Mohon tunggu...
Afzar Harianja
Afzar Harianja Mohon Tunggu... Lainnya - Bhumi

Bumi Pertiwi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sabda Pencerahan

16 Juni 2015   20:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   05:58 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BEDAH BUKU:

SABDA PENCERAHAN
“Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern”
(Anand Krishna, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 1998)
www.anandkrishnacooperation.org

Terus-terang, buku ini sangat menarik untuk dibahas dan diperdebatkan karena penulisnya bukanlah seorang penganut agama Kristen Protestan atau Katolik sehingga terkesan agak “sok” tahu dan aneh. Tetapi juga agak mengejutkan karena sang penulis begitu berani menawarkan upaya pemahaman-pemaknaan kembali terhadap beberapa Sabda Yesus. Meskipun saya bukanlah seorang umat Kristiani yang taat dan menguasai Alkitab tetapi saya tahu bahwa ulasan penulis bisa menjadi ancaman atau mungkin sebuah harapan.

Sejak kecil saya sudah dikenalkan dengan ajaran Yesus. Kisah penuh mukjizat ketika Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 potong roti dan 2 ekor ikan. Sungguh, menunjukkan “sifat” seorang Juru Selamat, sehingga Kisah Khotbah Yesus Diatas Bukit yang minus adegan mukjijat itu tidaklah begitu menarik bagi saya. Penuh mukjijat, murah berkat dan rela mati di kayu salib untuk menebus dosa, begitulah pemahaman saya tentang Yesus Kristus.

Anand Krishna, yang belum “selamat” ini, mencoba memberi pemahaman yang lain tentang Yesus lewat buku ini. Bisa saja penulis sangat subjektif sehingga pembaca bisa menolak tafsirannya. Tetapi menutup diri dengan main hakim-doktrin sendiri tidak pada tempatnya lagi untuk saat ini. Menurut saya, ajaran Yesus Kristus harus dilihat dari segala sisi mata, hati, pemikiran dan zaman. Salah-benar, suka-tidak suka adalah keniscayaan, yang penting pemahaman kita semakin kaya dan membuat kita semakin bijaksana.

 

BAB I
MENDAKI BUKIT KESADARAN

Bukit kesadaran memang harus didaki. Tingginya kesadaran harus diusahakan dan dipertahankan. Kesadaran tidak bisa diraih lewat paksaan-intimidasi, rayuan-pahala atau kewajiban buta semata. Kesadaran lahir dari diri sendiri secara sadar. Saya masih ingat ketika memutuskan untuk berhenti merokok. Usaha yang tidak mudah. Dibutuhkan usaha untuk membangun kesadaran untuk berhenti merokok. Kesadaran tidak dapat lahir dari perhitungan untung-rugi atau baik buruk. Tapi karena kita memutuskan untuk sadar sendiri. Hal ini penting. Perlu dilakukan diskusi dengan diri sendiri atau self talk yang intens dan jujur ketika ingin merubah sebuah kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam diri kita. Waktu itu saya proklamasikan bahwa saya setuju dengan diri sendiri untuk berhenti merokok karena saya ingin berhenti merokok. Begitu kesadaran itu ada maka harus dirawat karena munculnya kesadaran tidak serta merta membuat saya langsung berhenti merokok.

Godaan untuk merokok tetap ada tetapi kesadaran berubah menjadi “penjaga gerbang” (meminjam istilah Ajahn Brahm dalam Superpower Mindfullness. Ehipassiko Foundation. 2008) untuk mengingatkan kita akan tujuan yang kita putuskan. Pada awalnya butuh usaha tetapi jika kita menjaga kepercayaan terhadap kesadaran yang kita bangun maka kesadaran akan tumbuh semakin kuat. Keinginan untuk merokok bisa saja muncul tetapi kesadaran yang kuat membuat kita mampu mengabaikannya begitu saja. Kesadaran membuat kendali ada di tangan kita bukan pada keinginan.

Apakah kesadaran yang kuat bisa terjun bebas ? Bisa !, ketika kita menghianati kesadaran yang kita bangun sendiri secara sadar. Menghianati diri sendiri sungguh berbahaya. “Keinginan” akan mencemooh kita ketika akan membangunkan kesadaran yang terjatuh itu. Disamping itu, meminta kepercayaan dari kesadaran yang telah dihianati tidaklah mudah. Butuh usaha yang lebih keras lagi dari usaha pertama. Kedengarannya aneh bukan?. Saya pernah mengalaminya sendiri. Menghianati kesadaran dengan alasan apapun tidak dapat diterima. Waktu itu saya stres berat karena orangtua saya sakit sehingga saya memaksa untuk merokok kembali. Kesadaran untuk berhenti merokok telah menghimbau saya tetapi tidak mengindahkannya.

Akibatnya, kesadaran saya diam dan mogok untuk berfungsi sebagai “penjaga gerbang”. Ketika saya ingin berhenti merokok usaha itu sia-sia. Jalan terakhir adalah komunikasi dengan kesadaran yang terjerembab itu dengan selembut-lembutnya, dan sebaik-baiknya. Kita tidak bisa pura-pura. Kita tidak sedang berhdapan dengan orang lain, pacar atau anak kecil yang bisa ditipu. Tapi kita berhadapan dengan diri kita sendiri. Masih kedengaran aneh ?. Ternyata banyak lapisan kepribadian dalam diri kita. ( Adi W Gunawan, The Miracle of Mindbody Medicine, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012 dan Anand Krishna, Neospiritual Hypnoteraphy : seni pemusatan diri untuk bebas dari pengaruh hypnosis massal. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama)

Intinya, kesadaran tidak bisa diberikan seperti hadiah atau berkah. Pun Kesadaran tidak bisa ditipu karena kesadaran adalah diri kita sendiri. Kesadaran seperti orang dewasa yang bertanggung jawab penuh pada setiap tindakan yang dilakukannya bukan lagi anak kecil yang bisa di-iming-imingi hadiah atau ditakut-takuti agar mau melakukan apa yang kita inginkan. Ketika kesadaran kita bertemu dengan sosok Yesus Kristus, kesadaran seperti apakah yang kita bangun?

Anand Krishna berpendapat, “ Untuk mecintai Yesus, saya tidak perlu menjadi anggota resmi salah satu gereja. Apakah saya perlu suatu lembaga untuk mengekpresikan cinta saya terhadap Yesus?”. Terdengar agak ‘tidak sopan’ bagi lembaga agama. Tetapi ucapannya masuk ‘cinta’ juga. Seperti cinta Yesus yang tanpa syarat, tanpa embel-embel bagi dunia. Yesus adalah milik dunia. Kasihnya terlalu luas untuk ditampung oleh lembaga agama buatan manusia yang sempit dan sesak. Kasih itu seperti udara. Sumber kehidupan, sangat berharga tetapi gratis dan terdapat dimana-mana. Namun kita tidak dapat menyimpannya untuk diri kita sendiri. Kita tidak dapat menghirup udara lalu menahannya untuk menyimpannya dalam paru-paru kita. Udara yang kita hirup itu harus dikeluarkan kembali kalau kita tidak mau mati. Demikian juga Yesus, Dia tidak bisa dimiliki dan disimpan oleh sekelompok orang atau lembaga yang mengaku mencintaiNya. Seperti Udara, Dia ada dimana-mana dan milik semua orang, dunia.

Bukan berarti umat Kristen tidak perlu beragama formal lagi. Lembaga formal tetap dibutuhkan tetapi jangan sampai membatasi devosi kita terhadap Yesus. Ibadah bersama dalam setiap agama memang penting untuk saling menguatkan tetapi hal itu tidak lantas dapat kita gunakan untuk mengukur keimanan seseorang melalui kerajinannya beribadah. Keimanan tidak ada korelasinya dengan ibadah yang rajin nan khidmat. Kita tidak perlu memungkiri hal ini. Jadi kita tidak perlu rajin beribadah lagi?. Tidak juga, Kalau bisa ya harus rajin beribadah. Yang penting, harus muncul kesadaran bahwa semua itu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dalam diri kita. Kesadaran untuk mengekspresikan kasih dalam hidup sehari-hari. Karena kasih itu universal. Dia tidak dibatasi oleh batasan keyakinan, ras atau wilayah. Bukankah begitu kasih yang diajarkan Yesus?.

Hal ini mengingatkan saya akan kisah perumpaan Yesus tentang orang Samaria yang menolong orang yang kena rampok di tengah jalan. Sementara itu, sebelumnya, seorang Imam dan Lewi yang kebetulan lewat dan nota bene adalah hamba Tuhan terpilih dari umat pilihan Tuhan, melewati korban tersebut begitu saja. Tetapi malah orang samaria yang dikenal tidak “beragama”, yang menolong korban tersebut. Dan yang jelas, orang Samaria tersebut tidak mengenal Yesus. Apalagi beragama Kristen/Katolik !!!. Dan yang paling penting, yang membuat perumpamaan itu adalah Yesus sendiri !!!. Perumpamaan tersebut hanya untuk menjelaskan pertanyaaan jebakan para ahli kitab tentang “siapa sesamaku manusia”.

Seharusnya perumpamaan tersebut dapat membuka mata hati kita bahwa kasih yang diajarkan Yesus begitu luas. Melewati batasan kepercayaan, bangsa atau segala konsep yang membedakan dan memisahkan sesama manusia dan ciptaan. Sehingga kita tidak tergoda untuk posesif terhadap Yesus dan melarangnya untuk mengasihi dan dikasihi oleh umat diluar agama Kristen atau Katolik, kecuali harus konversi atau pindah agama terlebih dahulu. Dulu pilih-pilih kasih dan pandang-pandang bulu, tetapi sekarang aku mengasihimu, siapapun kamu, seperti aku mengasihi diriku sendiri.

“Saya mencintai Yesus bukan untuk mengharapkan keselamatan. Kalau saya mengharapkan sesuatu dari Yesus sebagai balasan cinta saya, apakah itu dapat disebut cinta?. Bukankah hubungan demikian lebih mirip hubungan dagang?”. Waduh…kalau yang tadi agak “kurang sopan” tetapi kalau yang ini sih kebablasan ya?! Atau justru pemahaman saya yang harus ambles, jatuh, dan bertumbuh lagi?.

Sepanjang yang saya tahu, saya yakini sejak saya masuk sekolah minggu, bahwa saya mencintai Yesus karena saya diselamatkan olehNya dari dosa-dosa saya lewat pengorbanan darahNya dan kematianNya di kayu salib Golgota. Pengorbanan mahal yang menyucikan hidup saya sehingga saya layak menjadi anakNya. Dan keselamatan maupun upah anak Tuhan hanya dapat saya terima jika saya menerima Yesus sebagai Juru Selamat yang ditunjukkan dengan status saya beragama Kristen. Demikian yang saya alami dan yakini selama ini.

Ungkapan penulis diatas, menarik untuk dipertimbangkan. Ketika pertama kali membaca kalimat tersebut, ego saya tersentil. Marah dan tersinggung. Bagaimana tidak? Karena selama ini saya meyakini bahwa dengan menerima dan mencintai Yesus sebagai Juru Selamat maka Gusti Yesus Kristus akan memberkahi hidup saya dengan pengampunan dosa, keselamatan, kesembuhan, mukjijat, kekayaan maupun kesuksesan dalam segala hal. Saya rasa, keyakinan demikian adalah wajar. Bahkan, kebanyakan orang yang saya kenal, mulai orang biasa-berkuasa, kaum awam-pemuka agama, orang-agama darimanapun meyakini pemikiran tersebut.
Cinta “balas budi”, cinta “take and

give”, cinta karena hadiah surga dan ancaman neraka. Cinta karena ada “maunya” atau cinta yang bersyarat. Inilah cinta yang saya berikan kepada Tuhan selama ini tanpa saya sadari. Dan penulis mengatakan bahwa hubungan cinta demikian bukanlah cinta tetapi hubungan dagang semata. Butuh waktu lama bagi saya untuk mencerna pernyataan penulis tersebut. Dan ketika memahaminya dengan kepala dingin maka saya mulai menyadari bahwa akar perselisihan yang terjadi pada inter dan antar agama disebabkan oleh cinta yang dangkal tersebut.

Jika kita harus “dipaksa” untuk mencinta- menerima Yesus, Muhammad, Buddha, Krishna, Allah maupun Tuhan dengan hadiah surga-keselamatan dan ancaman neraka-kutukan, maka cinta yang dangkal memang akan memberikan pemahaman yang dangkal juga. Persaingan akan segera terlihat. Sehingga muncullah pemahaman-doktrin bahwa ajaran Yesus yang lebih benar-besar dari ajaran Muhammad atau Nabi lainnya, atau ajaran Yesus dalam gereja sayalah yang paling benar dibanding gereja lainnya. Bukankah ini akar dari fanatisme sempit di negara kita yang beragam ini?

Oleh karena itu, cinta terhadap Sang Kristus karena motif dagang atau untung-rugi bukanlah cinta sejati. cinta yang dangkal tersebut harus berubah menjadi cinta tak bersyarat, KASIH. Teladan hidup Yesus sungguh jelas dan praktis. Seluruh hidupNya mencerminkan arti cinta sejati, arti Kasih. Yesus tidak membedakan antara orang Samaria atau Yahudi, bersunat atau tidak, makan halal atau haram, normal atau cacat, miskin atau kaya. Yesus menempatkan manusia diatas aturan.
Kristus telah memberi landasan Hukum Kasih, “Kasihi sesamamu seperti dirimu sendiri. Dan kasihilah Tuhan Allah dengan segenap akal, budimu”. Gusti Yesus tidak mengucapkan sabda ini untuk orang yang beragama Kristen saja karena waktu itu belum ada agama Kristen sehingga makna mengasihi sesama seperti diri sendiri menjadi sangat luas. Kasihilah sesamamu,siapapun dia, seperti dirimu sendiri. Sesama kita tidak melulu hanya manusia saja tetapi bisa saja tumbuhan, hewan dan alam di sekitar yang telah menjadi saluran berkat kehidupan bagi kita.

Hidup Gusti Yesus adalah wujud nyata Kasih, dan mempertaruhkan segalanya, bahkan nyawaNya sendiri demi tegaknya ajaran Kasih. Sejatinyalah kita tidak hanya mengikuti cara hidup Yesus apalagi hanya melafalkan ke-Ilahian Yesus lewat ibadah pada hari tertentu saj, tetapi menjadi anak-anak Allah, menjadi “Yesus” itu sendiri, menjadi terang dan garam bagi dunia. Adakah terang atau garam yang pilih kasih, serta mengharapkan sesuatu atau balasan atas segala pemberiannya ? Tidak !, karena sifat sejati Kasih adalah memberi, memberi dan memberi saja.

Demikian juga hendaknya cinta kita terhadap Yesus Kristus tidak lagi dilandasi cinta murahan. Bukan cinta selamat yang mau untungnya saja. Bukan cinta pengecut yang lari dari tanggungjawab kesalahan dan bersembunyi dibalik belas kasih Tuhan. Angkat salibmu-kukmu sendiri, jangan timpakan ke pundak Gusti Yesus lagi. Salibkan dirimu, egomu, ke-akuan yang merasa paling benar dan paling berharga dimata Tuhan.

Saya setuju dengan penulis yang tidak beragama Kristen ini. Kristus adalah milik dunia, bukan milik lembaga. Kristus adalah semangat Kasih itu sendiri. Menerima Yesus bukanlah dengan menjadi beragama Kristen. Siapapun dia, apapun agama dan budayanya, ketika dia mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri maka Dialah murid Kristus yang sejati. Murid yang tidak mengharapkan apa-apa dari Kristus selain mengasihi dan mengasihi sebatas kemampuannya. Inilah jalan keselamatan, kebenaran dan hidup.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun