Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Pendaki

28 Desember 2013   21:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:24 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Perjalananku yang ketiga belas membawa banyak mimpi-mimpi tentang Gunung Rinjani di Pulau Lombok, kota vulkanik yang hanya setengah hari perjalanan laut dari Bali. Aku baru saja menyelesaikan jurnal Gunung Aconcagua dan berpikir mungkin akan lebih baik bergeser sejenak ke daerah tropis sebelum kembali merasakan sengatan gurun Johannesburg. Maka, aku mulai mencari peta tentang kepulauan lebar yang berbatasan langsung dengan Christmas Island, Australia. Menurut cerita-cerita para traveler di London, pulau kecil Lombok menyimpan banyak kekuatan mistis yang lebih dalam sekadar pikat-pikat manis dari paket-paket agen wisata. Pada puncak musim panas --bulan Juni sengaja kupilih karena bertepatan dengan libur tahunan-- aku pamit pada Sydney (istriku), dan membawa gear cukup untuk mendaki gunung setinggi 12.300 kaki.

Di sebuah toko roti kecil Abbey Road, ide pertama yang kubaca tentang tempat bernama Lombok datang saat aku  iseng membuka National Geographic yang mengulas sebuah suku asli Lombok bernama Wetu Telu. Suku ini, di mana tak lebih dari lima ratus keluarga hidup jauh dari keriuhan promosi wisata pemerintah setempat, memeluk semacam kepercayaan fusi. Di kampung kecil yang untuk mencapainya para hiker harus berjalan setengah hari itu, masyarakatnya menganut agama “waktu tiga”, yang dianggap sebagai peleburan kepercayaan animisme/dinamisme dengan ajaran-ajaran Islam yang datang belakangan. Mekanisme ibadah orang-orang Wetu Telu agak berbeda dengan orang Islam kebanyakan. Orang-orang Wetu Telu melaksanakan salat hanya tiga kali sehari (yang seharusnya lima kali dalam ajaran Islam kebanyakan), yaitu waktu subuh, senja (magrib), dan malam hari. Selain karena proses peralihan kepercayaan yang tidak sempurna -waktu itu agama Islam mula-mula dibawa oleh para kiai dari Jawa, sistem dinamisme/animisme abad-abad awal ikut berpengaruh di mana tiga elemen: gunung, batu, dan laut dianggap sebagai dewa pelindung mereka. Sejak itu, selain Wetu Telu, aku berpikir perlu untuk belajar langsung tentang bagaimana orang-orang pegunungan tropis melakukan kepercayaan mereka dalam ritus mistis yang kini dijual mahal itu.

Setelah mendarat di Denpasar dan menyeberang ke pulau dengan kapal penuh sesak yang tarifnya seharga dua puluh kaleng bir, aku mengambil angkutan lokal sampai akhirnya tiba di sebuah desa bernama Bayan. Dari Robert, seseorang yang tak sengaja menjadi akrab denganku selama di kapal, aku mengetahui bahwa jalur ke Lombok adalah jalur hiking dan pendakian yang paling diincar di Indonesia, selain jalur Merapi di Jawa Tengah. Iklim tahunan yang cenderung lebih panas membuat Gunung Rinjani di Lombok membuat para pendaki merasa lebih tertantang yang, aku percayai secara teknis ada benarnya karena kebanyakan pendaki memang menjual ekstremitas dan gengsi pencapaian dalam foto-foto dan profil mereka. Robert juga berujar bahwa ada jalur-jalur tikus ke Rinjani di mana aku bisa mendapati lebih banyak bahan laporan budaya atau cerita-cerita mistis yang tak banyak ditulis dalam majalah.

Desa itu sejuk, pohon-pohonnya rindang dan tanahnya cenderung basah. Ini berbeda sekali dengan topografi perjalanan selama beberapa jam terakhir yang kering berdebu, bersembur gerimis garam yang membuat lidah semakin pekat. Di sini aku tidak merasakan capek dan haus berlebih sampai setidaknya empat belas jam berjalan kaki. Menjelang sore pada hari kelima aku sudah berada tiga belas kilometer dari puncak dan jalan-jalan mulai sulit diterima tubuh yang terbatas. Perjalanan santai saja sampai akhirnya aku menyadari telah mengambil jalan yang salah. Alih-alih mengarah ke lereng gunung sisi timur, aku malah tersasar makin ke utara dan yang ada di depan hanyalah sebuah danau luas. Di tepi danau aku melihat seorang laki-laki dengan baju zirah panjang yang lebih mirip selimut penghalau dingin. Tiba-tiba tubuhku disergap rasa yang aneh, seperti ingatanku beberapa waktu terakhir kembali membungkus kepala.

Dari sekian banyak cerita ringanku bersama Robert, di sepanjang perjalanan aku paling tertarik mengingat-ingat penuturannya tentang sebuah ritus kuno di Danau Segara. Katanya, jika aku beruntung dan mengikuti langkah yang benar, aku akan melihat bagaimana para peziarah singgah di Danau Segara dan melakukan upacara persembahan yang disebut Pakelem. Kata ini, dalam bahasa Bali-Lombok, berarti menenggelamkan sesajian, berasal dari satuan frasa Sanskrit bathu yadnya yang penanggalannya belum tercatat. Para peziarah (yang semuanya laki-laki) berkumpul di Danau Segara untuk upacara Pakelem, sebuah syarat kuno untuk membuka perjalanan lima hari menyusur hutan-hutan di lereng sampai melewati puncak. Mereka melempar koin-koin uang, perhiasan emas, bahkan batu-batu berkilau milik mereka ke dalam danau sambil mengikat janji dengan alam. Para peziarah akan memulai jalur sulit dari sini, menuju Senaru hingga Sembalun di Lawang. Jika ritus danau berhasil, peziarah rela tidak membawa makanan dan minuman dan menggantungkan keselamatan mereka pada alam yang telah menyatu. Seperti mencari kesejukan dari angin, minum dari tetes-tetes air genus bambu, bahkan mandi dengan daun-daun yang tak bernama. Aku berjalan pelan-pelan menuju pinggir danau dan berpikir mungkin bisa menanyakan sesuatu kepada laki-laki yang berdiam itu. Yang nyatanya, aku menghabiskan hampir sepanjang hari tanpa jawaban apapun.

“Aku tak perlu semua itu,” ujar laki-laki yang wajahnya lebih mirip Tommy Lee Jones. Bedanya, dia ini berkulit hitam legam, tubuhnya ringkih, dan tinggi badannya tak lebih dari pundakku. Punggungnya membengkok dan tegak berkali-kali, seperti menghalau rasa sakit di pinggang yang tak muncul seiring pertamahan usia. Ia memperkenalkan namanya sebagai Yudan, seorang Jawa dan Islam yang tertarik dengan peleburan tradisi kuno di Bayan. Jawaban barusan keluar setelah aku menyinggung perlengkapannya yang tak lebih dari pakaian di badan, dan sebungkus sarung berikat dengan lilin, korek api dan garam di dalamnya.

“Aku mendaki untuk mendapatkan penerimaan kembali dengan alam,” katanya lagi sambil menutup mata. “Membawa barang-barang seperti itu tidak akan mendekatkanku dengan Sang Pencipta.

Aku kecele, dibilang demikian tersindir. Aku pernah membaca bahwa mekanisme pertahanan tubuh orang-orang Asia di alam liar lebih ringkas dan tidak banyak prasyarat. Aku pernah mendengar juga bahwa para tentara khusus Indonesia beberapa kali memenangkan banyak kontes survival di belantara penuh nyamuk malaria, bahkan mengalahkan pasukan khusus Amerika. Berbeda dengan standar resmi aksi alam Barat yang memasukkan alat perkemahan berteknologi tinggi, karabiner, panci masak, bahkan bungkusan aluminium foil bersama daging dan keju sebagai batas minimum bekal pendakian, orang-orang Asia membutuhkan tak lebih dari panci masak dan segenggam garam untuk menyantap nikmat apa-apa yang mereka temukan di sepanjang pendakian. Umbi-umbi liar, ikan grutu, bahkan kadal dan ular bisa mereka santap dan kembali tanpa harus kekurangan banyak berat badan. Di badan Yudan, persis itulah yang kulihat. Kain-kain tipis yang bergelayut dan mengikat di badannya mungkin lebih hangat dari balutan kaus ketat dan jaket berbusa yang kupakai sejak dari Heathrow.

“Apa kau mendaki Rinjani?” tanya Yudan. Aku mengiyakan dan bermaksud bertanya mengapa ia menanyakan itu, bukannya kami sudah berada hampir di puncak? Tapi alih-alih memprotes, aku bertanya apakah ada  cara lebih cepat bagiku untuk menuju Sembalun. Ia membalas, bahwa cara cepat ada, yakni dengan menyewa helikopter pemerintah. Aku bisa minta dibawa mereka terbang di atas kawah kemudian dalam setengah jam aku diturunkan langsung ke lereng sebelah utara. Tapi dengan tertawa kemudian ia meralat jawabannya dan mengaku hanya bercanda.

“Cara cepat ada banyak, tapi tidak ada yang lebih nikmat ketimbang Anda melihat semuanya, mister.”

“Aku ingin melihat semuanya,” kataku. Aku paham bagaimana maksud orang ini. Para pendaku memang seharusnya menemukan yang tidak dijangkau kebanyakan orang. Maka sejak itu aku memilih Yudan sebagai pemandu perjalananku. Selain karena tujuan kami sedikit banyak sama, aku berpikir bisa mendapatkan banyak cerita-cerita lokal tentang Lombok dan hal-hal yang perlu kutulis di banyak majalah travel ternama. Yudan menggeleng saat kuutarakan niat itu, tepat saat kami melewati pos tiga mengitari sisi utara gunung pada ketinggian lebih dari dua ribu meter. Perbekalanku hampir habis, yang memang lebih banyak terkuras saat beristirahat selama dua hari di Segara. Di sini angin mulai berhembus kencang lantaran pepohonan mulai menjauh, dan saat awan memisah, kami bisa melihat bentangan Laut Jawa dalam bayang-bayang.

“Tidak akan cukup,” kata Yudan. “Perjalanan kita akan memakan waktu lima hari, dan kita belum melihat semuanya. Kalau mau menulis tentang Lombok, Kau tidak akan memerlukan majalah sebagai tempatnya.”

“Apa maksudmu?”

Kemudian dengan  menghentikan langkah, Yudan melihat kepadaku, mengelus rambut-rambut cepak berubannya, kemudian membentangkan dua tangannya sampai tongkat kayunya terlempar. Gestur itu menggambarkan sebuah bundel tebal semu di antara dua telapak tangannya yang saling menghadap atas dan bawah. “Akan setebal ini,” katanya. “Kalau mau menulis tentang Lombok, atau bahkan perjalanan lima hari belakang dan lima hari ke depan ini saja, kau akan memerlukan buku sebagai medianya. Majalah tidak akan cukup.”

Aku bisa pahami itu. Mungkin primordialisme sesaat tentang tanah air seseorang. Tapi raut muka Yudan yang tiba-tiba serius membuatku cepat-cepat membuang jauh prasangka itu. Dari matanya terpancar kesungguhan, keseriusan yang tinggi, sampai-sampai aku sempat berpikir bahwa mungkin ini tantangan khusus yang disasarkannya kepadaku, atau bahkan ancaman. Aku tak tahu persis. Yang jelas, sampai hari itu berakhir, Yudan tak mau berbicara apa-apa.

“Jangan menulis jika kau tak punya keyakinan pada ide dasarnya, Westie. ”

Yudan berbicara lirih saat kami sama-sama berbaring di tanah tandus di bawah pohon asing yang bentuknya mirip akasia. Aku mulai menyadari bahwa lilitan kain yang bebas ditaruh di bagian mana saja di badan lebih hangat daripada jaket, celana jins dan sepatu bersol tebal. Pada beberapa pendaki yang berpapasan dengan kami aku bertanya di mana bisa mendapatkan kain seperti itu, tapi hasilnya nihil. Mungkin jaringan kulit kami berbeda, tapi aku merasa Yudan tidak mempedulikan apapun tentang kuku-kukunya yang membiru. Aku merespon kalimat pertamanya setelah berjam-jam itu dengan pertanyaan serupa, “Memangnya apa yang belum aku tahu?”

Yudan melihat mataku, begitu dalam dan membuatku bergetar. “Apa yang sudah kau tahu?”

Aku lalu menjelaskan cerita-cerita yang kudapat dari Robert, dan beberapa warga yang kujumpai sebelum menuju ke lereng itu. Aku bercerita tentang ritus Wetu Telu, Bandara Lombok yang lebih mirip stasiun kereta di Jakarta, bahkan Pakelem yang kulihat ia baru saja melakukannya di Segara. Mendengar itu semua, Yudan menggeleng.

“Para penulis kisah perjalanan hanya menyajikan apa yang senang mereka lihat, atau yang tak sengaja mereka lihat. Mereka menulis tentang langit, jalan-jalan, kamar-kamar rumah. Tapi mereka tidak banyak bertanya kepada kami, pelajari asal-usul kami, bahkan tinggal. Banyak penulis bahkan berkata laporan sekembali merek dari Wetu Telu merupakan  catatan etnografi padahal mereka hanya bersafari dan melihat sedikit sekali. Banyak orang yang nampak pintar hanya karena menenteng buku dan pena, atau nampak keren hanya karena kamera dan ransel berat. Tak banyak yang berani menantang seberani apa mereka menghadapi hal-hal baru, atau kebenaran-kebenaran yang mengejutkan. Kau tahu, aku kadang merasa terlalu sering berpikir dengan cara orang Liberal ketimbang orang-orang lokal. Itu lebih baik, karena aku tak harus mengorbankan luasnya imajinasiku pada pembatasan pandangan yang dipilih kebanyakan orang. Tapi tenang saja, kebanyakan penulis dari negerimu sudah melakukan lebih baik daripada penulis-penulis dalam negeri sini.”

Walaupun agak terkejut dengan penilaiannya, aku mengangguk dan membenarkan penuturannya. Menurutku itu ocehan saja, dan hanya karena ia bertemu dengan bukan orang pribumi, ia bisa mengeluarkan itu semua sebagai unek-unek yang tak harus selalu ditulis. Yudan kembali menutup matanya, dan membanting topik bahasan kami ke arah yang lebih serius.

“Menurutmu apa yang kulempar ke danau tadi?”

“Danau Segara?” tanyaku memastikan.

“Ya. Danau itu. Kau sudah menebak soal Pakelem, mungkin juga sudah bertanya banyak pada orang-orang Bali. Bahanmu sudah lebih baik daripada kebanyakan pendaki Indonesia. Tapi, apa kau sempat melihatku melempar barang-barang ke Segara sebagai bagian dari ritus Pakelem? Barang-barang apa yang kulempar?”

Well, sejujurnya aku tak sempat melihat itu semua. Aku hanya melihatmu menutup mata dan mengatupkan dua telapak tangan. Berdiri hampir setengah jam dan tak bergerak di tepian air danau. Itu seperti gestur ritus orang-orang Bali saat sembahyang dan orang-orang Jawa sebelum upacara larung.”

“Kalau begitu kau memilih teman perjalanan yang salah.”

Aku terkejut, bertanya apa maksudnya dan mungkin aku bisa membahasnya lebih banyak. Terus terang saja aku tidak suka rencanaku berantakan, akan tetapi menantikan penjelasan lebih lanjut dari Yudan membuatku bersemangat. Bukan karena mengetahui kemungkinan perjalananku akan sangat jauh melenceng dari rencana awal, akan tetapi karena gairahku membuncah justru ingin mengetahui apa yang akan kuketahui setelah ternyata tidak mengambil arah yang benar.

“Aku bukan pelaku Pakelem,” kata Yudan kemudian. “Sudah kubilang tadi, aku pemeluk Islam yang taat. Bukan Hindu apalagi Animis.” Laki-laki tua itu akhirnya tersenyum setelah menuturkan pengakuan itu. Memperlihatkan gigi-giginya yang tak terawat. Badannya terlihat lebih lemas dan gemetar di kakinya telah hilang. Sejurus kemudian ia mengeluarkan tangannya dari bungkusan kain menggumpal, kemudian membuang  ke tanah barang-barang berkilau berharga mahal. Ada gelang emas, cincin berbatu akik, ada juga kalung perak yang tak nampak asli-palsunya. Yudan kemudian kembali memunguti barang-barang itu dan langsung mendekatkannya kepadaku.

“Ini semua hanya benda bagiku. Tak lebih dari pencapaianmu mengumpulkan dana dari Inggris ke Lombok. Ini materi, bentuknya saja yang berkilau,” Yudan mengambil jeda, mungkin memberi kesempatan buatku menyerap benar kata-katanya. “Bagi orang sepertiku, ini semua tergantikan suatu saat. Oleh hal-hal abstrak, oleh kesenangan yang tidak berbatas, bahkan dengan sebuah tarikan dan embusan napas dalam yang menghilangkan rasa dingin di badan. Kau bisa mengambil semuanya kalau mau.”

Aku menolak dengan  halus penawaran itu, dengan menyimpan keraguan apakah orang ini benar-benar menyerahkan semua hartanya di kedalaman belantara gunung. Tapi aku bisa melihat kejujuran di matanya. Melihat usianya yang seperti tak lagi mengejar kesenangan dunianya, bahkan dengan dua titik hitam di dahinya yang baru kusadari belakangan, aku menyimpulkan begitu saja bahwa Yudan mendaki sebagai pemuasan nilai kebatinan yang mendalam. Bagaikan sisi dharma seorang Biksu. Pada hari-hari berikutnya aku merasakan hal yang lain, yang membatasiku berbicara, yang menuntunku lebih bersahaja. Di sisi Yudan, aku mulai merasakan bahwa apa yang kukejar selama belasan tahun karir bergaji tinggi bisa hangus begitu saja dengan satu sapuan angin.

Tubuhku kedinginan.

Memasuki ketinggian tiga ribu, kami mulai lupa kapan terakhir melewati desa berpenduduk. Langit malam terlihat terang namun sunyi. Rasi-rasi Sabuk Orion menjadi pemimpin untuk rasi lainnya yang tampak malu-malu dalam ketidaktegasan. Yudan sempat berkisah tentang rumah tangganya yang hampir hancur dan anak-anaknya yang pergi tanpa keinginan untuk kembali. Ia juga bercerita, seperti mengigau, tentang kebenciannya terhadap Wilhelmina dan kerja ratusan tahun orang-orang Belanda yang menancapkan masa awal kurang baik bagi peradaban negeri ini. Katanya, jika saja yang menjajah Nusantara dulu adalah orang Inggris, maka kehidupan mungkin akan lebih modern dan beradab. Aku membalas bahwa itu hipotesis dan mungkin saja jika itu terjadi, Indonesia akan jadi negara industrial yang stres. Yudan tersenyum, menyebutku sebagai easting west. Aku tidak tahu apa maksud frasa itu.

Pada pagi berikutnya kamis udah mendekati pos terakhir pendakian. Setelah melewati pos ini, kami akan berjalan  bebas dan tertatih-tatih, menjauhi puncak Rinjani di 3.726 mdpl. Pikiranku mulai membayangkan foto panoramik sekeliling langit dengan pijakan kami yang berbatu dengan pasir halus ditumbuhi rumput-rumput jarang berusia panjang. Dengan latar kubah yang di Eropa disebut sebagai treasure of fire. Atau menancapkan bendera Union bertengger dengan ratusan bendera kelab atau universitas yang tak lebih tinggi dari bendera Indonesia di atas sana.

Akan tetapi semua bayangan itu terganggu.

Di pos yang dijaga seorang berseragam dan seorang pemandu lokal, kami dicegat. Kemudian dalam sekejap saja, seperti sedang kesurupan sesuatu, Yudan melepaskan tanganku dan berlari ke arah turun gunung sambil berteriak-teriak. Laki-laki itu melepaskan sarung bungkus bekalnya, bahkan tongkatnya. Ia berlari saja, menjauhi pos, sampai akhirnya kami melihatnya jatuh dan menggelinding sebelum terhenti di batang pohon di bawah sana. Petugas berseragam itu kemudian turun dan memapahnya, membawa laki-laki teman seperjalananku itu kembali ke pos. Dari petugas itu kemudian aku mendapatkan fakta mengejutkan bahwa Yudan sudah dicari polisi selama tiga minggu terakhir. Ia diduga melakukan pencurian di sebuah toko perhiasan di Denpasar dan kabur ke wilayah gunung. Tak satupun dari mereka menyangka akan menemukan buronan itu di bawah puncak Lombok.

Aku tak tahu harus menulis apa setelah kembali dari puncak. Yang jelas, perjalanan bersama Yudan membuka mataku dan mungkin, dengan pandangan yang sedikit lebih baik daripada pendaki manapun sebelum ini.

-----------------------------------

Ilustrasi: jimzzz.wordpress.com | JIMZZZBLOG.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun