Mohon tunggu...
Haftar
Haftar Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Swasta, penikmat logika jernih, visioner

Saya seorang guru yang dilahirkan di pinggir sebuah teluk yang indah yang bernama TAPAKTUAN yang terletak dibibir pantai Samudera Hindia di Kabupaten Aceh Selatan,Aceh. Sejak kecil menekuni dunia seni teater, melukis dan musik. ternyata setelah saya beranjak dewasa hobi tersebut bermanfaat bagi murid-murid. Maka rutinitas saya selain sebagai guru juga berjualan secara kecil-kecilan membantu usaha istri dan melatih anak-anak lomba bercerita, kaligrafi, melukis,pidato dan menyanyi Juga mengembangkan kreativitas seni saya berupa menulis buku, FB dan merangkai bunga dari tempurung kelapa. . Saya juga selama kuliah di IKIP Medan 1990-1996 saya aktif sebagai pengelola penerbitan kampus "Kreatif IKIP Medan" dan diorganisasi HMI Cabang Medan. Menulis opini di SKH WASPADA Medan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Belajar pada Masyarakat Aceh dalam Menghadapi Wabah Covid-19

18 Juli 2020   13:07 Diperbarui: 18 Juli 2020   13:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walaupun beberapa negara di dunia kembali melaksanakan lockdown dalam menghadapi pademi virus corona atau Covid-19 yang kembali meningkat, Tapi bagi sebagian masyarakat Aceh, mungkin mempersepsikan  kondisi tersebut biasa-biasa saja dan bahkan masih  ada yang  tidak percaya dengan pademi Covid-19 yang dapat berakibat pada kematian.

Persepsi tersebut bisa jadi hal yang keliru dari sisi aspek kesehatan. Tapi bisa jadi tidak keliru,  bagi masyarakat Aceh yang mempersepsikan  hal itu biasa-biasa saja. Apalagi memang trend perkembangan peta perseberan Covid-19 dibeberapa daerah di Aceh masih termasuk zona hijau dan kuning.

Padahal angka kematian  yang disebabkan wabah corona di Indonesia setiap hari terus meningkat. Sejak pademi covid-19  yang melanda negera ini sejak bulan Maret 2020 hingga sekarang ini. 

Belum  telihat adanya trend menurun dari  jumlah masyarakat yang positif terkena wabah corona. Hal ini membuat masyarakat menjadi galau antara percaya dan tidak percaya dengan wabah ini. Bagi masyarakat Aceh kebanyakan cenderung tidak percaya dengan adanya bahaya yang mengancam keselamatan jiwa ini.

Ketidakpercayaan atau kegalauan masyarakat Aceh terhadap bahaya pademi Covid-19  dapat dibuktikan dengan beberapa kondisi kehidupan sosial di tengah masyarakat  yang masih berjalan normal. Dimana sejak mewabahnya Copid-19 sampai sekarang ini, beberapa kegiatan yang berbentuk keramaian di tengah masyarakat masih berjalan sebagaimana biasanya. 

Seperti masjid-masjid di Aceh masih dibuka untuk penyelenggaraaan sholat lima waktu. Demikian juga toko, pasar-pasar semuanya masih dibuka hingga larut malam. Masyarakat juga masih tetap melaksanakan pesta atau kenduri, pernikahan dan sunat rasul.

Jadi larangan dan aturan yang dibuat pemerintah dapat dikatakan tidak terlaksana sepenuhnya di tengah masyarakat Aceh. Kecuali di tempat-tempat pemerintahan, seperti perkantoran, rumah sakit maupun lembaga pendidikan.

Demikian pula pesantren-pesantren  yang  menyelenggarakan sekolah terpadu atau boarding school juga  tetap melaksanakan  proses belajar mengajar sebagaimana biasanya memasuki tahun ajaran baru 13 Juli 2020. Tanpa melaksanakan pembelajaran dalam jaringan.

Siswa salah satu pesantren saat diberikan pengarahan menjelang dilaksanakan proses pembelajaran tahun ajaran baru 2020 (Fhoto : Pribadi)
Siswa salah satu pesantren saat diberikan pengarahan menjelang dilaksanakan proses pembelajaran tahun ajaran baru 2020 (Fhoto : Pribadi)
Bahkan masyarakat di beberapa daerah meminta agar dinas pihak pendidikan membuka kembali proses belajar mengajar sebagaimana biasanya. Sebab mereka melihat proses belajar secara Daring (dalam jaringan) tidak efektif. Bahkan anak-anak lalai bermain gadget dengan alasan mengerjakan tugas.

Karena adanya sikap apatis masyarakat bahwa  wabah tersebut biasa-biasa saja, sehingga berbagai larangan dan aturan atau protokol yang dibuat oleh pemerintah kurang diindahkan masyarakat. Bahkan tidak jarang masyarakat melakukan hal–hal yang tergolong nekad dalam kondisi seperti sekarang ini.

Sebagai bukti sebagaimana  berita terakhir  media lokal yang  memberitakan bahwa satu keluarga dari gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, mengambil paksa jenazah ayah mereka  yang meninggal di RSUZA untuk dimakamkan  sendiri secara normal. Padahal pasien, yang berinisial MI (63) itu terkonfirmasi positif Covid-19. (SERAMBI INDONESIA Kamis 16 juni 2020).

Anehnya ada salah seorang remaja yang baru pulang dari Medan menuju ke Aceh Selatan dinyatakan positif Covid-19. Sudah lebih sebulan di karangtina di Tapaktuan, tapi  masih terlihat sehat dan  tidak terlihat bahwa dia positif Covid-19. Walaupun sudah dilakukan swab sebanyak tiga kali.

Padahal berdasarkan informasi yang disampaikan pemerintah di tengah masyarakat bahwa pasien yang suspec Covid-19 akan terlihat apakah positif atau negatif setelah tujuh atau sampai sepuluh hari dikarangtina.

 Sementara remaja ini sudah lebih dua puluh hari tidak terlihat adanya gejala-gejala yang membahayakan keselamatan jiwanya. Walaupun berdasarkan pemantauan pihak rumah sakit remaja ini masih positif. Bahkan ada pasien suspec Covid-19, melarikan diri dari rumah sakit tersebut. Karena dia merasa bahwa ia tidak mengalami gejala suspec Covid-19.

Gejala apa ini?? Apa yang menyebabkan masyarakat Aceh tergolong nekad dan seakan merasa kebal terhadap wabah virus corona?? Sehingga seakan-akan masyarakat tidak lagi percaya dengan akibat yang ditimbulkan oleh wabah corona?? 

Adakah suatu kebiasaan masyarakat yang menyebabkan mereka  merasa kebal terhadap wabah Covid-19?? Sehingga mereka cenderung mempersepsikan bahwa pademi Covid-19 merupakan wabah biasa saja. Atau mungkin juga mereka sudah muak dan frustasi dengan kondisi yang tidak jelas ini. Mengapa hal ini tidak diteliti lebih akurat dan komprehensif ?

Oleh karena belum adanya penelitian yang terkait dengan ketahanan masyarakat Aceh dalam menghadapi pademi Covid-19 ini, mengakibatan timbul berbagai asumsi-asumsi yang cenderung spekulasi di tengah masyarakat. Sehingga berkembang menjadi asumsi-asumsi liar yang tidak jelas tolak ukurnya.

Untuk itu pemerintah  harus melakukan penelitian secara akurat dan komprehensif dalam berbagai aspek terhadap sikap  masyarakat Aceh. Baik dari aspek  management penanganan Covid, aspek kesehatan, drainase, daya tahan tubuh dan karakter masyarakat, pola makan, atau maupun dampak daya sprituil masyarakat.  Maupun berbagai faktor lainnya.

 Sebab  sampai saat ini belum adanya tanda-tanda kapan berakhirnya wabah covid-19. Apalagi tidak ada informasi yang jelas tentang apakah pademi ini dapat diatasi atau tidak. Sebab tidak siapa yang dapat menjelaskannya. Terlebih tidak adanya data yang akurat sampai sejauhmana efektifitas strategi  pemerintah dalam  pencegahan bahaya pademi Covid-19. 

Sehingga semakin lama  menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pihak pemerintah dalam  menangani Covid -19 sangat rendah. Dan jangan heran masyarakat akan mencari jalan sendiri menghadapi masalah ini. Karena tidak percaya lagi dengan siapapun.

Menurut hemat penulis, penelitian ini dapat difokuskan pada kearifan lokal masyarakat Aceh, baik dari aspek daya tahan  sprituil maupun pola makan masyarakat Aceh.

Agar dapat  menjadi bahan pembelajaran bagi semua pihak. Sehingga dengan mengetahui faktor-faktor penyebab yang signifikan terhadap daya tahan masyarakat Aceh  dapat bertahan di tengah gempuran wabah Covid -19  dapat menjadi bahan studi dan sekaligus dapat menjadi model  dalam upaya pencegahan wabah tersebut. 

Menurut hemat penulis yang patut digali lagi diantaranya adalah apakah ada pengaruh  pola makan masyarakat dengan tingkat kekebalan tubuh melawan  virus yang mematikan tersebut.

Sebab ada satu pola makan masyarakat Aceh yang menurut hemat penulis yang berbeda dengan masyarakat lain di tanah air. Dimana dalam pola makan masyarakat Aceh yang telah menjadi tradisi sejak zaman dulu sampai sekarang adalah bahwa  mereka terbiasa dalam setiap menu masakannya tidak terlepas dengan asam sunti. 

Asam sunti ini merupakan bumbu  penyedap masakan yang berasal dari belimbing wulung yang dijemur hingga  kering. Sehingga mereka sangat yakin bahwa dengan mengkonsumsi asam sunti, mereka tidak terlular dengan berbagai penyakit.

Sebab asam sunti  telah dipergunakan masyarakat Aceh sebagai bumbu masakan,sejak masa perang dulu.  Makanya dalam sejarah peperangannya, masyarakat Aceh  dapat bertahan dalam jangka waktu lama di dalam hutan. Karena mereka cukup memakan asam sunti sebagai sambal pengganti lauknya. 

Mudah-mudahan kebiasaan nekad masyarakat Aceh ini dapat menjadi obat penangkal virus corona. Daripada kalung kayu yang belum tentu terbukti khasiatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun