Kawan di teater, sekre, kantin, bahkan sampai ke level kontrakan tak luput dari jangkauannya. Akhirnya kutonton juga. Film bagus, hanya itu komentar saya. Tak tahu apa yang perlu digembor-gemborkan. Saya menonton film itu berakhir pada satu kesimpulan: The Dark Knight jauh lebih bagus.

Sampai setelah nonton Interstellar, saya belum menyelesaikan Inception, Batman Begins, dan Memento sampai selesai. Tapi sesungguhnya saya baru mengenal film-film Nolan pada hari ini. Benar-benar kenal. Setelah saya merampungkan menonton semua garapannya.

Saya tidak mungkin mereview satu persatu. Selain susahnya menulis review, lagipula butuh riset lama mengungkap semua misteri yang ada di film Nolan. Saya hanya mau cerita seputar segi storytelling saja. Saya mengurutkan mundur tahun pembuatan film Nolan dan menontonnya di waktu senggang (yang sangat ini sangat banyak). Inception, The Prestige, Memento, Following. Kesimpulan baru dalam paradigma dunia tontonan saya berubah. Ternyata film mikir bisa bener-bener bikin kita asyik mikir bahkan sampai film itu selesai dan jauh-jauh hari setelahnya. Asyik mikir ternyata asyik.

Nolan berkata tentang rahasia penceritaannya kepada publik, “saya percaya filmmaker juga harus 'berakting' menjadi penulis dan bereksperimen dengan narasi tanpa mengasingkan penonton.” Ini berpengaruh pada ceritanya yang kompleks dan memprovokasi pikiran. Tokohnya selalu orang yang terlihat tenang tapi ternyata jauh di dalam dirinya dia sangat rapuh. Si tokoh utama hampir selalu kehilangan orang yang dicintainya. Dalam Inception, The Prestige, Memento, sang 'jagoan' kehilangan istrinya. Di sisi lain, si penjahat atau peran antagonis selalu keren. Antara si penjahat ini senang/terobsesi jadi jahat, atau, hampir semua filmnya menerangkan, lawan si tokoh utama ternyata orang terdekatnya sendiri.

Nolan terkenal dengan gaya bercerita non-linear. Ini kata kuncinya. Bagaimana melakukannya, itu ada dua pilihan. Pertama, mengurutkan kronologis cerita dari awal sampai akhir lalu mengacaknya menjadi potongan cerita yang sinematik. Ini dilaluinya dalam film panjang pertamanya, Following. Konon dia melakukannya karena terkendala budget. Dia meminta kronologi non-linear untuk menyesuaikan jadwal syuting yang sporadis. Bayangkan, dia hanya mengambil gambar seminggu sekali selama hampir satu tahun.

Cara kedua, dia benar-benar merencanakan membuat skrip yang melompat-lompat. Memento menggunakan pendekatan ini. Memento memang ditulis oleh saudaranya, Jonathan Nolan, berdasarkan cerita pendek yang tak pernah dipublikasikan. Kedua bersaudara ini telah membuat saya sendiri dipaksa menonton dua kali supaya benar-benar bisa mengerti. Memang tak berguna juga. Pada akhirnya Film ini menuntut kita menyimpulkan sendiri-sendiri berdasarkan perspektif kita. Ini yang membuat Memento beda.

Biar bagaimanapun, sangat sulit untuk tidak membandingkan karya Nolan dengan garapan anak bangsa kita. Ingin sekali kenal orang yang bisa membuat cerita seperti Nolan. Kalau ada, kan, bisa minta diajarkan. Saya tidak tahu dan memang pengetahuan saya tidak banyak tentang dunia perfilman Indonesia karena beberapa alasan. Seringnya  menonton karya yang menantang logika komersial. Tapi apapun alasannya, yang jelas film Indonesia itu banyak yang bagus-bagus dan karena bagus-bagus itulah patut ditonton.

Tapi juga ada satu hal yang penah saya dengar dari seorang sutradara sekaligus scriptwriter Indonesia, “Kita belum punya pembuat cerita yang kemampuannya menyaingi atau melebihi penulis luar.”

Ini mungkin pernyataan retoris, tapi tentu dikatakan dengan berbagai alasan penunjang. Satu hal yang nyata dirasakan adalah iklim perfilman yang tidak mendukung untuk itu. Kalau mau membuat film semegah Interstellar, susah sekali mendapatkan budget. Kalau membuat film semembingungkan Memento, pasarnya kurang diminati. Serba salah, bukan?

Kita hanya bisa berdoa. Semoga industri kreatif Indonesia semakin dihargai supaya masyarakat film Indonesia semakin mengerti bahwa menonton film juga  menjadi penting. Setelah itu tinggal menunggu waktu lahirnya storyteller yang bisa bikin penonton penasaran. Nolan asli Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun