Mohon tunggu...
Agam Rafsanjani
Agam Rafsanjani Mohon Tunggu... -

saya tampan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Pulang

22 Desember 2013   11:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Peserta no. 475

***

Aku pulang. Tapi tempat ini seperti bukan rumah lagi kurasa. Ada banyak hal yang membuat suasana rumah menjadi tidak rumah. Memang, sudah dua tahun aku tidak pulang. Perabot rumah sudah pasti ada saja yang berubah. Karpet hijau yang setiap pagi dibersihkan dengan sapu lidi sekarang tidak kulihat. Televisi 21 inci yang setiap pagi menyetel spongebob squarepants kini sudah tidak bernyawa lagi karena powernya rusak. Meja makan yang biasanya dijadikan tempat untuk menaruh makanan kini jadi tempat barang yang sayang kalau dibuang. Aku merasa aneh. Padahal sering kurasakan betapa ingin kutiduri kasur empuk di kamarku. Tidur nyenyak dikerubungi gerahnya malam kalau tidak dibantu baling-baling kipas listrik. Mengisi hari-hari libur dengan menonton dvd bajakan yang kubeli dari toko langganan. Temu kangen mengunjungi rumah kawan-kawan yang kebanyakan sudah bisa mencari uang sendiri. Aku hanya membayangkan asyiknya saja. Setidaknya itulah alasanku pulang. Pulang seharusnya bisa membuat orang utuh. Meskipun di balik itu semua ada hal yang membuatku merasa kurang. Karena biasanya, meskipun selalu sibuk dengan warung nasi uduknya, aku selalu disambut Mamak.

“Alhamdulillah, anak mamak pulang.”

Kata-katanya standar penyambutan ibu kepada anak yang merantau ke kota orang. Namun aku selalu melihat kebanggaan terpancar dari tatapannya. Aku tahu di balik meja jualan itu ia sedang repot membungkusi pesanan. Aku selalu sampai rumah di waktu sarapan karena bus malam dari Jogja, jika tidak mogok, biasanya sampai di Kota Bekasi sebelum matahari muncul. Aku melanjutkan naik angkot menuju rumahku di Tambun dan tiba tepat setelah matahari mulai menyentuh dahi. Biasanya aku selalu menapakkan kaki dengan perasaan sombong. Aku merasa bertambah dewasa setiap kali turun dari angkot. Inilah aku, perantau, kalian semua bukan lelaki kalau belum merasakan susahnya hidup tanpa orang tua kalian. Begitu kataku, tak ada yang mendengar karena aku bicara kepada jalanan yang ramai dilewati angkot yang mengantar anak-anak berangkat sekolah.

Tapi semua kesombongan seketika ditelan kesepian waktu melewati pintu rumah. Aku lupa di tengah jalan menuju rumah aku menyapa tetangga dengan senyuman terbaikku. Rasa percaya diri karena tadi sudah kusalami bapak-bapak rumah depan dengan jabat tangan paling tegas, lenyap. Lupakan suara balita yang tadi merayakan kegembiraan absurd karena ibu yang menyuapinya kenal aku. Aku duduk termangu di ruang tengah. Tak ada yang menyambut. Yang terdengar hanya suara sepi. Sepi itu termasuk suara. Karena kalau bukan suara, kenapa dia bisa membuat emosi seseorang berubah seketika?

Tiga tahun lalu, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk tidak pulang lagi sampai aku lulus, Mamak menelponku dengan suara bergetar.

“Apa kabar, nak?”

“Sehat, Mak.”

Lalu terdengar suara batuk di seberang sana. Cukup lama sampai membuat aku bertanya.

“Mamak kenapa?”

Nggak tahu nih.”

“Berobatlah.”

“Sudah.”

Memang, sudah dua bulan terakhir Mamak batuk begitu. Setiap telepon selalu batuk tanpa dahak. Tapi setiap kali menelepon suaranya tetap terdengar bugar dan menyenangkan seperti biasanya. Namun agaknya kali ini berbeda karena setelah berkata ‘sudah’, tanpa melanjutkan penjelasannya, dia langsung diam dan menghembuskan nafas panjang. Aku tak berani bertanya kenapa, sudah berarti ada sesuatu yang tidak beres.

“Mamak tadi pagi jatuh di kamar mandi”

Mamak terisak. Suaranya terdengar seperti menahan diri agar tidak menangis. Namun ia tak sanggup, kata-kata yang diucapkannya sangat terbata. Aku tak menjawab. Lidahku kelu begitu saja.

“Pulanglah, nak. Temani Mamak. Tapi kalau kuliahmu masih padat tidak apa-apa. Uangmu masih ada, kan?”

Mamak mencoba menyampaikan dua kalimat terakhirnya dengan nada menyenangkan, seperti biasanya. Aku tahu perkara besar sedang terjadi. Mamak tak pernah memintaku pulang karena ia tahu aku selalu merindukannya dan bisa pulang kapan saja. Setelah itu di kepalaku yang kupikirkan hanya pulang. Aku lebih baik menerima Mamak sakit dengan mataku sendiri ketimbang menebak-nebak apa yang membuatnya sakit.

Mamak memang sakit. Untungnya, Bapak segera mengambil cuti, turun dari pekerjaannya sebagai pelaut untuk merawat Mamak. Ia tahu lebih banyak daripada yang kutahu tentang Mamak. Kata Bapak, Mamak stres memikirkan kelakuan adikku. Aku tak tahu jelas apa yang dilakukan adikku. Sudah lama aku tidak tinggal bersamanya. Hal buruk yang kuketahui tentangnya, dia merokok dan sering pulang malam. Dulu, waktu aku masih seusianya, aku juga sering pulang malam. Aku sering dimarahi karena itu. Tapi aku tidak pernah merokok. Mungkin ibuku sangat membenci perokok, aku juga tidak tahu. Justru seingatku Bapak dulu merokok meskipun sudah bertahun lalu berhenti.

Aku tak percaya itu stres biasa. Mungkin benar stres bisa membuat orang loyo dan kehilangan berat badan. Namun apakah stres juga membuat orang keluar masuk rumah sakit tiga kali tanpa ada tanda-tanda kesembuhan?

“Mamakmu sakit. Sangat sakit. Sakit sekali. Kita harus menjaganya terus.”

Demikian kata Bapak waktu aku baru sampai rumah. Aku tak diberitahu nama penyakitnya langsung dari mulut Bapak. Aku mengerti ia tak mungkin mengatakannya karena aku takkan sanggup menerima kenyataan. Atau barangkali Bapak sendiri yang tak sanggup menyesali dirinya kalau mengatakan nama penyakit yang membuat belahan jiwanya menderita. Tiga kali ia menyebut kata sakit. Pasti lebih parah dari yang kutebak. Aku penasaran tentang penyakit ini. Bapak hanya bilang ada benjolan di otaknya. Aku menangkap bahwa itu tumor atau lebih parah lagi, kanker.

Kucari lewat internet. Apa penyebabnya, macam-macamnya, bagaimana penularannya, seberapa bahaya, apa obatnya, dan apa yang harus kulakukan. Aku tahu penyakit ini punya tingkatan yang dinamai stadium. Semakin parah kondisinya, semakin tinggi stadiumnya. Namun aku tak pernah berani bertanya kepada Bapak sudah stadium berapakah Mamak. Kudengar dari tetangga-tetangga yang bertanya kepada Bapak ketika mereka menjenguk Mamak. Stadium empat. Aku tak sengaja saja sedang berada disana waktu Bapak mengatakannya. Tubuhku seketika lemas. Kurang ajar benar, aku dibuat tak kuat berdiri tegak. Aku hanya ingat satu kalimat terakhir deskripsi kanker stadium empat. Sesuatu tentang Mukjizat.

Sampai kepulangan-kepulanganku berikutnya, karena aku harus tetap kuliah, disamping Mamak yang juga rutin masuk-keluar rumah sakit, kondisinya justru semakin memburuk. Terakhir bulan ramadhan tiga tahun lalu. Badannya habis, hanya terlihat tulang yang terbungkus kulit. Rambutnya yang sebagian memutih terurai berantakan. Kucium tangannya yang tak berdaya. Kusibak rambut yang menutupi matanya agar ia bisa melihatku. Tampak jelas dari matanya ia sedang berpikir keras. Mengingat siapa gerangan yang tiba-tiba muncul di depannya. Namun penyakit itu telah menggerogoti beberapa memori di otaknya. Ia hanya menyunggingkan senyum seperti melihat orang asing, lalu mengubah posisi badan agar tak melihat wajahku. Pilu sekali rasanya.

Lebaran berlalu tanpa banyak cerita dan jalan-jalan. Biasanya setelah salat ied kami memutari kompleks. Namun kini aku, kedua adikku, dan Bapak, dengan pakaian baru, hanya dirumah. Menunggu siapapun yang mau datang silaturahmi. Tapi aku sedikit terhibur karena terkadang Mamak ingat siapa yang disalaminya dan menampakkan senyum yang bukan untuk orang asing. Agaknya lebaran ini memberikan sesuatu bernama mukjizat yang dulu kubaca bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Termasuk penyakit Mamak. Aku semakin yakin karena tiba-tiba Mamak memanggilku untuk mendekat. Ada sebagian ingatan tentangku yang masih baik dalam dirinya.

“Mas Agam. Tolong belikan kue-kue di pasar. Apa saja. Duitnya minta Bapak, ya. Besok lebaran tapi Mamak sedang tidak bisa membuat kue.”

Mamak mengatakannya dengan ekspresi begitu lugunya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum getir. Bergegas menuju kamar. Aku segera menyalakan televisi kamar untuk mengalihkan semuayang dikatakan Mamak. Memorinya yang tergerus penyakit tidak menyadari hari ini orang-orang yang menyalaminya sebagai pertanda lebaran. Ia hanya tersenyum menanggapi salam tetangga meskipun orang yang menyalami terharu biru, terkadang sampai memeluknya. Mamak, dengan fisik dan batin yang mungkin sudah tercerai, masih memiliki keinginan untuk berbagi. Di dalam kamar, terdengar suara Bapak setengah berbisik, menjelaskan pada Mamak, hari ini lebaran dan kami sudah menyiapkan banyak kue di meja. Seketika kamar gerah itu itu terasa dingin. Aku ingin selimutan.

Untuk kesekian kalinya, Mamak dirujuk ke rumah sakit. Aku sengaja menunda kepulanganku lewat dari libur lebaran yang ditentukan. Bukan karena ingin menyaksikan Mamak tidak berdaya dengan mataku. Aku ingin membuktikan sendiri bagaimana sebuah mukjizat kembali bekerja. Meskipun aku tidak tahu pasti akan terjadi. Aku hanya percaya dan terus berdoa meminta keajaiban. Sebab lebaran kemarin tanpa banyak berdoa saja sudah bisa membawa sedikit mukjizat. Maka dengan kemauan dan keyakinan lebih tinggi dari kemarin, aku terus menengadahkan tangan kepada Tuhan. Meminta semua yang baik-baik untuk Mamak.

Beberapa hari di rumah sakit Mamak terlihat lebih segar. Mungkin karena cairan infus dan obatnya cocok dengan badan Mamak. Tapi aku lebih percaya ini semua karena doa yang terus kami panjatkan. Aku tak peduli kabar yang entah dari siapa kudengar bahwa obat dan perawatan ini hanya sementara. Katanya, kondisi Mamak yang terlihat segar bisa jadi menurun suatu saat jika dibawa pulang. Begitulah penyakit kanker bekerja. Namun aku tak menghiraukan kata-kata itu. Aku selalu percaya keajaiban itu ada. Karena aku juga sadar, hanya keajaiban yangbisa membuat Mamak sembuh.

“Mas Agam. Ke pasar, yuk. Mamak ingin masak sop kaki kambing buat Si Mbah. Kasihan Mbah sendirian di rumah.”

Siang itu mamak berusaha bangun dan beranjak dari ranjang. Aku dan Bapak terkejut, segera merangkul Mamak dan membantunya duduk. Lama ia merenung, memandang keluar jendela, menitikkan air mata.

“Mamak selalu ingat pesan Mbah. Kalau tangan kanan memberi, tangan kiri tidak boleh tahu. Kamu harus selalu ingat juga, Mas.”

Tak kuduga, itulah pesan terakhirnya untukku. Malamnya ia tak sadarkan diri. Dua minggu. Operasi memakan biaya sangat mahal. Dan kemungkinan besar justru gagal. Dua minggu tak sadarkan diri, Bapak bersama keluarga dan sanak saudara memutuskan membawa Mamak pulang. Lebih baik mengistirahatkan Mamak di rumah dengan tenang daripada bergantung pada alat-alat rumah sakit yang semakin hari justru menyiksanya. Aku benci ketika Bapak mengatakan padaku rencananya itu.

Kutengok lagi Mamak di dalam ruang ICU. Aku tak tahu apakah ia merasakan kehadiranku. Namun karena Bapak yang menyuruhku untuk menyemangati Mamak, aku percaya. Aku sedikit takut dengan selang-selang dan kabel-kabel yang membuat jantung Mamak tetap terpompa. Aku yakin pastilah ia menderita. Namun aku lebih yakin ia tak bisa berbuat banyak dengan keadaannya sekarang. Aku memandanginya lagi dan membisikkan betapa aku menyayanginya. Tepat disana air mataku jatuh di pipinya. Kelopak matanya tak terbuka namun berkedutan. Setitik air jatuh di sudutnya, kemudian jatuh bersama dengan air mata yang barusan dariku. Aku mengusap keduanya.

Di ruang ini kubayangkan betapa menjadi Mamak sangat berat. Inikah yang bisa diberikan seorang anak kepada ibunya? Dulu, ketika adikku dipastikan tidak memiliki harapan karena demam berdarah, Mamaklah seorang yang selalu menemani adikku berminggu-minggu di rumah sakit. Mengganti pakaiannya, membuang air kencingnya, mengelap badannya, menyuapinya, menenangkannya ketika meraung kesakitan. Sekarang ketika ia tak berdaya, hanya sampai sinikah batas kemampuan kita? Aku mengagumi kuasa Tuhan yang bisa menciptakan makhluk kuat bernama ‘ibu’ yang bisa menciptakan keajaiban. Tapi kemudian aku menyesali kenapa Tuhan memberikan manusia bejat lain dengan banyak pilihan, tapi untuk makhluk semulia Mamak hanya diberi satu pilihan.

Dua tahun setelah Mamak pergi, aku masih tak mengerti pesan Mamak itu. Apalah itu maksudnya bila tangan kanan memberi maka tangan kiri tidak boleh tahu. Butuh waktu lama sampai akhirnya aku menemukan maknanya dalam sebuah buku cerita.

Kuhela nafas panjang dan mengakhiri kenangan tentang Mamak yang tiada akan pernah habis. Kubuka kulkas, kuraih minuman dingin dalam botol yang tinggal setengah terisi. Semenjak Mamak tiada, kehidupan berjalan dengan sepi. Bapak kembali berlayar. Kedua adikku disekolahkan di pesantren. Rumah ini ditempati sepupu jauhku yang sudah berkeluarga. Sekarang mereka sedang pulang kampung ke Pekalongan. Aku mengambil buku yang kubawa dari Jogja. Kubaca lembaran demi lembaran sambil merebahkan diri di atas sofa panjang. Baru satu paragraf kubaca, aku merasakan rumah. Setidaknya ini memang suasana yang berbeda dengan Jogja yang selalu dibuai dengan kesibukan kampus. Aku tidak perlu terburu-buru berangkat ke kampus karena ada kuliah atau janji dengan dosen. Tak perlu juga mondar-mandir minta tanda tangan untuk keperluan akademis lainnya. Aku merdeka tanpa ada yang mengganggu.

Aku mendengar suara salam dari luar pagar. Dari suaranya yang ringkih, aku kenal siapa dia. Aku lihat pintu pagar juga sedikit terbuka. Rupanya sepagi ini sudah diberi ruang untuk memperoleh pahala. Segera kuambil beberapa lembar uang tanpa kuhitung berapa banyaknya. Aku melangkah menuju pagar dan menjulurkan tangan tanpa melihat wajah yang menerimanya. Lantas tanpa perlu mendengar ucapan terima kasih darinya aku langsung berlari masuk ke rumah.

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun