Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cinta Harun

11 April 2015   22:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:14 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428858379888740847

*

BUKAN TANPA ALASAN Harun Asmadi diam tak menjawab. Tapi memang ia tak tahu bagaimana menanggapi pertanyaan itu. “Kenapa bapak di sini?” Terdengar agak janggal di telinganya. Dan meski tengkuknya hangat disapu sinar matahari jam sebelas yang menembus kaca jendela, kepalanya tiba-tiba dingin karena ketiga perempuan muda yang duduk satu meja dengannya itu malah terheran menatapnya, mungkin si penanya merasa telah mengatakan sesuatu dengan cara yang keliru, ataukah memang maksudnya begitu. Maka Harun hanya tersenyum, jawaban paling pas untuk ketidak-mengertian. Jari-jarinya menyeka bulir kondensasi dari dinding gelas kelapa muda di atas meja. Kesegaran es sudah lama berlalu, dan senyumannya tidak banyak membantu.

**

Bulan November kala itu, ketika Harun Asmadi terduduk di depan televisinya tetapi tenggelam pada lamunan yang jauh di luar rumahnya. Ia tak ingin melupakan cintanya sedikitpun pada sang istri, tetapi ia tak ingin berduka terlalu lama atas kepergiannya. Sebagaimana cinta berpesan, kalimat-kalimat mendiang istrinya banyak memberi pesan yang mereka percayai selama ini: jangan berhenti, apapun yang terjadi. Teruslah tersenyum, bagaimanapun hati. Tiga minggu dalam kebingungan yang lara, Harun menerima surat dari Departemen Sosial yang memberinya lowongan bekerja sebagai tenaga pendamping desa. Tapi ia tahu tak ada yang bisa diperbuatnya dengan latar keperawatan perbantuan di Angkatan Darat dan pesangon guru yang tak seberapa. Harun ingin pensiunnya, membersihkan rumahnya dari debu setiap dua hari dan bermain dengan anak-anak tetangga yang dikenalnya. Mungkin berupaya menjauh dari rokok dan daging. Mungkin bermain catur di hari minggu dengan komputer lama di kamarnya, dan membersihkan bingkai-bingkai foto mereka berdua yang beberapa kertanya sudah menguning. Ketenangan akan menyembuhkan dukanya, dan rumah selalu menerima keluh-kesahnya.

Harun bertanya ke beberapa teman, meminta saran dan sebagainya. Kemudian beberapa makelar mengetuk pintunya dan memberi penawaran harga rumah beserta tanahnya. “Anda bisa berkeliling dunia dan membuat buku,” demikian bujuk orang itu. Tetapi Harun tahu cerita petualangan indah tak selalu harus dituliskan. Begitupun tak semua buku dengan akurat menjelaskan indahnya petualangan semacam itu. “Kalau aku punya banyak uang, tentu saja. Ya," balasnya dengan sahaja yang berbatas.  "Tetapi kehidupan tak selalu sebaik itu, bukan? Aku hanya ingin tetap berjalan, tidak menua sampai mati,” Makelar yang tigapuluh tahun lebih muda darinya itu hanya tersenyum, mengangguk pelan sebelum berlalu pergi. Bulan Januari, Harun bertemu calon pembelinya.

Dalam perjalanan hidupnya Harun selalu melihat semuanya dalam gelombang, bukit-bukit. Tidak pernah ada hal yang terlalu datar atau menjemukan. Sejak istrinya memberitahu keinginannya berkeliling dunia dengan dana terbatas, di ulang tahun pertama pernikahan mereka, Harun langsung tahu kalau kehidupan mereka akan penuh petualang. Tapi leukimia datang terlalu cepat dan merenggut cintanya pergi, meninggalkannya dengan setengah keyakinan yang menyakitkan untuk dipanggil lagi. Kapalnya terombang-ambing, berlayar pelan, tapi ia tidak ingin berlabuh terlalu cepat. Karena itu pula pekerjaannya ia nikmati sebagai bagian dari permainan, percobaan, dan perubahan. Roda berputar dan manusia lebih banyak sadar saat ia ada di bawah. Harun merasakan keheningan yang begitu lama setelah istrinya pergi. Semua kenangan yang menenangkan di masa lalu begitu membahagiakan, karena tidak ada cinta selain mereka berdua di bawah atap itu. Anak-anak untuk mereka mungkin tersebar di tanah-tanah di luar sana, meski tidak di dalam relung rahim. Dukungan dalam keheningan yang hangat memuluskan jalan mereka, membangun hidup, dan menua. Harun melihat pekerjaannya adalah menjadikan perjalanan enam dekade hidupnya bermakna. Dan andai Tuhan memberi waktu lebih  untuk Karima, istrinya, pelabuhannya mungkin bisa lebih dekat. Harun sering kali menatap keluar jendela dan didapatinya sepasang merpati di sana. Seolah menghibur bahwa dunia akan selalu mempertemukan jalan bahkan bagi yang bersedih atas kehilangan dan tersenyum mengenang keberadaan.

Saat duduk di kursi Departemen Sosial bulan Oktober itu, Harun disodori dua pilihan: menikmati dana pensiun dengan segala tunjangannya, atau mendaftarkan program pendampingan desa di Nusa Tenggara. Saat akhirnya pilihan itu ia ambil, ia tak langsung menjawab. Mengangguk, begitu saja, kemudian tersenyum kepada supervisor di depannya. Tak lama kemudian, ia jatuh menangis, karena biasanya pilihan-pilihan seperti ini ia tentukan bersama dengan istrinya. Dia yang suka petualang. Tentu saja, ia tidak menangis terlalu lama di depan orang.

Harun berdiri dan menikmati setiap jengkal pandangannya terhadap ruang keluarga di rumah dua lantainya. Ada foto Karima bertopi buru dan tersenyum membelakangi matahari. Ada foto dirinya saat baru saja terjatuh dari kamar mandi, dan foto mereka berdua saat melarikan diri dari acara dansa yang membosankan untuk berkeliling kota dengan becak. Momen panjang yang tak terhindarkan. Harun mengingat semua itu di ruangannya, sampai jatuh tertidur di sofa kesayangan mereka. Keesokan harinya, ia serahkan rumah itu kepada pembelinya, dengan mengatakan, “Semoga kalian tumbuh membangun cinta di bawah atap ini. Tempat cerita datang dan pergi.”

**

“Pak Harun?”

Lelaki itu tersadar dari lamunannya kemudian meminta maaf. Ketiga perempuan muda yang mengitarinya di meja nampaknya masih menunggu jawaban tentang pertanyaan yang ia dengar barusan. “Maaf, bisa adik ulangi? Di sini maksudnya…. Bukannya kalian tahu, saya kemari sebagai tenaga pendamping?

Ketiga perempuan muda itu kemudian saling tatap, dengan heran, agak lama, sebelum seorang dari mereka dengan gugup bertanya gamblang. “Maaf, tapi… bukannya Bapak Harun sudah tua? Tidak di rumah saja, pensiun?”

Harun tersenyum. “Jadi itu maksudnya. Saya pikir kalian mau tanya kenapa bukan lelaki muda ganteng yang lajang dan duduk di sini. Ya. Ya, aku tahu pikiran kalian.”

Ketiga perempuan muda itu mengangguk cepat. Kemudian mereka tertawa, menggegeran ruangan dan mengusik beberapa orang yang bersebelahan di balik dinding. Untuk sejenak Harun ingin membahas alasannya. Tapi ia tahu tidak mudah menjelaskan cinta yang mendorong sebuah keputusan. Tidak di depan remaja yang mengenali cinta dan sayang sebagai momen-momen manis yang dipamerkan secara serampangan. Tidak. Harun butuh waktu. Ia baru saja terbang seribu kilometer jauhnya, meninggalkan segala sesuatunya untuk memenuhi janjinya pada belahan hatinya  yang jauh. Jauh, tapi tak pernah benar-benar pergi.

--------------------------

Ilustrasi: hdfbcover.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun