Setelah Perang Diponegoro, tidak banyak perlawanan yang dilakukan. Mungkin karena di masa itu, rakyat disibukan dengan program tanam paksa (cultuurstelsel), yang dipakai Belanda untuk mengisi kembali kas keuangan mereka yang habis-habisan. Di masa-masa ini ada sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh para petani Banten, dipimpin para haji tahun 1888.
Dalam peristiwa yang dikenal dengan nama Geger Cilegon ini, dipicu oleh ketidakpuasan karena faktor ekonomi, budaya dan agama. Awalnya tahun 1882, rakyat Banten ditimpa bencana kelaparan dan penyakit pes binatang ternak. Pemerintah kolonial memerintahkan seluruh hewan ternak di Banten dibunuh termasuk binatang yang tidak kena penyakit, semua tanpa diberi ganti rugi. Kebijakan ini malah menyebabkan berkembangnya wabah penyakit baru di masyarakat. Rakyat bertambah sengsara ketika terjadi bencana meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883 yang memicu terjadinya tsunami yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Parahnya lagi pemerintah kolonial menetapkan aturan pajak baru yang makin merugikan rakyat.
Dipicu atas peristiwa perubuhan Menara mushola atas perintah Asisten Residen yang merasa terganggu dengan bunyi azan, rakyat Banten dipimpin para haji seperti Haji Abdul Karim, Haji Wasyid dan Haji Tubagus Ismail melakukan perlawanan menyerang rumah Asisten Residen dan kantor pemerintah. Sayang, akhirnya perlawanan tersebut dapat ditumpas oleh Hindia Belanda yang segera mengirimkan pasukan dari Batavia.
- Haji Rasul dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah(HAKA), adalah salah seorang dari empat serangkai pembaharu Islam di Minangkabau, bersama dengan Haji Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Thalib Umar dan Syekh Muhammad Jamil Jambek. Mereka ini menjadi pembuka jalan perjuangan dengan metode pendidikan, bukan lagi perlawanan secara fisik. Dari perjuangan Beliau ini lahirlah para tokoh bangsa seperti Zainuddin Labai El-Yunusi, Haji Abbas Datuk Tunaro, H. Yusuf Amrullah, A.R. Sutan Mansyur, Haji Jalaluddin Thalib, Haji Mukhtar Luthfi, Hashim El Husni Adam Balai-Balai, Rahmah El-Yunusiyah, Rasuna Said, dan Hamka, putranya sendiri.
Tahun 1894 di usia 15 tahun, Haji Rasul pergi haji ke Mekkah dan menetap di sana selama 7 tahun. Beliau berguru kepada para ulama di Mekkah termasuk Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Setelah pulang kampung Beliau kembali ke Mekkah tahun 1903 dan baru pulang tahun 1906 dan mulai menyampaikan ilmunya di Surau Jembatan Besi. Beliau kemudian mendirikan Lembaga pendidikan Sumatera Thawalib untuk meningkatkan kualitas Pendidikan. Dalam perjalanannya Sumatera Thawalib menjadi Lembaga Pendidikan yang maju di zamannya. Bahkan Universitas Al-Azhar di Mesir baru membuka program Pendidikan untuk wanita setelah rektor Al-Azhar datang dan menyaksikan langsung program pendidikan di Diniyah Putri, yang dikelola oleh Rahmah El-Yunusiyah lulusan dari Sumatera Thawalib.
Perjuangan HAKA ini diteruskan oleh murid-muridnya. Salah satunya adalah puteranya Hamka. Hamka yang dikenal sebagai ulama yang juga wartawan dan sastrawan ini juga berkiprah menjadi Imam Masjid Al-Azhar, membangun Lembaga Pendidikan Al-Azhar di Jakarta, dan menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H