Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Esensi Nontunai

4 Mei 2015   12:35 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:39 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum 2011, Swedia bergelut dengan “uang kembalian majalah”, istilah yang mereka gunakan merujuk kendala transaksi penjual koran-majalah kakilima di jalan-jalan Stockholm, ketika kebanyakan calon pembeli (pengusaha, pekerja kantoran) tidak membawa uang pas bernominal kecil di saku mereka. 

Para penjual koran yang kebanyakan tunawisma ini lalu diberitahu oleh banyak calon pembeli bahwa seandainya mereka punya pembaca kartu, maka bisnis akan lebih baik.

Dan benar, mereka mengikuti saran praktis itu, sehingga pada tahun berikutnya terjadi peningkatan penjualan koran kakilima hingga 56%. Kini, di negara berpenduduk 10 juta jiwa, hampir semua pedagang koran-majalah kakilima di jalan-jalan Stockholm membawa serta pembaca kartu belanja di lapak jualan mereka. 

Komunitas jalanan ini telah menjadi bagian penting dari “masyarakat tanpa uang tunai” Swedia, satu dari lima negara dengan volume transaksi nontunai paling besar di dunia setelah Belgia, Perancis, Kanada, dan Inggris. (The Guardian)

Dalam peta ekonomi global, lima negara tersebut termasuk dalam kelompok “Nontunai Matang”, yang mana nominal transaksi nontunai mereka mendekati angka sempurna dari total perputaran konsumsi dunia sebesar US$ 63 triliun. Sebagai informasi, besaran transaksi nontunai seluruh dunia pada 2013 sudah mencapai US$ 42 triliun, atau 66% dari total konsumsi di atas. (Citibank)

Negara-negara dengan transaksi nontunai dan indeks kesiapan paling unggul, beserta rasionya. (Citibank, Nov. 2014)
Negara-negara dengan transaksi nontunai dan indeks kesiapan paling unggul, beserta rasionya. (Citibank, Nov. 2014)
Tren konsumsi global di mana transaksi nontunai mulai mengalahkan volume konsumsi tunai. (Mastercard, Maret 2015)
Tren konsumsi global di mana transaksi nontunai mulai mengalahkan volume konsumsi tunai. (Mastercard, Maret 2015)

Belgia, misalnya, yang memuncaki klasemen, telah berhasil mengelola 93% dari total konsumsi masyarakat dan pemerintahan mereka dalam bentuk nontunai, begitupula dengan Perancis (93%), Kanada (90%), Inggris (89%), dan Swedia (89%). Menyusul di bawah mereka ada Australia dan Belanda yang mulai maju dengan penetrasi nontunai tiap-tiapnya sebesar 86% dan 85%.

Bagaimana dengan Indonesia?

Volume transaksi nontunai di Indonesia masih 31%, dan karenanya kita masuk kategori “memulai”. Kategori ini sedang mengarahkan pola konsumsi masyarakatnya ke nontunai, dan masih membangun segala hal yang diperlukan untuk memasyarakatkannya. Termasuk pula dalam kelompok ini antara lain Mesir (7%), Kolombia (23%), Afrika Selatan (43%), Malaysia (45%), Rusia (31%), Kenya (27%), Thailand (41%), dan India (32%). 

Sementara Tiongkok, yang baru merangkak sejak 2011, secara mengejutkan merangsek ke papan tengah. Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di Asia ini menuju matang dengan besaran nontunai sebesar 55% dari total volume transaksi pada 2013.

Menurut riset berjudul “The Cashless Journey” yang dikelola perusahaan sistem pembayaran elektronik dunia Mastercard (Oktober 2013), kelompok negara-negara dengan ekonomi sedang tumbuh-tumbuhnya (emerging markets) ini, termasuk Indonesia, pada kenyataannya justru semakin dekat menuju era cashless dalam hal indikator kesiapan dan besaran volume transaksi. Kelompok ini juga melesat paling cepat perkembangan volume transaksi tahunannya (year on year), melebihi rata-rata kelompok negara matang.


Kelompok-kelompok negara menuju Gerakan Nontunai, ditinjau dari kesiapannya. (Mastercard)"]
Kelompok-kelompok negara menuju Gerakan Nontunai, ditinjau dari kesiapannya. (Mastercard)"]

Indikator-indikator kesiapan yang dimaksud termasuk keseriusan pembangunan infrastruktur pembayaran (Jaringan ATM, mesin pembaca, dsb.), penerapan teknologi yang mendukung efisiensi, regulasi oleh pemerintah dan otoritas keuangan, serta sebaran pola-gaya konsumsi masyarakat secara kolektif.

Mastercard terkhusus memuji Indonesia yang paling aktif memadukan teknologi sistem pembayaran dengan mobile banking, semisal pengiriman uang elektronik melalui SMS antar-operator selular (e-money interoperability dan branchless banking) yang diperkenalkan sejak Mei 2013 lalu. Program ini memudahkan pelanggan T-Cash (Telkomsel) berkirim uang elektronik dengan pelanggan XL tunai dan Dompetku (Indosat), di luar skema pembayaran yang lebih dulu ada.

Masih rendah

Dalam dokumen sosialisasi Gerakan Nasional Non-Tunai, Februari 2015, Bank Indonesia mengumumkan konsumsi nasional year-on-year tumbuh sebesar 9% pada triwulan IV 2014, menjadi Rp1.531 triliun. 

Dari besaran pengeluaran itu, nominal transaksi lewat Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK/rrh) adalah sebesar Rp14 triliun, sementara nominal transaksi dengan uang elektronik jauh di bawahnya, yakni hanya Rp10,1 miliar. Pun, angka ini jauh lebih rendah dari pencapaian nominal medio 2013 yang pernah mencapai Rp12,5 miliar.

Padahal, dari segi keakraban menggunakan instrumen pembayaran kartu, masyarakat Indonesia rupanya makin dekat, karena total penggunaan APMK (termasuk kartu ATM-debit dan kartu kredit) terus meningkat dan mencapai angka 105 juta kartu, sementara penggunaan instrumen uang elektronik mulai menjajaki angka 35 juta kartu.

Grafik menunjukkan tren penggunaan instrumen pembayaran kartu masyarakat Indonesia makin tinggi sejak 2013. Meski begitu, penetrasi uang elektronik masih jauh lebih rendah ketimbang alat pembayaran kartu (APMK) lainnya. (Sumber: Dokumen Sosialisasi GNNT, Bank Indonesia)
Grafik menunjukkan tren penggunaan instrumen pembayaran kartu masyarakat Indonesia makin tinggi sejak 2013. Meski begitu, penetrasi uang elektronik masih jauh lebih rendah ketimbang alat pembayaran kartu (APMK) lainnya. (Sumber: Dokumen Sosialisasi GNNT, Bank Indonesia)

Dalam argumen ekonomi BI, meningkatnya jumlah masyarakat kelas tengah (middle class) yang diproyeksi mencapai 130 juta jiwa pada 2020 kini sangat berperan dalam pergeseran ke arah transaksi nontunai ini, di mana penetrasinya sebesar 57% dari PDB total Rp2.690 triliun. Kerjasama publik-privat membangun jaringan telekomunikasi internet juga ikut menyokong penyebarannya. 

Meskipun, dalam fakta lain Indonesia masih tertinggal karena pembayaran barang-barang ritel sebesar 99,4%-nya masih didominasi uang tunai, dan segala upaya peralihan masih terjadi di kota-kota besar, belum merata ke daerah-daerah.

Jadi, dengan pujian global serta deretan angka-angka indikator ekonomi rumahtangga di atas, akankah masyarakat Indonesia semakin meninggalkan transaksi uang tunai, dan beralih ke sistem “uang kartu” sesuai roh Gerakan Nasional Nontunai yang dikampanyekan BI sejak Agustus tahun lalu?

Mengapa GNNT perlu?

Indonesia pada dasarnya mengikuti tren ekonomi dunia yang kini memasuki tahap “produksi kotor”, yakni menderita biaya tinggi sejak pengaturan, pencetakan, peredaran, pengawasan, sampai pemusnahan uang kartal. 

Ini memicu ide bahwa sudah saatnya dunia memasuki tahap green economy atau ekonomi hijau, di mana penghematan fisik-nonfisik jadi dasar tren pembayaran masyarakat yang mendambakan keringkasan dan kenyamanan bertransaksi.

Swedia, sebagaimana disinggung di bagian awal, memulai masyarakat nontunai-nya dari masalah sepele yakni “sulitnya mencari uang kembalian koran” sampai kondisi lingkungan pelayanan publik yang rawan bermasalah. 

Seperti dilaporkan The Guardian, seluruh bus kota di kota Stockholm tidak lagi menerima pembayaran tunai setelah bertahun-tahun lalu terjadi gesekan antara penumpang dan sopir yang kerap mematok tarif secara tidak adil. Masalah-masalah mendasar di skala kehidupan paling kecil seperti itu mereka jadikan landasan kebijakan besar yang akhirnya berbuah sebagai gerakan nasional.

Akan tetapi Swedia punya wilayah yang lebih kecil dengan jumlah penduduk hanya 10 juta jiwa. Indonesia punya wilayah berlipat-lipat kali lebih luas dan jumlah penduduk yang 23 kali lebih banyak. Apakah “masalah sepele” seperti itu juga melandasi gerakan massal di sini?

Tidak, masalah Indonesia begitu kompleks dan masif, dari sistem sampai kehidupan praktis. Setidak-tidaknya BI mencontohkan penyelenggara tol Jasa Marga yang harus menyediakan uang receh sebesar Rp2 miliar setiap hari, hanya untuk kembalian retribusi ribuan kendaraan yang lewat. 

Ada pula antrean pembayaran pajak yang panjang, retribusi listrik-air yang rawan penyelewengan, penganggaran instansi yang digelembungkan, sampai sengkarut parkir dan pungutan liar yang memaksa pemerintah D.K.I. mengeluarkan aturan e-parking dan e-budgeting sejak tahun lalu. 

Upaya mengurangi transaksi tunai mungkin tidak langsung menghabiskan praktik korupsi dan merapikan pelayanan publik, tetapi besaran kemudahan dan keringkasan transaksinya akan terasa dari waktu-ke-waktu, mulai dari pembelian dengan nominal yang pasti pas, pembayaran bus dan kereta listrik, penerimaan hak gaji dan tunjangan asuransi bagi keluarga tidak mampu dan PNS lewat BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja, transfer penyertaan modal bagi koperasi dan BUMDes, sampai pembayaran transparan dengan pencatatan elektronik bahkan untuk transaksi-transaksi harian yang paling kecil. Semuanya membutuhkan tak lebih dari kartu elektrik, saldo rekening atau nonrekening, dan kemauan inovasi.

Sejauh ini juga belum ada suara-suara sumbang dari pakar-pakar ekonomi tentang upaya Bank Indonesia memasyarakatkan Gerakan Nontunai. Artinya, secara matematis GNNT memenuhi logika konsumsi orang Indonesia dengan segala perilakunya seperti tergambar lewat banyak penelitian perilaku pasar. Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia yang juga seorang ekonom-blogger Faisal Basri bahkan dengan santai mengiyakan positifnya masyarakat kita mengikuti jalur ini. “Saya kira itu [GNNT] upaya yang bagus. Layak didukung,” jawabnya melalui surat elektronik yang terkirim Kamis (30/4). 

Tantangan Terbesar

Terlepas dari peluang emas yang bisa mengefisienkan pola konsumsi masyarakat secara nasional, Gerakan Nontunai memiliki dua kelemahan jika harus digalakkan sebagai gerakan nasional menyeluruh. 

Pertama, infrastruktur jaringan nontunai sulit menjangkau desa-desa. Memang, sejak awal GNNT dirancang untuk pemenuhan sistem pembayaran efisien orang-orang di kota-kota, yang berbelanja kecil-kecil namun sering. Akan tetapi, esensi nontunai sebagai gerakan nasional hanya berarti bulat ketika golongan pelaku gerakan ini menyeluruh dari ujung Sumatra hingga Papua, tidak berbatas pada golongan dan kelas sosial tertentu.

Apakah GNNT dirancang justru sebagai sambutan untuk peningkatan urbanisasi, karena makin banyak orang meninggalkan desa dan tinggal di kota-kota?

Badan Pusat Statistik pada 2014 mencatat pertumbuhan kaum urban kita sebesar 4,3 persen per tahun, tertinggi di Asia. Dua tahun lalu saja tercatat sebanyak 54 persen penduduk Indonesia sudah tinggal di kota, ini empat kali lipat sejak periode urbanisasi tahun 1960-an ketika jumlah kaum urban masih berkisar 15 persen. Pakar ekonomi dan tatakota Bank Dunia Taimur Samad pernah memprediksi, jika tren urbanisasi seperti ini berlanjut, pada 2025 mendatang sudah 70 persen penduduk, atau setara 162 juta penduduk Indonesia akan memadati kota.

Meski begitu, dalam berbagai upaya desa harus tetap dipertahankan keberlanjutannya, dibantu “ekonomi perdesaan”-nya. Itulah mengapa Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal tetap berkutat dengan target infrastruktur ekonomi perdesaan yang disebar jauh di luar Jawa, Sumatra, dan Bali, karena faktanya penduduk miskin terbesar memang masih ada di desa-desa (sekitar 17,42 persen). 

GNNT, yang disebut sebagai gerakan menasional, tidak boleh mengabaikan fakta bahwa pembangunan ekonomi perdesaan juga bagian dari lingkup pengawasan pembiayaan serta pola konsumsi nasional kita. Apalagi, berbagai pembiayaan kelompok-kelompok desa kini juga masuk peta BI untuk sasaran nontunai (BUMDes, misalnya).

Tantangan kedua, Bank Indonesia tidak akan berjalan sendirian sebagai otoritas moneter dan penyelenggara gerakan. GNNT memerlukan dukungan antarlembaga dan bahkan kementerian agar nasionalisasi-menyeluruh berjalan lancar tanpa kendala.

Untuk mengembangkan jaringan alat pembayaran nontunai di luar Jawa dan Bali, Bank Indonesia bergantung pada sejauh apa upaya PLN dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan listrik untuk pelayanan merchant di tempat-tempat belanja dan mesin-mesin tempat mengecek saldo. 

Belum lagi, BI perlu memastikan komitmen perusahaan penyedia layanan teleonomukasi untuk menjamin daerah-daerah mana yang masih mengalami kendala jaringan telekomunikasi, seperti kota-kota di Papua, Ambon, dan di daerah Kepulauan. Sudah banyak laporan bahwa di kota-kota pulau, bahkan sekelas Batam dan Kep. Selayar, masih berkutat dengan masalah jaringan pembayaran ATM yang kerap kali mati.

Jika dua tantangan ini diatasi, maka niscaya yang diperlukan BI tinggallah publikasi yang gencar dan efektif, serta sosialisasi dengan bahasa yang paling mudah. Selebihnya masyarakat akan membiasakan diri dan pola konsumsi harian akan berjalan efisien dengan sendirinya.

Lagipula, pada hakikatnya gerakan nontunai hanya berbatas pada pembiasaan masyarakat kita menggunakan uang elektronik, bukan menghilangkan benar uang kertas dan koin (kartal) secara total dari pasar kota dan desa. 

Itulah kenapa istilah Masyarakat Nontunai  sebetulnya lebih cocok diinggriskan menjadi less-cash society  dan bukannya cashless society, sebagaimana diungkapkan Deputi Direktur Bank Indonesia bidang Makroprudensial  Ita Rulina di sela-sela acara Nangkring Kompasiana di Yogyakarta, November silam.

Uang elektronik (e-money) banyak dikampanyekan untuk pembelanjaan lewat layanan mobile, pembayaran, dan aneka merchant ritel. (Foto: @FandiSido)
Uang elektronik (e-money) banyak dikampanyekan untuk pembelanjaan lewat layanan mobile, pembayaran, dan aneka merchant ritel. (Foto: @FandiSido)

Dalam keseharian, masyarakat kita perlu banyak bukti agar percaya bahwa ekonomi nontunai menguntungkan semua pihak. Kalau dulu gerakan Ayo Menabung lalu disusul Ayo ke Bank masih tetap menggunakan peranti suku bunga deposito, saldo minimum, dan bunga kredit sebagai bujuk-rayu, Gerakan Nontunai akan lebih diterima dengan janji-keuntungan yang lebih praktis, tidak neko-neko, dan berlaku menyeluruh, ke manapun masyarakat berbelanja. 

Kita perlu meyakini seperti apa kemudahan ketika berbelanja, menikmati bus kota dan kereta, atau membayar tagihan hanya dengan menempelkan atau menggesekkan kartu tanpa perlu menghitung lembar-lembar uang.

Masyarakat kita sejak dulu begitu percaya dengan uang di depan mata dan di dalam saku mereka karena bekerja dinilai sebagai ibadah dan menghasilkan berkah. Jika masyarakat harus mengubah kebiasaan berbelanjanya dan menjadikan nontunai sebagai gerakan ekonomi, dalam waktu yang sama mereka tidak ingin kegiatan konsumsi menjadi lebih rumit dari sebelumnya. 

Semua harus lebih baik, lebih ringkas dan lebih menjanjikan, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang besar begitu ditopang oleh golongan masyarakat konsumtif yang akrab dengan toko ritel, mesin gesek kartu, mesin parkir, gerbang tol, membeli makanan ringan lebih mahal ketimbang makanan berat, dan tas-tas plastik yang sekali pakai langsung dibuang. Nontunai adalah gerakan efisien, namun efektivitasnya akan teruji waktu dan penerimaan.

Adalah tugas Bank Indonesia dan mitra terkaitnya meyakinkan masyarakat bahwa betapapun kita masih dalam tahap “memulai”, ekonomi konsumsi kita dapat bersaing menjadi lebih produktif dengan gerakan baru yang dinamakan nontunai ini. 

Bahwa ekonomi masyarakat kota kita akan tumbuh sama baiknya dengan ekonomi perdesaan, dan bahwa potensi pertumbuhan dan pemerataan masih sangat besar, dan masyarakat kita siap untuk inovasi apapun selama infrastruktur jaringan terpenuhi. Perilaku ekonomi kita mungkin belum sedewasa orang-orang Swedia dan Tiongkok, tetapi masyarakat kita selalu antusias dengan pembaruan.

Apalagi, pada 2017 nanti Bank Indonesia bertugas memulai proses transisi redenominasi rupiah yang sempat menghebohkan warung-warung makan itu, akan seperti apa hitung-hitungan pembayaran kita kelak. 

Gerakan Nasional Nontunai hanya bagian kecil namun esensial dari hitung-hitungan ini, dan kita sebagai masyarakat dapat mempercayakan semuanya pada otoritas yang tepat dan teruji, selama itu untuk kebaikan ekonomi sehari-hari.

Sebagai bahan pertimbangan praktis, berikut infografis keuntungan dan “kelemahan” transaksi nontunai, juga peluang-peluang transaksi yang dirangkum dari berbagai sumber.

Ilustrasi tabel perbandingan keuntungan transaksi tunai-nontunai. (Grafis: @FandiSido)
Ilustrasi tabel perbandingan keuntungan transaksi tunai-nontunai. (Grafis: @FandiSido)
Grafik peluang transaksi dan jasa yang dapat didukung oleh penggunaan uang elektronik. (Grafis: @FandiSido)
Grafik peluang transaksi dan jasa yang dapat didukung oleh penggunaan uang elektronik. (Grafis: @FandiSido)



Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun