Implikasi politisasi SARA dalam pemilu sangat beragam. Pertama, politisasi SARA memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam sebuah negara yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya seperti Indonesia, politisasi SARA dapat menciptakan konflik dan memperdalam kesenjangan sosial. Hal ini bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang harus dijaga sebagai salah satu pilar kebangsaan.
Kedua, politisasi SARA dapat mengaburkan substansi masalah yang seharusnya menjadi fokus utama dalam pemilihan umum. Saat SARA menjadi pusat perhatian, agenda pembangunan, kualitas calon pemimpin, dan isu-isu strategis lainnya terpinggirkan. Akibatnya, pemilih menjadi kurang terinformasi dan keputusan politik yang diambil bisa jadi tidak berdasarkan pertimbangan rasional, tetapi semata-mata dipengaruhi oleh identitas kelompok.
Ketiga, politisasi SARA mereduksi partisipasi politik yang sehat dan berkualitas. Ketika pemilu menjadi ajang pertarungan identitas dan kepentingan sempit kelompok, partisipasi politik yang seharusnya didasarkan pada argumentasi dan ideologi cenderung terpinggirkan. Akibatnya, ruang demokrasi menjadi terbatas dan kesempatan bagi calon non-SARA atau kelompok minoritas untuk berpartisipasi secara adil menjadi terhambat.
II. Dampak Negatif Politisasi SARA pada Pemilu 2024
Dalam konteks pemilu 2024, politisasi SARA memiliki potensi dampak yang sangat merugikan. Pertama, politisasi SARA dapat memperburuk polarisasi politik di masyarakat. Kandidat-kandidat cenderung menggunakan isu-isu sensitif SARA untuk memperoleh dukungan dan menciptakan kesan bahwa hanya mereka yang mampu mewakili kelompok tertentu. Hal ini bisa mengakibatkan retorika kebencian dan konflik horizontal antarwarga negara.
Kedua, politisasi SARA dalam pemilu 2024 dapat memperlemah kualitas calon pemimpin. Ketika SARA menjadi faktor penentu utama, kualitas, kompetensi, dan integritas calon tidak lagi menjadi prioritas. Ini berarti kita dapat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang berkualitas dan mampu menjalankan tugas kepemimpinan dengan baik.
Ketiga, politisasi SARA dapat membuka ruang bagi penyebaran hoaks dan berita palsu. Isu-isu SARA kerap menjadi sasaran empuk untuk disebarkan dalam bentuk informasi yang salah atau tidak akurat. Penyebaran berita palsu semacam ini bertujuan untuk mempengaruhi persepsi publik dan merusak iklim demokrasi yang sehat. Masyarakat yang terjebak dalam propaganda politisasi SARA dapat terjerumus dalam kebingungan dan saling mencurigai.
III. Mendorong Pemilihan yang Adil dan Berkeadilan
Agar pemilu 2024 berjalan dengan adil dan berkeadilan, kita perlu menolak politisasi SARA. Langkah-langkah konkret dapat diambil untuk mencapai hal ini. Pertama, partai politik dan calon pemimpin harus berkomitmen untuk mengedepankan masalah substansi dalam kampanye mereka. Mereka harus mempromosikan visi, program, dan solusi konkret yang relevan bagi masyarakat. Politik identitas tidak boleh menjadi fokus utama.
Kedua, diperlukan pendidikan politik yang berkualitas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya politisasi SARA. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui sekolah, media massa, dan kampanye sosial yang menyebarkan pesan pentingnya memilih berdasarkan pertimbangan rasional dan tidak terpengaruh oleh isu-isu SARA.
Ketiga, diperlukan regulasi yang ketat dan penegakan hukum yang tegas terhadap politisasi SARA. Partai politik dan calon pemimpin yang terbukti melakukan politisasi SARA harus diberikan sanksi yang tegas. Hal ini akan menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa politisasi SARA tidak dapat diterima dalam demokrasi yang sehat.